Ambalat, Laut Sulawesi, dan Perjalanan Nama pada Peta dan Kedaulatan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Ambalat, Laut Sulawesi, dan Perjalanan Nama pada Peta dan Kedaulatan

Senin, 25 Agu 2025 11:06 WIB
Aji Putra Perdana
Surveyor Pemetaan Madya di Badan Informasi Geospasial; Geografer Pemerhati Peta dan Toponimi; Menyelesaikan studi doktoral di University of Twente dengan fokus pada pelestarian nama lokal (toponim) secara partisipatif.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Bakamla RI melalui unsur patroli KN Ular Laut-405 menggelar Operasi Keamanan dan Keselamatan Laut di perairan Ambalat yang merupakan perbatasan Indonesia-Malaysia, Minggu (13/2/2022).
Foto: Ilustrasi kawasan Ambalat (Dok Bakamla)
Jakarta -

Pagi di pesisir Selat Makassar selalu menawarkan keheningan yang penuh makna. Kala matahari menyentuh permukaan air dan nelayan mengulur perahunya, barangkali tak ada yang peduli, di sana, jauh di garis cakrawala, pernah bersemayam riuh diplomasi tentang sejumput nama: Ambalat, Laut Sulawesi, beberapa derajat koordinat pada kertas yang menyimpan lebih dari sekadar angka.

Toponimi, atau ilmu pengetahuan dan seni yang mempelajari pemberian nama tempat dan arti makna di balik sebuah nama, nyatanya bukan perkara sederhana. Ia adalah ruang di mana sejarah, kebijakan, bahkan kegamangan identitas bertemu dalam lembar peta dan opini publik.

Mengingatkan pada kalimat yang pernah terlontar dari seorang pejabat negara, "ada 4.000 pulau yang belum bernama, siapa pun boleh kasih nama, tapi bukan berarti pulau itu milik kamu."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pernyataan Luhut Binsar Pandjaitan pada tahun 2017 kala itu sederhana, namun menyentuh inti dari persoalan: memberi nama ternyata adalah petualangan menggali jati diri dan sekaligus menghadirkan tanggung jawab menjaga warisan.

Nama, apalagi yang dilekatkan di atas peta, tak pernah lahir dalam ruang hampa. Sejarah pernah mencatat betapa gonjang-ganjing publik terjadi ketika pemerintah mengumumkan pembakuan nama pada peta, menata pulau-pulau tanpa nama, atau mengganti istilah yang selama ini jamak dikenal masyarakat.

ADVERTISEMENT

Ingatan tentang "Laut Natuna Utara" yang menggantikan "Laut China Selatan" dalam peta Negara Kesatuan Republik Indonesia edisi tahun 2017, misalnya, menimbulkan diskusi hangat bukan hanya di ruang-ruang pejabat, tapi juga di jejaring digital, bahkan di antara negara-negara tetangga.

Nama geografi, sesederhana apapun, selalu membawa implikasi luas. Pemberian nama mengandung makna strategis, administratif, juga identitas kolektif. Di dalam kecamuk penetapan nama, tidak jarang publik bertanya, "Apalah arti sebuah nama pada kawasan atau pulau?" Namun realitanya, nama bisa menjelma sebagai pernyataan kedaulatan, instrumen branding wilayah, atau bahkan alat diplomasi yang halus tapi tajam.

Kilas balik ke soal Ambalat dan Laut Sulawesi, kita disadarkan bahwa silang nama tidaklah sekadar selisih kabar atau kebetulan. Ambalat bagi Indonesia adalah kawasan blok migas dengan segala kisah diplomasi dan trauma kolektif kehilangan Sipadan-Ligitan.

Sebuah nama yang menegaskan betapa peta tidak hanya ditentukan oleh garis-garis batas, tetapi juga oleh upaya membangun kehormatan nasional. Malaysia, di sisi lain, menempatkan Laut Sulawesi sebagai penanda ruang maritim yang strategis dan sarat narasi sejarah mereka sendiri. Di sini, realitas dua negara bertemu pada satu bentang laut, membawa masing-masing memori dan kepentingan.

Mungkin, bagi masyarakat nelayan yang sehari-hari melaut, nama-nama itu tak lebih penting dari hasil tangkapan. Namun bagi sebuah bangsa, nama menjadi pernyataan yang dibaca dunia: tentang siapa yang menjaga, siapa yang punya hak, dan siapa yang menanam aspirasi dalam sepotong koordinat di peta.

