Jangan Ada Lagi Korban
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Jangan Ada Lagi Korban

Kamis, 04 Sep 2025 12:15 WIB
Dr.Hj.Siti Napsiyah, MSW.
Dosen Prodi Kesejahteraan Sosial FDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Tim Laboratorium Forensik (Labfor) Polda Sulsel melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) di kantor DPRD Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (1/9/2025). Olah TKP tersebut untuk mengungkap penyebab kebakaran sekaligus mengerucutkan sumber api yang menghanguskan gedung yang menyebabkan kerugian sekitar Rp250 miliar, sementara terduga pelaku pembakaran sudahteridentifikasi oleh pihak kepolisian. ANTARA FOTO/Hasrul Said/nym.
Foto: Olah TKP pembakaran gedung DPRD Makassar yang memakan korban (ANTARA FOTO/HASRUL SAID)
Jakarta -

Iklim demokrasi dan arus demonstrasi di Indonesia di awal bulan September 2025 semakin panas di tengah cuaca iklim musim kemarau basah tahun ini. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendata per tanggal 2 September 2025 berjumlah sepuluh orang meninggal sebagai korban dari gelombang demonstrasi di akhir bulan Agustus.

Angka 10 bukan sekedar bilangan. Sepuluh adalah nyawa yang terenggut. Sepuluh adalah keluarga dan warga bangsa yang berduka. Ini merupakan tragedi kemanusiaan.

Dalam kemelut yang memilukan ini, ruang publik dipenuhi dengan saling tuding. Siapa provokator, siapa yang terlalu brutal, siapa yang anarkis, siapa anarko, siapa dalang dan pertanyaan lain?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun sebagai warga, rakyat, dan mahasiswa kita punya tanggung jawab yang lebih besar daripada sekedar memilih kubu. Kita harus menjadi suara yang menembus kebisingan, bukan menambahnya. Saatnya kita berefleksi: kemanakan arah Gerakan sosial kita Ketika nyawa menjadi taruhannya?

Nyawa adalah Nilai Tertinggi

Kita semua memiliki peran dalam Gerakan sosial ini. Apa pun dan dimana pun kita bersuara baik di dalam kerumunan maupun di luar medan aksi. Jika kita memilih turut turun dalam aksi demonstrasi, maka semestinya kita harus menempatkan nyawa sebagai nilai tertinggi. Ini adalah prinsip.

ADVERTISEMENT

Jadikan ia sebagai kompas dalam setiap aksi kita. Kita dapat menyusun pertanyaan "bagaimana memastikan keselamatan setiap orang, baik peserta, aparat, maupun masyarakat sekitar (kita ingat almarhum Affan ternyata bukan peserta aksi demonstrasi yang kebetulan lewat untuk menyeberang jalan di tengah kerumunan massa dan aparat). Pertanyaan ini harus kita perhitungkan, sebagaimana kita memperhitungkan persiapan rancangan strategi, mobilisasi massa, atau orasi.

Karena aksi yang ideal adalah aksi yang berakhir dengan semua pulang ke rumah dengan selamat. Kita harus mengelola aksi secara profesional, di antaranya dengan memilih atau menunjuk koordinator lapangan yang bisa berkomunikasi dengan aparat untuk mencegah eskalasi dan represi.

Selanjutnya, sebagai sesama warga bangsa, apa pun posisi kita, apakah mahasiswa/warga atau aparat? Jangan berpikir hitam putih, ini sangat bahaya. Karena tidak semua massa adalah anarkis, dan tidak semua aparat adalah represif. Kita sama-sama mohon untuk tidak terjebak dalam memandang satu sama lain sebagai musuh absolut yang malah dapat memicu kekerasan yang lebih brutal.

Karena dampaknya, baik di dunia nyata maupun dunia maya, saat ini situasi Indonesia semakin panas baik di pusat maupun di daerah. Tidak hanya nyawa terenggut, sudah banyak gedung pemerintah dan fasilitas umum terbakar hangus, rusak dan membutuhkan anggaran ratusan milyar untuk memperbaikinya.

Kita patut mengapresiasi semua pihak baik pemerintah maupun warga yang saling menyerukan perdamaian dan hentikan aksi massa dan kekerasan. Kita patut belajar dari para pengemudi Ojek Online (ojol) di beberapa tempat yang telah melakukan aksi damai, membagikan bunga, memberikan santunan kepada keluarga yang berduka, doa bersama, dan berbagai gerakan social yang lebih damai yang tidak berisiko menambah hilangnya nyawa dan melemahnya ekonomi bangsa.

Sebuah Titik Balik

Tragedi sepuluh (10) nyawa ini harus menjadi titik balik bagi gerakan sosial dan demonstrasi di Indonesia. Kematian mereka jangan sampai berakhir sia-sia. Kita harus jadikan sebagai pelajaran paling pahit tentang betapa berharganya nyawa dan betapa sulitnya mewujudkan demokrasi yang hakiki.

Masa depan aksi sosial kita harus lebih cerdas, lebih manusiawi dan lebih gigih dalam menuntut akuntabilitas. Kita harus bisa membuktikan berjuang tanpa menghancurkan, mengamankan tanpa harus membunuh, dan mengkritik tanpa mengorbankan nyawa sesama warga bangsa. Kita harus sama-sama berteriak keras-keras "tidak boleh ada lagi darah yang tumpah!".

Mari jadikan masa duka ini sebagai penguat Gerakan sosial kita yang tidak hanya lantang, tetapi juga bijaksana dan memanusiakan.

Dalam perspektif teori kontrak sosial, demonstrasi adalah perwujudan hak untuk melawan yang sah dan konstitusional tatkala negara dinilai sudah ingkar janji. Ketika sudah tidak menjadikan keadilan sosial dan kesejahteraan sosial rakyat sebagai prioritas kinerja para pemimpinnya. Karena sebagaimana kita belajar dari sejarah masa lalu dan dari para filsuf seperti Thomas Hobbes dalam Leviathan (1651) yang merumuskan dasar teori kontrak sosial.

Menurutnya, terbentuknya negara itu tidak terjadi begitu saja. Melainkan terbentuk melalui 'perjanjian' implisit antara penguasa dan rakyat. Rakyat rela menyerahkan Sebagian hak kebebasan alamiahnya kepada negara dengan satu imbalan utama: negara wajib menjamin keamanan, ketertiban, dan perlindungan atas hak-hak dasar mereka. Inilah fondasi moral dan etika setiap pemerintahan yang sah.

Berbagai aksi demonstrasi saat ini sudah jelas, semua berawal dari tutur dan perilaku para wakil rakyat yang telah melanggar fondasi moral. Kebijakan yang dibuat sangat tidak berpihak pada rakyat bahkan menyengsarakan. Seperti meningkatkan pajak kepada rakyat sementara mereka justru berusaha menambah pundi-pundi dengan menaikkan gaji dan berbagai tunjangan sebagai anggota dewan.

Tidak berhenti sampai di sini, di saat rakyat menyampaikan suara kritik dan protes menuntut haknya, justru aparatus negara yang seharusnya melindungi justru menjadi alat represi. Jadi, saat ini berarti negara telah secara nyata melanggar kontrak sosial yang menjadi dasar legitimasinya. Para wakil rakyat dan yang bekerja atas nama rakyat telah ingkar janji. Seharusnya menjadi pelindung justru menjadi penindas bahkan pelindas.

Dalam kerangka kontrak sosial yang dilanggar inilah, demonstrasi menemukan pijakan legitimasinya yang paling kokoh. Demonstrasi bukanlah Tindakan kriminal atau pengacau keamanan. Ia adalah mekanisme koreksi dan kritik ultimate yang dilakukan oleh rakyat terhadap pemimpinnya yang lalai.

Demonstrasi merupakan perwujudan dari hak rakyat untuk memberikan peringatan kepada pemimpinnya agar tidak ingkar janji. Menurut teori ini, aksi massa adalah gejala, bukan penyakitnya. Penyakit utamanya adalah pelanggaran kontrak oleh negara. Memberangus demonstrasi dengan kekerasan sama seperti menghancurkan termometer, yaitu alat yang telah memberi tahu tubuh kita sedang demam tinggi. Itu tidak menyembuhkan penyakit, justru menghilangkan alat untuk mendiagnosisnya.

Oleh karena itu, tentang aksi demonstrasi yang terjadi di negara kita tercinta ini, hendaklah kita pahami bersama sebagai persoalan fundamental tentang kelangsungan kontrak sosial kita sebagai sebuah bangsa. Yakinlah, kita berdemonstrasi bukan untuk menghancurkan negara, tetapi untuk menuntutnya agar kembali pada jalurnya sebagai pelayan rakyat. Janganlah pemimpin yang kita pilih justru menjadi sumber ketidakadilan dan kekerasan.

Sebagai dosen di perguruan tinggi, saya tidak mau kehilangan nyawa mahasiswa saya yang sangat antusias turut serta dalam Gerakan sosial aksi demonstrasi. Khususnya kepada mereka saya ingin menyampaikan bahwa kita adalah garda penjaga nalar dan Nurani bangsa. Mari kita buktikan bahwa kita layak memegang amanah itu dengan menunjukkan bahwa perjuangan yang benar tidak membutuhkan vandalisme. Akan tetapi membutuhkan keberanian dan kebijaksanaan untuk tetap manusiawi di tengah kekisruhan ini. Untuk kesepuluh nyawa yang sudah pergi, dan untuk semua nyawa yang harus kita lindungi ke depannya, kita harus bisa menjadi generasi yang belajar dari duka, dan memilih jalan yang lebih bijak.

Kita harus buktikan perjuangan kita tidak akan berakhir dengan air mata dan reruntuhan. Melainkan dengan kemenangan bagi kemanusiaan dan keadilan yang kita idamkan bersama sebagaimana tagline resmi peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia (RI): "Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju".

Siti Napsiyah Arifuzzaman. Dosen Prodi Kesejahteraan Sosial FDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tonton juga video "Kemensos Beri Santunan Rp 15 Juta Bagi Keluarga Korban Demo yang Wafat" di sini:

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads