Membaca 'Antek Asing' dalam Konteks Kedaulatan Nasional
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Membaca 'Antek Asing' dalam Konteks Kedaulatan Nasional

Selasa, 26 Agu 2025 13:08 WIB
Trubus Rahardiansah
Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
ilustrasi korupsi
Foto: Trubus Rahardiansah (Dok Pribadi)
Jakarta -

Istilah antek asing kerap disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam berbagai forum. Walaupun tidak pernah secara eksplisit dijelaskan siapa pihak yang dimaksud, istilah ini menggambarkan kekhawatiran mendasar: adanya aktor-aktor di dalam negeri yang menjadi saluran bagi agenda eksternal yang berpotensi melemahkan kedaulatan bangsa. Pertanyaan pun muncul, siapakah yang sebenarnya dimaksud dengan antek asing?

Dalam perspektif kebijakan publik, antek asing bisa dipahami dari dua dimensi besar. Pertama, dimensi ideologi: aktor-aktor yang membawa nilai dan narasi asing, lalu menempatkannya di atas kepentingan nasional. Kedua, dimensi ekonomi: pihak-pihak yang menjadi perpanjangan kepentingan modal asing, seringkali dengan cara melemahkan industri domestik atau mendelegitimasi kebijakan pemerintah.

Jika merujuk pada Easton, kebijakan publik adalah the authoritative allocation of values. Artinya, pemerintah punya kewenangan menentukan nilai yang ingin diprioritaskan bagi rakyat. Namun, ketika aktor-aktor dalam negeri menjalankan agenda eksternal, alokasi nilai ini terganggu: kebijakan publik seolah selalu diperdebatkan dan didorong keluar dari orbit kepentingan nasional.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Media, NGO, dan Pendanaan Asing

Fenomena ini tampak jelas pada media massa dan LSM/NGO. Tentu, tidak semua bersifat negatif: banyak NGO berkontribusi nyata untuk pembangunan. Namun, sebagian di antaranya menerima dana asing dengan agenda tertentu. Di sinilah masalah bermula: pendanaan asing kerap digunakan sebagai instrumen untuk mendorong narasi yang serba kontra terhadap pemerintah, mulai dari penolakan investasi strategis hingga kampanye isu yang tidak seimbang.

Menurut Lasswell, kebijakan publik seharusnya menjawab tiga pertanyaan kunci: who gets what, when, how. Jika NGO atau media yang dibiayai asing terus mendominasi ruang publik, maka distribusi informasi (dan bahkan distribusi kepentingan) lebih banyak ditentukan oleh donor luar negeri ketimbang oleh rakyat dan pemerintah. Publik sendiri kini bisa menyaksikan bagaimana isu-isu kontra pemerintah berseliweran setiap hari di media massa dan media sosial.

ADVERTISEMENT

Belajar dari India

India memberikan contoh menarik melalui Foreign Contribution Regulation Act (FCRA). Aturan ini tidak melarang kerja sama internasional, namun mewajibkan transparansi penuh: siapa yang menerima dana asing, untuk tujuan apa, dan bagaimana penggunaannya. Dengan demikian, masyarakat tetap bisa mendapat manfaat dari dukungan global, tetapi pemerintah juga memastikan bahwa agenda asing tidak digunakan untuk melemahkan arah pembangunan nasional.

Indonesia seharusnya menempuh langkah serupa. Regulasi transparansi dana asing bisa menjadi instrumen kebijakan publik yang tidak hanya memperkuat kedaulatan, tetapi juga menciptakan check and balance antara kerja sama global dan kepentingan nasional.

India sendiri memperkenalkan FCRA pertama kali tahun 1976, diperkuat lagi dengan revisi tahun 2010 dan amandemen 2020. Pemerintah India berpendapat bahwa dana asing sering dimanfaatkan untuk memengaruhi kebijakan domestik, terutama di bidang pembangunan, lingkungan, HAM, hingga politik.

Dalam FCRA, setiap NGO atau lembaga yang menerima dana asing harus mendaftar dan mendapat izin dari pemerintah pusat. Selain itu, dana asing harus masuk ke rekening bank tertentu (khusus di State Bank of India, New Delhi) untuk memudahkan audit. Adapun dana tidak boleh dipakai untuk kegiatan politik, advokasi ekstrem, atau aktivitas yang merusak hubungan India dengan negara lain.

Penerima dana juga wajib membuat laporan keuangan tahunan tentang sumber dan penggunaan dana asing. Selain itu, setelah amandemen 2020, NGO yang menerima dana asing tidak boleh lagi menyalurkan dana itu ke NGO lain, tujuannya untuk mencegah layering dan penyamaran aliran dana.

Indonesia menghadapi masalah serupa: banyak NGO dan media menerima dana asing, namun transparansi sangat minim. Publik tidak tahu siapa pendonor, untuk tujuan apa, dan apakah dana itu digunakan untuk advokasi yang justru bertentangan dengan agenda pembangunan nasional.

Jika mencontoh FCRA, Indonesia bisa mewajibkan registrasi dan audit semua penerima dana asing, membatasi dana asing hanya untuk sektor yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, membentuk mekanisme pelaporan publik agar masyarakat tahu siapa yang membiayai siapa.

FCRA India adalah contoh ideal bahwa negara demokrasi pun tetap tegas melindungi kedaulatannya. Bahkan NGO internasional yang punya reputasi global pun bisa dibatasi jika dianggap merugikan kepentingan nasional.

Selain regulasi, literasi masyarakat menjadi kunci. Publik perlu diedukasi agar tidak mudah termakan narasi yang sebenarnya sarat agenda eksternal. Tidak semua kritik lahir dari pemikiran independen; ada yang memang sah dan perlu ditanggapi, tetapi ada pula yang lahir dari kepentingan pendanaan asing. Dengan literasi yang baik, rakyat bisa membedakan mana kritik yang membangun, mana kritik yang menjerumuskan.

Dengan demikian, istilah antek asing jangan hanya dibaca sebagai retorika politik, melainkan sebagai peringatan kebijakan publik. Ia menandai adanya aktor-aktor domestik yang sesungguhnya bekerja untuk kepentingan eksternal, baik lewat ideologi maupun ekonomi. Pemerintah perlu tegas melalui regulasi transparansi dana asing, sementara masyarakat harus diedukasi untuk tidak menjadi korban narasi yang melemahkan kedaulatan.

Seperti dikatakan Lasswell, kebijakan publik adalah tentang siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Dalam konteks Indonesia hari ini, pertanyaan itu harus dijawab dengan satu prinsip, yaitu semua harus kembali ke rakyat Indonesia, bukan kepada agenda asing.

Untuk itu ke depannya guna mencegah penggunaan dana asing oleh institusi-institusi yang tidak bertanggung jawab dan berpotensi mengganggu ketertiban sosial maka perlu dilakukan audit secara berkala dan berkesinambungan. Selain menetapkan kebijakan regulasi yang rigid dan penegakan aturan yang tegas, maka pemerintah perlu melakukan pengawasan yang ketat, kontrol yang kuat terhadap aktivitas institusi yang berbasis dana asing, dan mengedukasi masyarakat untuk melaporkan kegiatan-kegiatan lembaga yang didanai asing dengan menyediakan ruang aduan yang terjaga kerahasiaannya.

Trubus Rahardiansah. Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti.

Tonton juga Video: Pidato Lengkap Presiden Prabowo di Sidang Tahunan MPR

(rdp/rdp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads