Akhirnya amukan itu benar-benar terjadi. Sejak 28 Agustus 2025, jalanan dipenuhi gelombang protes yang meluas bak api yang menjilat langit. Kantor DPR, markas polisi, hingga gedung-gedung pemerintahan terbakar. Kementerian Pekerjaan Umum menaksir kerugian materi mencapai Rp 900 miliar.
Lebih tragis lagi, setidaknya sepuluh jiwa melayang dalam pusaran demonstrasi. Presiden merespon dengan langkah teknis berupa peniadaan tunjangan anggota DPR, disertai teguran keras bagi pejabat publik untuk tidak lagi berperilaku flexing dan arogan di ruang publik.
Sementara itu, sejumlah partai politik buru-buru menonaktifkan kader mereka di DPR yang dianggap sebagai pemicu kekecewaan rakyat. Namun langkah-langkah ini terasa bagai menabur garam ke lautan karena tidak menyentuh akar masalah yang sebenarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anomali Kebijakan Negara
Gelombang protes ini segera memantik banyak analisa. Ada yang menuding kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR sebagai pemicu. Ada yang menyebut inflasi ekonomi dan sulitnya memperoleh pekerjaan. Bahkan ada pula yang menuduh operasi intelijen atau perang pada mafia yang tengah dilakukan Presiden Prabowo sebagai faktor yang memperuncing suasana.
Namun, bila ditelusuri secara jernih dengan memperhatikan tuntutan massa, akan diperoleh satu hal yang menonjol, yaitu adanya anomali kebijakan negara.
Data resmi pemerintah yang dikutip Presiden Prabowo pada pidato kenegaraan 18 Agustus 2025 menyebut angka kemiskinan Indonesia berada pada titik terendah sepanjang sejarah, yakni 8,47% atau sekitar 23,85 juta penduduk. Tetapi, data Bank Dunia menggambarkan potret yang kontras. Angka kemiskinan justru menjadi 60,3% atau sekitar 171,8 juta penduduk Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2025 juga mencatat penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dari 4,82% menjadi 4,76%. Angka ini seolah menandakan perbaikan. Akan tetapi, Kementerian Ketenagakerjaan di waktu yang sama merilis data 18 ribu pekerja terkena PHK hanya dalam dua bulan pertama tahun 2025.
Data makro yang dipamerkan pemerintah nyaris tidak bersinggungan dengan pengalaman mikro masyarakat sehari-hari yang bergulat dengan kehilangan pekerjaan, sulitnya mencari lapangan kerja, serta biaya hidup yang kian menjerat.
Lazimnya jika data BPS benar, kebijakan kenaikan pajak di berbagai daerah tidak akan menimbulkan reaksi ekstrem sebagaimana terjadi di Pati, Gowa, dan daerah lainnya. Sebab rakyat dapat dengan mudah membayar pajak.
Kenaikan tunjangan dan gaji anggota DPR juga tidak akan menjadi isu sensitif yang membakar emosi publik karena peningkatan pendapatan sama-sama dirasakan oleh rakyat kebanyakan. Tetapi fakta justru menunjukkan kebalikannya. Rakyat turun ke jalan, memprotes, bahkan nekat merusak simbol-simbol negara.
Mereka yang percaya penyebab semua peristiwa ini adalah kebijakan negara juga sangat beralasan. Catatan Celios misalnya menggambarkan secara gamblang rangkaian kebijakan yang membentuk akumulasi kekecewaan rakyat.
Dimulai dari keputusan kontroversial Mahkamah Konstitusi pada Oktober 2023 yang mengubah syarat calon presiden dan wakil presiden, hingga kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pemangkasan anggaran pada awal 2025 membuat publik kian merasakan tekanan hidup yang menyesakkan. Krisis harga pangan, pembatasan LPG, serta skandal Pertamina semakin menambah rasa ketidakadilan.
Di saat yang sama, muncul berbagai kebijakan dan rancangan undang-undang yang dianggap tidak berpihak pada rakyat, seperti revisi KUHP, revisi KUHAP dan UU TNI. Semua itu membentuk semacam "rantai kemarahan" yang tidak hanya berisi fakta ekonomi dan politik, melainkan juga menyinggung aspek psikologis dan moral masyarakat yang merasa dikhianati oleh elite penguasa.
Memasuki pertengahan 2025, situasi makin memburuk dengan melonjaknya utang luar negeri, distribusi jabatan komisaris yang memicu kecaman, serta merebaknya protes terkait isu lingkungan seperti #SaveRajaAmpat. Skandal beras premium, kenaikan tarif listrik, hingga tunjangan fantastis DPR menjadi pemantik yang semakin memperuncing rasa frustrasi publik.
Saat kemarahan itu memuncak, tragedi kematian demonstran dan pemberian penghargaan kepada tokoh-tokoh yang dianggap tidak layak menjadi simbol paradoks kekuasaan. Pada akhirnya, akumulasi peristiwa tersebut membentuk narasi besar bahwa negara bukan hanya gagal melindungi rakyatnya, tetapi juga seakan-akan secara sistematis menormalkan praktik yang tidak adil.
Disfungsi Partai Politik
Hampir semua kebijakan negara di atas dibuat dalam kerangka hukum yang sah atau legal. Nyaris tidak ada pelanggaran prosedural. Namun, pembuat kebijakan negara sepertinya lupa bahwa legalitas sama sekali berbeda dengan legitimasi. Legalitas ditentukan oleh aspek hukum formil.
Sementara legitimasi ditentukan dari penerimaan rakyat. Meminjam istilah Jean-Jacques Rousseau, hukum yang tidak lagi mencerminkan volonté Générale (kehendak umum rakyat) adalah hukum yang kehilangan jiwa.
Hari ini, krisis legitimasi itu tidak bisa dibantah. Hukum berjalan, tetapi rakyat menolaknya. Undang-undang disahkan, tetapi dianggap mengkhianati keadilan. Inilah paradoks demokrasi prosedural di Indonesia. Semua kebijakan tampak sah di atas kertas, namun gagal mengikat hati rakyat.
Ada pihak yang sering terlewat untuk dimintai pertanggungjawaban atas seluruh kekacauan ini, yaitu partai politik.
Dalam negara demokrasi, partai politik adalah institusi yang seharusnya menjembatani jurang antara hukum dan rakyat. Pasal 11 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 secara eksplisit menugaskan partai politik untuk menyerap, menghimpun, dan menyalurkan aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijkan negara.
Melalui kader-kadernya di DPR dan pemerintah, partai politik memiliki peran vital dalam memastikan kebijakan negara tidak tercerabut dari akar rakyat.
Namun realitas menunjukkan sebaliknya. Berbagai kasus korupsi yang menjerat para elite partai politik memperlihatkan seolah-olah partai politik lebih sibuk menyalurkan rente kekuasaan daripada memperjuangkan nasib rakyat.
Situasi itu didukung oleh fakta 61% anggota DPR periode 2024-2029 berasal dari kalangan politisi-pebisnis. Sehingga tidak mengherankan jika legitimasi hukum runtuh karena patut diduga hukum di DPR lahir bukan dari perspektif aspirasi rakyat, melainkan dari perspektif pengusaha, yaitu kalkulasi untung-rugi semata.
Amukan rakyat hari ini bukan sekadar kerusuhan. Ia adalah ekspresi krisis legitimasi. Ia adalah suara lantang yang menunjukan gagalnya partai politik menjalankan fungsi penyaluran aspirasi. Demokrasi Indonesia tidak akan bertahan jika partai politik terus menutup telinga.
Demokrasi tidak bisa bertahan dengan hukum yang cuma sah di atas kertas demi melayani kelas atas. Demokrasi hanya bisa bertahan dengan legitimasi rakyat atau dengan hukum yang hidup dalam kesadaran kolektif masyarakat.
Oleh karena itu, saatnya menggugat kembali fungsi partai politik. Partai tidak boleh hanya menjadi mesin elektoral lima tahunan. Partai harus kembali pada khittahnya sebagai institusi pendidikan politik sekaligus penyambung lidah rakyat. Hanya dengan itu jaminan hadirnya keadilan substantif dapat diberikan.
Jalan Panjang Demokrasi
Menggugat partai politik bukan berarti menolak demokrasi. Justru sebaliknya, ia adalah ikhtiar untuk menyelamatkan demokrasi dari kehancuran. Protes rakyat adalah alarm moral bagi demokrasi sedang sakit.
Rakyat tidak lagi percaya pada data, pada hukum, bahkan pada partai. Mereka hanya percaya pada suara perut mereka sendiri, pada pengalaman keseharian yang pahit.
Andai partai politik kembali pada peran sejatinya, maka hukum akan kembali bernafas dalam legitimasi rakyat. Jika tidak, maka amukan rakyat hanya akan menjadi babak awal dari sebuah krisis panjang yang akan menggerogoti pilar demokrasi Indonesia.
Harus diingat bahwa demokrasi bukan sekadar prosedur. Ia adalah kepercayaan. Dan kepercayaan itu kini harus dibangun kembali ditengah-tengah puing reruntuhannya.
Zuhad Aji Firmantoro. Dosen tetap di Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia. Salah satu pendiri Center of Economic and Law Studies (Celios).
Tonton juga video "BEM SI Demo di Depan DPR, Bawa Papan Bunga Dukacita" di sini:
(rdp/imk)