Bumi Pati dan Refleksi Otonomi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Bumi Pati dan Refleksi Otonomi

Kamis, 21 Agu 2025 18:55 WIB
Rico Novianto Hafidz
Mahasiswa Doktoral FHUI.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Aksi demo Bupati Pati Sudewo pada Rabu (13/8/2025).
Foto: Aksi demo Bupati Pati Sudewo pada Rabu (13/8/2025).Dian Utoro Aji/detikJateng
Jakarta -

Gelombang aksi demonstrasi di Pati empat hari sebelum kemerdekaan Indonesia tidak dapat dipandang karena arogansi Bupati dan imbas kebijakan kenaikan 250% atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) semata.

Sebab, kenaikan drastis PBB tidak hanya terjadi di Pati saja, melainkan berbagai daerah seperti Cirebon, Semarang, Jombang dan Bone hingga 1202 % dan bukan tidak mungkin akan terjadi di daerah lain.

Otonomi daerah yang diharapkan memberikan kemandirian dan percepatan pembangunan daerah di Indonesia, ternyata tidak dapat menjadi solusi dari ketergantungan daerah pada pemerintah pusat. Selain itu, minimnya realita kewenangan yang diberikan pusat kepada daerah karena peraturan perundang-undangan sektoral lainnya menjadi penyebab tidak efektifnya pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ADVERTISEMENT

Otonomi dan Kemandirian Daerah

Pemberian hak otonomi kepada daerah ditujukan sebagai jalan tengah agar pemerintah daerah memiliki hak untuk mengatur sendiri kepentingan intern daerah atau organisasinya menurut hukum sendiri Otonomi di Indonesia telah diatur sejak era kolonialisme hingga era reformasi. Paradigma otonomi berubah dari mulai sentralistik, federalistik, dan desentralisasi.

Konstitusi mengatur otonomi di Indonesia untuk dijalankan seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai pemerintah pusat. Hal ini berbeda dengan konsep federalisme yang mengartikan otonomi sebagai bentuk indepedensi kewenangan daerah dari segala bentuk intervensi dari pemerintah pusat.

Pasal 18 UUD 1945 yang kerap menjadi acuan konstitusional terbentuknya daerah otonomi baru dalam level implementasinya telah menimbulkan permasalahan sejak tahun-tahun awal kemerdekaan hingga hari ini.

Pergulatan untuk memperkuat kewenangan pemerintah pusat selalu berbenturan dengan aspirasi dan perluasan kewenangan pemerintah daerah. Hal ini terjadi lantaran sikap dualisme pemerintah pusat dalam melihat daerah apakah sebagai entitas yang otonom maupun entitas yang sepenuhnya harus dikendalikan.

Konstitusi mengamanatkan hubungan keuangan, pelayanan umum, dan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Namun demikian, UU terkait seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan UU Pengelolaan Lingkungan termasuk UU Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang bersifat sentralistik dan turut membatasi kewenangan dan akses pendapatan pemerintah daerah.

Otonomi dan Dependensi

Pada tahun 2025, Sekitar 90 % kota kabupaten di Indonesia masuk dalam kategori fiskal lemah. Hal ini disampaikan Mendagri pada Rapat Kerja DPR RI dengan Gubernur dan Bupati/Walikota.

Dari 546 daerah, 493 daerah yang terdiri dari 15 provinsi, 402 kabupaten dan 70 kota masuk dalam kategori fiskal lemah. Sementara, daerah independen atau fiskal kuat hanya 27 daerah, terdiri dari 11 provinsi, 4 kabupaten, dan 11 kota yang tergolong fiskal kuat.

Sementara, Inpres Efisiensi Era Prabowo menyebabkan transfer pusat ke daerah terus turun. Kebijakan pemangkasan dana terus terjadi hingga RAPBN 2026 sebesar Rp 269 triliun dari tahun 2025 yang semula Rp 919 triliun menjadi Rp 650 triliun.

Penurunan signifikan ini tentunya menjadi salah satu penyebab kebijakan Pemda untuk menaikkan sumber pendapatan termasuk PBB dan bukan tidak mungkin pajak-pajak lain yang berkaitan dengan rakyat.

Sebab, sumber penerimaan pajak asli daerah (PAD) sebagai salah satu sumber daerah terbatas pada sektor retail yang berkaitan dengan rakyat seperti tanah, kendaraan bermotor, dan air tanah.

Namun demikian, objek potensial seperti pajak mineral logam dan batuan tidak menjadi sumber PAD. Padahal, dampak ekologis dan sosiologis secara langsung pada aktivitas tambang dirasakan oleh daerah tersebut.

Sementara itu, kewenangan atas otonomi daerah diberikan setidaknya pada enam belas sektor yang bersifat kebutuhan dasar seperti pendidikan, pencatatan sipil, sarana dan prasanara serta pelayanan dasar lainnya. Tidak mengherankan, keterbatasan kewenangan tersebut menimbulkan ketidakmampuan pemerintah daerah dalam menjalankan pemerintahannya.

Esensi Otonomi

Otonomi seharusnya memberikan ruang bagi daerah untuk mandiri dengan mempertahankan keberagaman dan kearifan lokal di tengah bingkai NKRI. Namun demikian, kebijakan pemerintah atas pemekaran atau Daerah Otonomi Baru (DOB) menjadi sia-sia jika tidak memiliki kemampuan fiskal yang memadai.

Saat ini, tuntutan 337 DOB perlu dievaluasi dengan pelaksanaan DOB hingga 2024 yang setidaknya telah dilakukan lima provinsi dan 18 kota/kabupaten baru. Langkah kemendagri yang melakukan moratorium DOB memang cukup beralasan. Pemekaran yang telah diberikan pasca UU Pemda perlu dipikirkan secara matang terkait dengan kemandirian daerah tersebut.

Otonomi pasca reformasi masih menyisakan dependensi dan memerlukan evaluasi tata kelola antara pemda dan pemerintah pusat. Evaluasi ini mendesak dilakukan dengan mencakup berbagai sektor seperti pembagian sektor kewenangan, keuangan, dan tata kelola pemerintah agar terciptanya kemandirian pemerintah daerah dan tetap terjaganya persatuan Indonesia.


Rico Novianto Hafidz. Mahasiswa Doktoral FHUI.

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads