Langkah Presiden RI Prabowo Subianto yang menyatakan akan memberi kenaikan pangkat kepada polisi yang cedera saat mengamankan demonstrasi belakangan ini patut dicermati secara lebih mendalam. Pernyataan tersebut tidak bisa sekadar dipahami sebagai kebijakan simbolis, tetapi juga sebagai strategi politik dan sosial untuk menjaga moral aparat keamanan di tengah situasi negara yang sedang bergejolak.
Fakta di lapangan menunjukkan banyak aparat kepolisian mengalami luka serius ketika berhadapan dengan massa demonstrasi yang berubah menjadi ricuh. Tidak sedikit di antara mereka yang mengalami cacat permanen, bahkan ada yang terbakar organ vitalnya. Kondisi ini membuat semangat aparat melemah. Publik pun merasakan, kehadiran polisi di berbagai titik semakin minim. Kantor-kantor kepolisian dan pos jaga menjadi sasaran amuk dan pembakaran dan beberapa sudah hangus terbakar.
Fenomena ini berbahaya, karena ketika aparat mundur, kekosongan negara dalam menjaga ketertiban justru membuka peluang lebih besar bagi tindak anarkis. Masyarakat luas bisa kehilangan rasa aman, sementara kelompok perusuh leluasa menguasai ruang publik. Karena itu, kebijakan Presiden memberi penghargaan kepada aparat yang cedera merupakan bentuk intervensi moral: mengembalikan kepercayaan diri polisi bahwa negara berdiri bersama mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Presiden tidak hanya berbicara tentang piagam atau tanda jasa. Lebih jauh, ia menekankan soal kenaikan pangkat bagi anggota yang menjadi korban. Hal ini memiliki implikasi nyata karena pangkat terakhir akan menentukan besaran pensiun. Bagi polisi yang tidak bisa lagi bertugas akibat cacat permanen, kebijakan ini berarti jaminan keberlangsungan hidup keluarga. Dengan demikian, penghargaan tersebut bukan sekadar penghormatan simbolis, melainkan instrumen kesejahteraan jangka panjang.
Kebijakan ini menunjukkan pemahaman Presiden bahwa moral aparat tidak bisa dipisahkan dari aspek material. Jika aparat merasa masa depan mereka dan keluarga terjamin, mereka akan tetap setia menjaga keamanan meskipun risiko di lapangan sangat besar.
Strategi Prabowo dengan memberikan penghargaan kepada para polisi membuktikan bahwa Presiden memiliki empati yang tinggi terhadap para korban. Banyak polisi yang sesungguhnya membutuhkan perlindungan dan perhatian karena selama demonstrasi berlangsung cenderung dipojokkan dan di stigma sebagai public enemy di lapangan.
Keadilan untuk Korban Sipil
Namun, ada dimensi lain yang tidak boleh dilupakan: keadilan bagi korban sipil. Dalam berbagai peristiwa ricuh, tidak hanya polisi yang menjadi korban, tetapi juga masyarakat biasa ASN, mahasiswa, hingga pelajar. Mereka juga menanggung luka fisik maupun trauma psikologis.
Dalam konteks ini, apresiasi negara seharusnya tidak berhenti pada aparat keamanan. Korban sipil pun patut mendapat perhatian dan kompensasi. Bentuknya tentu berbeda: jaminan kesehatan penuh, santunan, atau beasiswa pendidikan bagi anak korban. Presiden Prabowo sendiri telah memberi contoh ketika menyerahkan rumah untuk keluarga almarhum Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tewas akibat bentrokan. Sikap ini patut dipandang sebagai preseden penting, bahwa negara hadir bagi semua korban, bukan hanya aparatnya.
Implikasi Politik dan Sosial
Langkah memberi penghargaan kepada polisi juga punya makna politik. Presiden ingin menegaskan bahwa negara tetap kuat dan aparat tidak boleh mundur. Namun, di sisi lain, keadilan sosial harus tetap dijaga. Jika hanya aparat yang mendapat apresiasi, bisa muncul persepsi ketimpangan: seolah-olah negara lebih melindungi alatnya dibanding rakyatnya sendiri. Persepsi semacam ini berbahaya karena bisa memperlebar jurang ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah.
Untuk itu, kebijakan ini perlu diimbangi dengan komunikasi publik yang tepat. Pemerintah harus menegaskan bahwa penghargaan kepada polisi tidak mengurangi perhatian terhadap korban sipil. Bahkan, idealnya kedua sisi ini diposisikan sebagai bagian dari satu paket kebijakan: kenaikan pangkat untuk aparat sekaligus kompensasi dan perlindungan bagi masyarakat sipil yang terdampak.
Penghargaan untuk aparat sebaiknya tidak hanya berbentuk kenaikan pangkat, tetapi juga rehabilitasi kesehatan jangka panjang, dukungan psikologis, serta pelatihan keterampilan bagi mereka yang tidak bisa lagi bertugas. Ini akan memastikan mereka tetap bisa berkontribusi bagi negara meski dalam kapasitas berbeda.
Pemerintah di sisi lain juga harus memperkuat komunikasi publik. Penekanan harus jelas: negara hadir untuk semua. Narasi ini penting agar masyarakat melihat kebijakan Presiden bukan sekadar melindungi aparat, tetapi juga melindungi warganya.
Hanya dengan cara itu, negara bisa membuktikan bahwa ia hadir secara adil, menjaga aparat sekaligus melindungi rakyat. Pada titik inilah, penghargaan untuk polisi cedera tidak hanya menjadi suntikan moral, tetapi juga bagian dari komitmen yang lebih luas: memastikan keadilan sosial bagi semua.
Trubus Rahardiansah
Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti