Dalam beberapa hari terakhir, kita mendengar beberapa pejabat publik yang menyampaikan beberapa statement yang kurang etis, sebagai seseorang yang mengklaim sebagai orang yang bekerja untuk rakyat. Dalam kondisi ekonomi dan politis yang tidak stabil rasanya sangat tidak etis untuk menyampaikan sebuah statement yang berpotensi menyakiti hati rakyat.
Sebagai contoh ketika seorang balita di Sukabumi meninggal akibat cacingan. Di tengah tragedi yang menyingkap rapuhnya pelayanan kesehatan dasar, publik berharap respons penuh empati dari pemerintah. Namun jawaban Menko PMK Pratikno justru mengundang kekecewaan. Ketika ditanya wartawan, ia hanya menanggapi dengan ucapan singkat: "Saya agak ngantuk dikit" disertai tawa kecil.
Sebuah pernyataan yang seakan meremehkan duka keluarga dan keresahan masyarakat. Selain itu kemarahan publik pada demonstrasi tanggal 25, 28, 29, 30 merupakan salah satu bentuk reaksi dari pernyataan Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Uya Kuya, hingga Nafa Urbach. Dalam satu kesempatan Ahmad Sahroni merespon isu pembubaran DPR dengan melukai perasaan rakyat "Mental manusia yang begitu adalah mental orang tertolol sedunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Catat nih, orang yang cuma bilang bubarin DPR itu adalah orang tolol sedunia. Kenapa? Kita nih memang orang semua pintar semua? Enggak bodoh semua kita,". Selain itu Eko ikut disorot karena berjoget dengan musik sound horeg di tengah situasi masyarakat yang sedang marah. Uya Kuya juga tak luput dari kecaman publik usai pernyataannya bahwa gaji Rp3 juta "tidak besar" dinilai menyinggung banyak kalangan.
Hal ini tentu menjadi pertanyaan publik, mengapa pejabat pejabat di Indonesia nampaknya tidak memiliki empati dan seringkali menunjukkan pernyataan pernyataan yang tidak tepat bahkan menyayat hati dengan situasi yang terjadi di Indonesia dewasa ini.
Dalam menjawab pertanyaan tersebut, rasanya terdapat 1 konsep dalam ilmu politik yang cukup tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut, konsep tersebut adalah representasi deskriptif yang pertama kali diperkenalkan oleh Hanna Pitkin yang menyebutkan bahwa sangat penting bagi suatu perwakilan rakyat untuk mempertimbangkan aspek sosiologis sebagai bagian dari komposisi lembaga perwakilan rakyat.
Relevansi Nilai Representasi Deskriptif Terhadap Empati Pejabat Publik
Salah satu ide mendasar dari representasi deskriptif adalah mempercayai bahwa kesamaan latar belakang akan menimbulkan perasaan senasib, sehingga hal tersebut akan menjadi "concern" pejabat publik demi menciptakan kebijakan yang baik bagi kelompoknya. Logika representasi deskriptif tersebut sejatinya sudah diupayakan dalam konteks gender dengan hadirnya kebijakan afirmatif bagi perempuan sebesar 30% untuk menciptakan inklusivitas parlemen dan kepekaan parlemen dalam merespon isu isu perempuan.
Dalam konteks representasi deskriptif perempuan penelitian menunjukkan bahwa hadirnya perempuan di dalam parlemen menciptakan tendensi inklusivitas kebijakan di dalam parlemen dengan menciptakan kebijakan yang berkaitan dengan perempuan dan anak anak secara masif (Norris & Lovenduski, 2003).
Hal ini sebagaimana yang terjadi di Swedia dalam sebuah penelitian yang mengkomparasikan representasi deskriptif Studi HogstrΓΆm & LidΓ©n (2024) menunjukan bahwa meningkatnya proporsi perempuan di parlemen berimplikasi pada pola belanja kebijakan, khususnya pada sektor-sektor yang erat dengan kepentingan perempuan dan keluarga.
Representasi perempuan terbukti berhubungan dengan meningkatnya pengeluaran untuk kebijakan perawatan anak, perawatan lansia, serta layanan budaya yang lebih inklusif. Temuan ini menegaskan bahwa representasi deskriptif bukan sekadar simbolik, melainkan memiliki konsekuensi substantif dalam arah kebijakan publik, di mana kehadiran perempuan memperkuat sensitivitas negara terhadap kebutuhan kelompok rentan dan memperluas basis kesejahteraan sosial (Hogstrom & Linden, 2024)
Namun representasi deksriptif sama sekali tidak berjalan bagi perbedaan sosial yang ditimbulkan karena ekonomi. Proses pemilu yang membutuhkan biaya tinggi menyebabkan parlemen diisi oleh kelompok menengah keatas atau seseorang yang sudah memiliki ketenaran yang ajeg, bahkan seringkali tanpa bermodalkan kompetensi tertentu untuk menjadi seorang wakil rakyat.
Hal ini yang nampaknya menciptakan pernyataan pernyataan pejabat publik terutama wakil rakyat yang menyakitkan perasaan rakyat dan cenderung bersikap nir-empati. Pertanyaan mendasar dalam konteks representasi dalam diskursus ini adalah "Bagaimana seseorang yang kaya raya, pengusaha, atau bahkan seseorang yang berasal dari kelompok menengah ke atas dapat memahami penderitaan petani, ketidakadilan yang dialami pengemudi ojek online, hingga sulitnya mendapatkan pekerjaan tanpa koneksi yang memadai".
Selain itu perlu diingat beberapa dari wakil rakyat tidak memiliki latar belakang yang memadai untuk menyejahterakan rakyat, beberapa dari wakil rakyat yang duduk di Senayan sekarang merupakan produk dari darah biru politik hingga produk dari infiltrasi selebriti yang memanfaatkan popularitas untuk menduduki kursi parlemen.
Partai politik secara pragmatis dan oportunis juga memanfaatkan modal populer selebriti untuk mendapatkan kursi di parlemen tanpa memikirkan pentingnya kompetensi untuk mewakili rakyat. Nampaknya 2 hal tersebut menjadi penyebab utama mengapa seringkali masyarakat mendengar pernyataan dari pejabat publik khususnya wakil rakyat yang tampak tidak memiliki empati terhadap kesulitan yang dihadapi publik dewasa ini
Representasi deskriptif dalam konteks si kaya dan si miskin sejatinya masih sangat penting untuk dipertahankan, sebab ketimpangan representasi kelas terbukti menciptakan bias dalam kebijakan publik. Hal ini diperkuat oleh penelitian di berbagai demokrasi maju yang mendapati bahwa underrepresentation deskriptif dari kelompok miskin berkontribusi pada lemahnya representasi substantif mereka dalam kebijakan (Lloren, Rosset & WΓΌest, 2015).
Maka, kehadiran wakil rakyat dengan latar belakang kelas menengah ke bawah bukan sekadar soal simbolik, melainkan syarat penting agar parlemen dapat lebih peka terhadap realitas sosial-ekonomi mayoritas rakyat.
Pentingnya Blusukan Sebagai Belanja Isu Bukan Sebagai Alat Politik Performatif
Dalam konteks keterputusan representasi antara pejabat publik dengan realitas sosial-ekonomi mayoritas masyarakat, blusukan seharusnya dipahami sebagai instrumen penting untuk mengurangi jarak empati.
Sayangnya, praktik blusukan di Indonesia kerap bergeser menjadi sekadar performativitas politik sebuah pertunjukan simbolik yang lebih menekankan citra kedekatan dengan rakyat daripada benar-benar menyerap aspirasi dan menginternalisasi problem yang mereka hadapi.
Jika dijalankan secara substantif, blusukan dapat berfungsi sebagai mekanisme belanja isu, yakni cara bagi pejabat publik untuk memperoleh informasi langsung dari masyarakat yang rentan terabaikan dalam kanal formal politik representatif. Blusukan semacam ini memiliki nilai epistemik sekaligus normatif.
Secara epistemik, ia memperluas horizon pengetahuan pejabat terhadap kondisi sosial yang kerap tersembunyi di balik data statistik atau laporan birokrasi. Secara normatif, ia memperkuat akuntabilitas pejabat publik, karena pengalaman interaksi langsung dengan warga mempersempit kemungkinan keluarnya pernyataan yang nir-empati dan terputus dari kenyataan sosial.
Revo Linggar Vandito. Project Research Assistant di CSIS Indonesia dan Peneliti di Mudabicara.id.
Tonton juga video "Mendagri: Ada 107 Titik Aksi Demo, 9 Lokasi Berakhir Ricuh" di sini:
(rdp/imk)