Refleksi atas polemik penamaan ini tak bisa dilepaskan dari proses dan peraturan yang menyertainya. Indonesia menapaki jalan menuju tertib penamaan lewat regulasi yang diwujudkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi.

Dengan instrumen ini yang diperkuat melalui aturan pelaksanaannya dalam Peraturan Badan Informasi Geospasial Nomor 6 Tahun 2023, penamaan tidak dilakukan secara sembarangan. Ada prinsip penamaan rupabumi yang mesti dijaga: nama tidak boleh berasal dari nama orang yang masih hidup, mesti menghormati kearifan lokal, memakai bahasa Indonesia atau daerah, nama spesifiknya tak lebih dari tiga kata, dan didasari musyawarah yang melibatkan banyak pihak.

Di balik layar, upaya pembakuan nama seringkali sunyi dari pemberitaan. Proses identifikasi, verifikasi di lapangan, hingga musyawarah bersama masyarakat menjadi penentu agar tiap nama tak hanya sekadar tertera, tetapi juga dihidupi dan dihayati.

Dalam berbagai tulisan dan riset toponimi, termasuk opini yang saya sampaikan, sejatinya makin nampak jelas bahwa penamaan selalu dikaitkan dengan tangible dan intangible heritage-pusaka budaya yang perlu dijaga melalui mekanisme kolektif, bukan ego personal.

Sengkarut penamaan blok atau kawasan laut bukan hal baru di peta Asia Tenggara. Dunia menyaksikan tarik ulur antara "Sea of Japan" vs "East Sea", kasus Laut Natuna Utara vs South China Sea, hingga perdebatan penamaan kawasan dan pulau di perbatasan. Setiap nama membawa lapis kepentingan-politik, ekonomi, identitas, bahkan kadang sentimen emosional yang sulit dijabarkan secara formal. Nama menjadi titik temu (atau titik benturan) antara hukum, sejarah, dan harapan publik.

Di sisi lain, terdapat pula fenomena "Vandalisme Toponimi" yang muncul di era media sosial pun menjadi pengingat bahwa digitalisasi membuat nama tempat mudah dipermainkan, bahkan bisa menjadi alat klaim dan branding personal.

Platform peta dan media daring bisa saja menampilkan nama "baru" hasil poligon atau tagging amatiran, namun dalam kebijakan negara, prosedur dan prinsip tetap harus dipegang. Nama bukan hanya soal siapa yang memberi, tetapi lebih pada cara dan niat baik membangun ruang kolektif.

Menilik pengalaman Indonesia pada kasus Laut Natuna Utara-bagaimana pemerintah menegaskan hak sekaligus membuka ruang dialog internasional tanpa menuntut negara lain mengubah istilah mereka-sebenarnya bisa menjadi pola efektif dalam mengelola perbedaan seperti Ambalat. Nama dapat koeksisten sesuai fungsinya: satu untuk kepentingan energi dan administratif nasional, satu lagi untuk keperluan navigasi maupun kerjasama internasional.

Riuh perdebatan boleh saja mereda, namun pekerjaan rumah bangsa belum sepenuhnya tuntas. Pendidikan mengenai toponimi, pembakuan nama yang partisipatif, serta kampanye literasi geospasial, tetap diperlukan agar masyarakat memahami bahwa tiap nama di peta adalah hasil kesepakatan, sejarah, dan mekanisme yang panjang.

Bagi bangsa yang besar, menjaga nama bukan hanya soal administrasi atau pencitraan semata. Lebih dari itu, ia menjadi bagian dari pembangunan peradaban-seperti yang pernah saya tulis di kolom detikcom pada tahun 2017, "memberi nama pulau bukanlah membeli pulau," tetapi membangun ruang di mana memori, harapan, dan kearifan lokal melebur dalam setiap jengkal bumi.

Akhirnya, Ambalat dan Laut Sulawesi mengajarkan bahwa memberi nama adalah tindakan membangun makna, menata peradaban, dan menjaga harmoni di tengah perbedaan. Setiap pilihan nama adalah refleksi: tentang jati diri, tentang cara bangsa merawat warisan, dan tentang upaya agar keragaman Nusantara tetap lestari, baik melalui peta di tangan pegiat, di layar digital anak muda, maupun di cerita nelayan yang kembali ke dermaga sore hari.

Sebab pada akhirnya, nama bukan hanya milik pemerintah, tokoh, ataupun pakar. Nama adalah milik bersama-di mana perbincangan, diskusi, dan asa disimpan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.


Aji Putra Perdana. Surveyor Pemetaan Madya di Badan Informasi Geospasial dan Geografer Pemerhati Peta dan Toponimi.

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads