Pemahaman klasik dari Robert E. Lane dan David O'Shears (1964) menjelaskan bahwa opini atau pendapat dapat dipahami sebagai jawaban atas pertanyaan atau permasalahan yang dihadapi dalam situasi tertentu. Walaupun validitasnya lebih tipis dibanding dengan pengetahuan yang benar-benar dapat diverifikasi, tetapi opini lebih kuat dari firasat, dugaan atau sekadar kesan.
Penjelasan singkat tersebut menunjukkan bahwa opini memiliki kekuatan provokasi, karena tidak membutuhkan verifikasi dan validasi. Kekuatan ini sangat berbahaya jika digunakan oleh ahli pembentuk opini untuk tujuan destruktif.
Memahami fenomena demonstrasi yang diwarnai aksi anarki yang terjadi belakangan ini dapat dimulai dari memahami opini sebagai sebuah perjalanan yang tumbuh meluas dengan cepat, tetapi sangat mencemaskan. Demonstrasi merupakan aksi yang dapat dibenarkan sebagai ekspresi dalam demokrasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, bedah demonstrasi diwarnai anarki yang meluas akhir-akhir ini, akan menghantarkan kita pada bagaimana opini mengalir dalam anatomi sebuah demonstrasi penuh anarki. Demonstrasi yang disertai dengan anarkisme dan penjarahan, ini adalah nestapa demokrasi.
Menanam Opini
Basis semua opini yang tumbuh dan bergerak adalah fakta realitas. Jika opini itu pohon, dia dapat ditanam di atas tanah realitas sebagai fakta yang hidup dalam masyarakat sebagai kepentingan publik (public interest). Artinya, terlebih dahulu harus ada fakta realitas yang dekat dengan masyarakat, baru kemudian opini bisa ditanam dan tumbuh di atas fakta realitas tersebut.
Kita lihat, sebelum aksi demonstrasi diwarnai anarki yang cepat meluas, terlebih dahulu beruntun ada sejumlah fakta realitas sebagai kepentingan publik. Karena ruang realitas tersebut awalnya bersifat netral, maka sejumlah fakta terhampar saling tarik-menarik kekuatan.
Fakta realitas yang saling tarik menarik dan melibatkan kepentingan publik tersebut misalnya pro-kontra pengibaran bendera One Piece atau kontroversi kenaikan PBB-P2 hingga 250%.
Dua contoh fakta realitas yang menyangkut kepentingan publik tersebut seperti lahan subur bagi opinion maker untuk menanam opini. Dalam kasus One Piece, sebagai lahan, dapat saja memang diciptakan karena muncul dari luar pemerintahan. Tapi dalam kasus kenaikan PBB-P2 hingga 250%, sebagai lahan, tidak diciptakan tapi disediakan. Dalam kasus kenaikan PBB-P2 di Pati, bahkan sudah naik level, bukan saja menanam opini, tapi sudah panen aksi.
Momentum menjadi penting dalam proses menanam opini, karena akan bertindak sebagai iklim. Tidak lama setelah pro-kontra pengibaran bendera One Piece dan polemik kenaikan pajak, beruntun muncul pernyataan-pernyataan kontroversial dari pejabat negara yang terkait dengan kepentingan publik.
Pada fase penciptaan iklim penanaman opini ini, harus benar-benar teliti dan cermat. Sebab, deception and opinion spam (penipuan dan penyebaran opini palsu) kemungkinan akan sangat besar bisa terjadi pada fase ini.
Penggunaan AI (Artificial Intelligence) dalam aktivitas media sosial yang tidak terbatas dan terkendali, memungkin sebuah informasi menjadi opini yang dipalsukan. Kasus pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang "Gaji Guru dan Dosen menjadi beban negara" merupakan contoh yang menyebar sebagai opini palsu tapi diterima sebagai kebenaran. Untuk memvalidasi hal ini dapat didengarkan utuh rekaman asli video saat Sri Mulyani berpidato di Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di ITB pada Kamis (7/8/2025).
Rumitnya, spam opini ini menyebar dan berbaur dengan fakta susulan lain yang memang benar sebagai sebuah fakta. Pernyataan Ahmad Sahroni, "Orang yang cuma mental bubarin DPR, itu adalah orang tolol sedunia". Atau adegan joget-joget Uya Kuya, Eko Patrio dan sejumlah anggota DPR lainnya dalam sidang tahunan MPR 16 Agustus lalu dan naiknya tunjangan anggota DPR juga menunjukkan sebuah fakta realitas, bukan deception.
Lahan untuk menanam opini sudah ada, iklim (diciptakan atau tercipta) juga mendukung, tinggal disiram pupuk sebagai pemantik agar opini yang ditanam menuai anarki. Pemantik ini dapat saja muncul sendiri sebagai bentuk reaksi atas aksi yang tidak terkendali. Dan tampaknya, kematian driver ojol menjadi pemantik bagi aksi demonstrasi yang meluas, masif dan anarkis.
Munculnya Aksi Anarkis
Sebelum aksi demonstrasi terjadi, sebenarnya dengan mudah dapat dideteksi melalui berbagai aplikasi media intelijen. Aplikasi media intelijen dapat mendeteksi berbagai potensi negatif dari aktivitas netizen di media sosial.
Hal ini sangat membantu untuk mendeteksi deception and opinion spam dalam lalu lintas aktivitas netizen, menganalisis sentimen, penggunaan akun anonim, tone informasi, hingga lokasi sumber informasi disebar luaskan.
Analisis forensik digital yang komprehensif dan mendalam melalui media intelijen akan menjadi semacam hasil Medical Check Up (MCU). Dia merupakan pantulan bagian dalam dari anatomi tubuh realitas sosial yang bergerak.
Dalam realitas tersebut ada aksi kebaikan murni, ada aksi kejahatan murni, ada niat jahat yang menunggangi kebaikan dan berbagai varian lain yang saling bercampur. Percampuran ini sulit diurai jika sudah bergumul menjadi aksi anarki.
Sebab, ada korban jiwa driver ojol yang menjadi pemantik kuat aksi demonstrasi tersebut harus dilakukan sebagai bentuk solidaritas. Tapi aksi solidaritas ini bisa menjalar menjadi aksi anarki yang meluas karena terlebih dahulu sudah tertanam opini dalam iklim anarki yang mendukung.
Namun semua belum terlambat, publik dan orang pintar harus berani bersuara membuat garis tegas mana aksi sebagai ekspresi untuk kebaikan public (public good), mana aksi buruk atau aksi buruk tapi menyelinap senyap masuk dan menunggangi kebaikan.
Karena itu sangat dianjurkan, negara menggunakan analis ahli media baru dan politik sebagai salah satu perangkat early warning system munculnya aksi demonstrasi yang disertai tindakan anarkis. Para ahli ini dapat memberikan kajian mendalam untuk memprediksi berbagai kemungkinan yang akan terjadi disertai dengan berbagai rekomendasi antisipasi dan mitigasi.
Tonton juga video "Janji-janji DPR Usai Gelombang Aksi Demonstrasi" di sini:
(imk/imk)