Kolom

Menyikapi Ketergantungan terhadap GenAI dalam Pendidikan

Waliyadin - detikNews
Sabtu, 23 Agu 2025 09:28 WIB
Foto: Ilustrasi AI (Getty Images/Supatman)
Jakarta -

Temuan tim peneliti neuroscience di Massachusetts Institute of Technology (MIT) tentang dampak penggunaan Generative Artificial Intelligence (GenAI) dengan tajuk Your Brain on ChatGPT: Accumulation of Cognitive Debt when Using an AI Assistant for Essay Writing Task (Kosmyna et al. 2025) sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Sebab, memang telah ada studi pendahulu yang juga menelisik dampak buruk penggunaan ChatGPT (misalnya, Bogost, 2024; Lee, 2023; dan Lo, 2023).

Namun, pemberitaan yang masif di berbagai media mengindikasikan adanya kekhawatiran serius terhadap dampak negatif GenAI terhadap kehidupan manusia. Teknologi yang awalnya diharapkan membawa kemajuan, justru dinilai berpotensi mengancam eksistensi manusia itu sendiri sebagaimana dikhawatirkan oleh Yuval Noah Harari dalam Nexus (2024).

Faktanya, ketergantungan berlebihan pada GenAI dapat membuat manusia terjerat dalam perbudakan teknologi. Seperti yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti dalam orasi ilmiah yang disampaikan di Universitas Negeri Semarang belum lama ini, alih-alih meningkatkan kreativitas dan daya kritis, penggunaan GenAI secara berlebihan justru mendorong perilaku culas dan menurunkan kualitas berpikir.

GenAI mengambil alih peran manusia secara maksimal sehingga banyak individu kehilangan kemampuan dasar yang dulu mereka miliki.

Dunia pendidikan memegang tanggung jawab besar dalam merespons tantangan ini. Ketika sebagian besar manusia mulai terlena oleh kecanggihan AI, dunia pendidikan harus bersikap kritis: bagaimana menghadapi perkembangan teknologi di satu sisi, dan di sisi lain tetap menjaga fungsinya sebagai garda terdepan dalam mengembangkan potensi kemanusiaan secara utuh?

Sikap manusia terhadap teknologi otomatisasi sebenarnya tidak berubah dari masa ke masa. Menurut Sheridan dan Verplanck (1978), ada sepuluh tingkat otomatisasi yang menggambarkan peran mesin dalam pengambilan keputusan-dari level 1, di mana mesin tidak memberi bantuan sama sekali, hingga level 10, di mana mesin bertindak secara otonom tanpa melibatkan manusia. Semakin tinggi tingkat otomatisasi, semakin besar kemandirian mesin dan semakin berkurang peran manusia.

Contoh sederhana adalah penggunaan Global Positioning System (GPS). Awalnya, kita hanya mengandalkan daya ingat dan membaca petunjuk arah. Namun, setelah beberapa kali tersesat, kita akhirnya sepenuhnya bergantung pada GPS. Fenomena ini menggambarkan bagaimana teknologi mengambil alih kontrol dan melemahkan keterampilan kognitif manusia secara perlahan.

Hal serupa terjadi dalam pembelajaran. Ketika pertama kali mencoba ChatGPT untuk mencari ide menulis esai, kita mungkin sekadar ingin mendapatkan inspirasi. Namun, ketika hasil yang dihasilkan oleh ChatGPT terasa lebih baik dari tulisan kita sendiri, muncullah rasa minder, dan akhirnya kita menjadi malas untuk menulis sendiri.

Dampaknya, kemampuan menulis pun menurun karena kita terbiasa menyerahkan tugas sepenuhnya pada mesin.

Namun, perilaku semacam ini sebenarnya bukan hal baru. Sebelum era GenAI, kita sudah mengenal praktik perjokian dalam pengerjaan skripsi, ujian masuk perguruan tinggi, dan tes bahasa Inggris. Fenomena ini menunjukkan bahwa ketergantungan pada pihak lain untuk menyelesaikan tugas akademik bukanlah hal yang asing.

GenAI, dalam konteks ini, hanya menggantikan peran manusia dalam praktik perjokian tersebut. Masalah utamanya adalah ketergantungan yang berlebihan dan hilangnya keterlibatan personal.

Oleh karena itu, penting untuk menumbuhkan sikap appropriate reliance atau ketergantungan yang tepat terhadap teknologi, yang didasarkan pada dua prinsip utama: calibrated trust (kepercayaan yang terkalibrasi) dan situational awareness (kesadaran situasional). Menurut Lee dan See (2004), kepercayaan yang terkalibrasi berarti memahami cara kerja, tujuan, dan performa sistem otomatisasi.

Sementara itu, Endsley dan Garland (2000) menyatakan bahwa kesadaran situasional mencakup pemahaman tentang apa yang sedang dilakukan mesin, mengapa hal itu dilakukan, dan konsekuensi dari tindakan tersebut. Gabungan dua prinsip ini memungkinkan manusia tetap memegang kendali dalam memanfaatkan teknologi secara optimal.

Dalam proses kreatif seperti penulisan buku, misalnya, penulis tetap menjadi aktor utama meskipun dibantu oleh editor, desainer layout, penyelaras bahasa, dan ilustrator sampul. Bantuan tersebut justru meningkatkan kualitas karya, bukan menghapus kontribusi penulis. Prinsip ini bisa diterapkan juga dalam penggunaan GenAI-bukan untuk menggantikan, tetapi untuk mendukung proses berpikir dan berkarya manusia.

Penggunaan GenAI yang berlebihan akan berdampak buruk. Ketika seseorang menyerahkan seluruh proses penulisan pada ChatGPT, maka ia kehilangan rasa kepemilikan dan pencapaian atas karya tersebut sebagaimana ditegaskan dalam hasil penelitian neouroscience oleh MIT.

Padahal, sejatinya teknologi hadir untuk memperbaiki hasil kerja, bukan mengambil alih sepenuhnya. Contohnya, Grammarly membantu memperbaiki tata bahasa, bukan menulis seluruh isi tulisan.

Dalam konteks pendidikan, penggunaan GenAI yang tidak dikontrol memang berpotensi menggerus daya kritis siswa, sebagaimana ditunjukkan oleh hasil penelitian ilmuwan MIT. Hal ini akan terjadi jika siswa hanya menyalin hasil dari GenAI tanpa memahami atau meninjau ulang. Namun, sebagaimana ditekankan oleh Nataliya Kosmyna waktu diperbolehkannya menggunakan GenAI itu sangat penting.

Jika penulis diberikan waktu untuk mendalami topik dan mengumpulkan gagasan terlebih dahulu tanpa bantuan alat GenAI penulis akan mendapatkan manfaat yang lebih dari memanfaatkan Chat GPT kata Kosmyna seperti dikutip dalam Education Week (26/06) dalam artikelnya yang berjudul Brain Activity Is Lower for Writers Who Use AI. What That Means for Students.

Oleh karena itu, sistem penilaian di sekolah dan perguruan tinggi perlu segera direformasi agar tetap relevan di era AI. Guru dan dosen harus mampu merancang penilaian yang melampaui model tradisional. Jika penilaian hanya berupa esai tertulis, maka siswa cenderung mengandalkan Chat GPT. Di sisi lain, jika pengajar juga hanya mengandalkan AI untuk menilai, maka proses belajar menjadi hampa-tidak ada lagi interaksi bermakna antara siswa dan guru.

Ini mengingatkan kita pada praktik perjokian masa lalu, dimana mahasiswa setidaknya masih membaca referensi dan mempersiapkan diri untuk sidang-kendatipun praktik perjokian tetap tidak disarankan. Dalam konteks AI, keterlibatan siswa bisa jauh lebih minim jika tidak diantisipasi dengan baik.

Oleh karena itu, beberapa langkah penting perlu dilakukan. Pertama, desain penilaian harus diubah dari soal-soal pengetahuan faktual menjadi asesmen berbasis proyek atau masalah, yang mendorong penggunaan higher-order thinking skills sesuai taksonomi Bloom. Kedua, penilaian lisan seperti wawancara dapat mengurangi ketergantungan siswa terhadap GenAI dan meningkatkan motivasi belajar. Ketiga, guru dan dosen perlu merancang rubrik penilaian yang menilai kemampuan berpikir tingkat tinggi, bukan sekadar penguasaan konten.

Akhirnya, penggunaan GenAI dalam pendidikan tidak bisa dihindari. Yang diperlukan adalah kreativitas dan kebijakan dari para pendidik untuk menyusun ulang model pembelajaran dan penilaian secara lebih bermakna.

Larangan penggunaan AI tidak akan efektif karena siswa bisa tetap menggunakannya secara diam-diam, sementara alat pendeteksi AI juga belum sepenuhnya dapat diandalkan (Dalalah & Dalalah, 2023; Liang et al., 2023). Maka, alih-alih melarang, mendidik siswa untuk bijak dan bertanggung jawab dalam menggunakan GenAI menjadi langkah yang jauh lebih strategis.

Waliyadin. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Mahasiswa PhD di University of Canberra Australia.

Simak juga Video: Apa Benar Sering Pakai ChatGPT Bikin Kita Bodoh?




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork