Harapan: Strategi Mengelola SDM di Era Ketidakpastian
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Harapan: Strategi Mengelola SDM di Era Ketidakpastian

Rabu, 03 Sep 2025 08:44 WIB
Arief Adhi Sanjaya
Arief Adhi Sanjaya adalah seorang praktisi di perbankan syariah.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Arief Adhi Sanjaya
Foto: dok. Pribadi/Arief Adhi Sanjaya
Jakarta -

Dunia yang Tak Pasti

Laju perubahan global terasa semakin cepat: teknologi digital mendisrupsi hampir semua industri, iklim dunia kian ekstrem, ketegangan geopolitik muncul di berbagai kawasan, sementara ekonomi global sulit ditebak arahnya. Situasi pascapandemi membuat kondisi ini terasa makin kompleks.

Dalam iklim kerja seperti itu, pemimpin tak bisa hanya mengandalkan struktur atau strategi teknis. Ada satu energi yang kerap terlewat, padahal bisa menjadi penopang utama: harapan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Harapan sebagai Modal SDM

Harapan bukan sekadar kata-kata manis. Feldman dan Dreher (2023) menunjukkan bahwa harapan dapat mengubah tekanan kerja menjadi peluang untuk tumbuh. Penelitian Gallagher dkk. (2024) memperkuat temuan itu: pekerja yang memiliki harapan tinggi terbukti 28 persen lebih unggul dalam menyelesaikan proyek rumit, dan 31 persen lebih jarang mengalami kelelahan emosional.

ADVERTISEMENT

Tak berhenti di situ. Harapan juga menular. Saat satu tim penuh keyakinan, energi positif itu menyebar, mempererat kerja sama, dan memantik lahirnya ide-ide baru. Rangkuman studi lintas industri yang dilakukan Reichard dan kolega (2023) bahkan menegaskan, harapan berhubungan langsung dengan keterikatan karyawan (employee engagement) serta niat mereka untuk bertahan di perusahaan.

Microsoft: Dari Runtuh ke Bangkit

Kisah Microsoft di bawah Satya Nadella kerap dijadikan contoh. Saat Nadella naik menjadi CEO pada 2014, perusahaan itu dianggap mulai tertinggal jauh dari pesaingnya. Ia tidak hanya mengubah strategi bisnis, tetapi juga cara pandang orang-orang di dalamnya.

Nadella mendorong karyawan melihat bahwa pekerjaan mereka bermakna, memberikan keleluasaan mengambil keputusan, dan rajin menghargai langkah kecil yang inovatif. Hasilnya, budaya kerja berubah. Kepercayaan diri tumbuh. Dalam waktu singkat, Microsoft kembali menjadi raksasa teknologi dengan valuasi yang terus
menanjak.

Google dan Project Oxygen

Google juga punya cerita menarik lewat riset internal yang disebut Project Oxygen. Diluncurkan sejak 2008, riset ini mencoba menjawab pertanyaan sederhana: apa yang membuat seorang manajer efektif? Hasilnya ternyata mengejutkan.

Kemampuan teknis bukan faktor utama. Justru keterampilan seperti mendengarkan, mendukung, dan menumbuhkan keyakinan tim yang paling berpengaruh. Berdasarkan temuan itu, Google mengubah cara melatih manajernya. Fokusnya bukan sekadar target, melainkan bagaimana pemimpin mampu menjaga semangat dan harapan orang-orang yang dipimpinnya.

Temuan ini sejalan dengan riset Braun dkk. (2022) yang menegaskan bahwa harapan adalah penggerak utama keterikatan emosional karyawan, terutama setelah perusahaan melewati masa krisis atau restrukturisasi.

Menumbuhkan Harapan di Tempat Kerja

Pertanyaannya, bagaimana organisasi lain bisa menanamkan harapan? Jawabannya bukan lewat seminar motivasi sekali jadi, melainkan lewat kebijakan dan budaya yang konsisten.

Ada tiga hal sederhana yang bisa dilakukan. Pertama, memberi tujuan yang bermakna. Studi Gregory Walton dkk. (2023) menunjukkan, pekerja yang merasa tugasnya punya kontribusi nyata akan lebih tangguh dan bersemangat. Kedua, memberi otonomi. Riset Li, Zhang, dan Mayer (2022) membuktikan bahwa rasa kendali atas pekerjaan membuat karyawan lebih percaya diri menghadapi masa depan. Ketiga, membiasakan apresiasi pada proses. Temuan Lee dan Cheung (2021) menegaskan, penghargaan atas langkah kecil sekalipun mampu memperkuat komitmen jangka panjang.

Jika tiga hal itu konsisten dilakukan, transformasi digital akan lebih mudah, kerja sama antar divisi lebih solid, dan organisasi lebih siap ekspansi ke area yang penuh tantangan.

Harapan sebagai Strategi Rasional

Di tengah dunia yang makin sulit diprediksi, harapan justru menjadi strategi paling rasional. Ia bukan sekadar perasaan positif, tetapi pondasi psikologis yang membuat organisasi bertahan sekaligus melompat lebih jauh.

Profesor Jamil Zaki dari Stanford University menulis dalam Harvard Business Review (2024), 'Harapan tidak sekadar membayangkan masa depan yang lebih baik, tetapi juga merancangnya.'

Pesan ini layak dicatat para pemimpin: mengelola kinerja saja tidak cukup. Menata harapan justru bisa menjadi pembeda. Karena di era ketidakpastian, harapan lah yang membuat organisasi bukan hanya bertahan, tapi juga berkembang melampaui batas.

Arief Adhi Sanjaya, Praktisi Perbankan Syariah

Tonton juga video "Pesan Megawati ke Kepala Daerah: Fokus Kualitas SDM-Cegah Stunting" di sini:

(prf/ega)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads