Antara KUHP Baru, Terpidana Mati dan RKUHAP: Jalan Setapak Hapus Hukum
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Antara KUHP Baru, Terpidana Mati dan RKUHAP: Jalan Setapak Hapus Hukum

Selasa, 26 Agu 2025 09:17 WIB
M. Afif Abdul Qoyim
Pengacara Publik YLBHI.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Rapat Komisi III DPR RI membahas RUU KUHAP (Dwi/detikcom)
Foto: Ilustrasi Rapat Komisi III DPR RI membahas RUU KUHAP (Dwi/detikcom)
Jakarta -

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Hukum Pidana (KUHP Baru) yang akan diberlakukan awal Januari 2026 memerlukan kompatibilitas hukum acara yang termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diberlakukan lebih dari 40 tahun lalu melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981.

Pembahasan reformasi KUHAP saat ini sedang tahap pembahasan untuk revisi oleh DPR bersama pemerintah. Upaya reformasi KUHAP merupakan momentum strategis dalam mewujudkan jaminan perlindungan bagi terpidana mati yang telah menjalani pemenjaraan bertahun-tahun.

Dalam KUHP Baru, mekanisme pidana mati mengalami perubahan dengan menempatkan pidana mati sebagai pidana yang diancamkan alternatif dan membuka peluang komutasi pidana mati. Prasyarat terpidana mati mendapat komutasi diantaranya perubahan perilaku terpuji selama 10 tahun menjalani hukuman percobaan (Pasal 100 ayat 4) atau tidak dilaksanakan eksekusi mati selama 10 tahun sejak keputusan grasi ditolak (Pasal 101).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengaturan komutasi yang digariskan KUHP Baru secara prediktif memperkecil peluang eksekusi mati dijalankan. Setidaknya terdapat dua alasan yakni: 1). Dalam waktu 10 tahun setelah terpidana mati mendapatkan putusan final. Meski dalam rentang waktu ini, Jaksa Agung bisa memerintahkan eksekusi mati tapi dipengaruhi oleh perilaku terpidana mati yang tidak menunjukkan perubahan sikap dan perbuatan terpuji.

Di titik ini pembuktian terhadap perilaku terpidana mati menjadi syarat menentukan terlaksana atau tidaknya eksekusi mati. Pada sisi lain kinerja pembinaan dan perawatan oleh Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dipertanyakan jika terpidana mati tidak mengalami perubahan perilaku yang mengakibatkan terpidana mati dieksekusi mati. 2). Selanjutnya jika setelah percobaan rentang waktu 10 tahun selesai namun komutasi tidak dikabulkan Presiden maka peluang lainnya adalah menjalani pemenjaraan selama 10 tahun terhitung sejak menerima keputusan penolakan grasi, dengan catatan tidak ada eksekusi mati (de facto moratorium).

ADVERTISEMENT

Pengaturan ini sebenarnya celah hukum untuk mendesak terpidana mati mengajukan grasi sebab regulasi tentang grasi tidak melimitasi waktu pengajuan grasi paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 107/PUU-XIII/2015.

Namun karena kick-off rentang waktu 10 tahun bisa dimulai mensyaratkan keputusan grasi ditolak Presiden terlebih dahulu maka terpidana mati dihadapkan pada pilihan dilematis antara menunda pengajuan grasi dengan konsekuensi kick-off 10 tahun belum dimulai atau mengajukan grasi jika keputusannya nanti ditolak Presiden maka kick-off rentang waktu 10 tahun bisa dimulai seketika itu.

Pemulihan Efektif Lewat KUHAP

Skenario komutasi di atas dengan basis KUHP Baru memiliki implikasi serius terhadap durasi pemenjaraan dapat melampaui 20 tahun yang bertentangan dengan durasi pemenjaraan tidak lebih dari 20 tahun sebagaimana termaktub dalam KUHP Baru.

Jika pun dianggap bahwa pemenjaraan 20 tahun ditunjukkan bagi vonis penjara bukan untuk vonis terhadap terpidana mati justru pemenjaraan yang dijalani terpidana mati selama puluhan tahun menjadi hukuman berlapis yang keabsahannya malah diragukan.

Kombinasi hukuman antara pemenjaraan berlarut dengan hukuman mati yang diterima menggerus psikologis dan mental di tengah overcrowded Lapas dan tidak adanya pengaturan jaminan pemulihan efektif yang memadai.

Dalam pembahasan revisi KUHAP, jaminan pemulihan efektif bagi individu yang mengalami tindakan sewenang-wenang negara belum memadai. Pasal 2 ayat 3 Konvensi Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 memberikan mandat kepada negara bahwa terhadap orang yang dilanggar haknya, perlu mendapat jaminan pemulihan efektif dan diatur serta dilaksanakan oleh otoritas berwenang.

Instrumen hak asasi manusia yang telah diratifikasi Indonesia tersebut wajib diintegrasikan dalam revisi KUHAP saat ini sebagai aturan safeguard terpidana mati yang menjalani penghukuman berlapis tersebut.

Termasuk memberi jaminan kepastian hukum bagi terpidana mati yang sudah mendapatkan vonis pidana mati jauh sebelum KUHP Baru berlaku dan telah menjalani pemenjaraan bertahun-tahun.

Perluasan Praperadilan

Adapun untuk menjamin mekanisme komutasi terpidana mati dalam KUHP Baru dilaksanakan, revisi KUHAP perlu memperluas objek praperadilan untuk menguji dan membuktikan keabsahan penolakan atau keengganan Presiden memberikan keputusan komutasi, dengan prasyarat bahwa hak atas bantuan hukum merupakan elemen penting bagi orang yang berhadapan dengan hukum mencakup bukan hanya saksi, korban, tersangka dan terdakwa tapi terpidana mati.

Bahkan perluasan objek praperadilan bukan semata untuk kepentingan terpidana mati tapi terhadap korban pelanggaran hak dalam kapasitasnya sebagai saksi, korban, tersangka dan terdakwa yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana. Di samping itu mekanisme praperadilan merupakan sistem pengawasan yudisial sebagai institusi eksternal dalam lingkup kekuasaan yudikatif sebagai upaya menghadirkan prinsip check and balances dan menampilkan wajah sistem peradilan pidana yang transparan dan akuntabel.

Sebab jika komutasi yang dijalankan menurut KUHP Baru, cenderung dilaksanakan tertutup antara Presiden atau Lapas yang berperan dari segi administratif maupun memberikan pertimbangan tertentu. Pun kehadiran terpidana mati yang diwakili advokat, sebatas advokasi dari segi teknis maupun administratif, yang menutup ruang pembuktian dan pengujian yang efektif dan diandalkan.

Oleh karena itu mekanisme komutasi dibawa pada ruang terbuka yakni forum praperadilan sekaligus menguji dan membuktikan legal reasoning advokat maupun Presiden atau Lapas. Forum praperadilan yang terbuka menutup celah transaksi kapital maupun ruang politisasi penguasa terhadap kasus-kasus pidana mati yang selama ini kerap diumbar ke publik sebagai cara menampilkan penegakan hukum yang keras dan menunjukan keberanian.

Alasan Demi Hukum

Bahwa pemenjaraan panjang terpidana mati yang telah bertahun-tahun dijalani namun tidak ada perkembangan atas permohonan komutasi maupun grasi sangat dimungkinkan jika berkaca pada pengalaman kasus terpidana mati Merri Utami mendapatkan keputusan grasi diberikan melebihi jangka waktu yang ditentukan regulasi tentang grasi.

Bahkan terhadap keputusan komutasi maupun grasi yang sudah ditolak namun situasi pelaksanaan eksekusi mati dari segi teknis maupun legal tidak memungkinkan dilaksanakan menjadi faktor penyebab durasi pemenjaraan menjadi panjang.

Berdasarkan kondisi demikian upaya alternatif dalam menyelesaikan persoalan sebagai implementasi terpidana mati mendapatkan jaminan pemulihan efektif maka perlu formulasi baru dalam rumusan revisi KUHAP terkait pengaturan pelaksanaan putusan yang menjadi kewenangan jaksa berupa terpidana mati yang menjalani pemenjaraan lebih dari 20 demi hukum menjadi non-pidana mati.

Solusi alternatif ini praktiknya mengandung perubahan substansial dalam politik hukum pidana mati yang secara de jure menghapus pidana mati dalam hukum pidana nasional kendati memikul prasyarat yakni pemenjaraan yang dijalani terpidana mati telah dilaksanakan lebih dari 20 tahun.

Politik hukum ini dalam konteks global membawa Indonesia ke tengah negara-negara yang sudah lebih dulu menghapus secara definitif pidana mati maupun menerapkan pidana mati untuk tindak pidana tertentu. Lebih mendasar dari itu, kepastian hukum menjadi prinsip yang melekat dalam sistem peradilan pidana Indonesia dan bukan lagi prinsip kosmetik.

M. Afif Abdul Qoyim. Pengacara Publik YLBHI.

Simak juga Video: Aksi Tolak RKUHAP di DPR, Wajah Prabowo Ditempel di Kursi Kosong

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads