Merdeka dari Serakahnomics
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Merdeka dari Serakahnomics

Selasa, 19 Agu 2025 19:18 WIB
Rasminto
Dosen Geografi Politik Unisma dan Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI)
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato kenegaraan perdananya dalam Sidang Tahunan MPR serta Sidang Bersama DPR–DPD di Gedung Nusantara, Jakarta, Jumat (15/8/2025).
Prabowo berpidato saat sidang tahunan (Foto: Andhika Prasetia)
Jakarta -

Kemerdekaan bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan pintu masuk menuju cita-cita luhur bangsa dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Setiap 17 Agustus, kita tidak hanya merayakan bebasnya tanah air dari penjajahan asing, tetapi juga merefleksikan sejauh mana janji proklamasi benar-benar hidup dalam denyut keseharian rakyat.

Apakah wong cilik sudah bisa tersenyum lega karena terbebas dari kemiskinan, kelaparan, dan ketidakadilan? Ataukah kemerdekaan masih sebatas simbol yang seringkali tertahan oleh cengkeraman keserakahan segelintir elite?.

Di sinilah relevansi refleksi kemerdekaan menemukan bentuknya. Bahwa kemerdekaan sejati harus berarti merdeka dari serakahnomics, sebuah istilah yang melukiskan watak ekonomi serakah yang dikuasai segelintir orang, merampas hak mayoritas rakyat, dan mengorbankan nilai-nilai keadilan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Serakahnomics hadir dalam rupa kartel pangan yang membuat harga minyak goreng langka di negeri penghasil sawit terbesar, atau mafia tambang yang menguras kekayaan bumi tanpa peduli pada kerusakan lingkungan dan penderitaan masyarakat sekitar. Ia adalah wajah baru kolonialisme, bukan datang dari bangsa asing, melainkan tumbuh dari dalam tubuh bangsa sendiri.

Refleksi kemerdekaan 2025 ini menjadi semakin penting ketika Presiden RI Prabowo Subianto, dalam Sidang Tahunan MPR (15 Agustus 2025), menegaskan bahwa mimpi mensejahterakan rakyat bukanlah ilusi dengan menegaskan "Wong cilik iso gemuyu. Itulah tujuan kemerdekaan yang sesungguhnya".

ADVERTISEMENT

Pesan ini sederhana, namun sarat makna, sebab, kemerdekaan sejati bukan hanya bendera yang berkibar atau lagu kebangsaan yang dinyanyikan, melainkan terwujud ketika setiap rakyat kecil bisa hidup dengan senyum, karena kebutuhan dasarnya tercukupi, masa depannya terjamin, dan martabatnya dihormati.

Janji Kemerdekaan

Presiden Prabowo dalam pidato kenegaraan di Sidang MPR RI (2025), juga menegaskan, "Kemerdekaan sejati adalah merdeka dari kemiskinan, merdeka dari kelaparan, dan merdeka dari penderitaan". Pernyataan ini meneguhkan bahwa kemerdekaan bukan sekadar simbol politik, melainkan janji untuk membebaskan rakyat dari belenggu kesengsaraan hidup.

Pandangan tersebut sejalan dengan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945 yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yakni melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut menjaga perdamaian dunia.

Sejarah bangsa telah menegaskan arah yang sama. Bung Karno pernah berkata, "Kemerdekaan hanyalah jembatan emas", yang harus menyeberangkan rakyat menuju keadilan dan kemakmuran. Makna ini sejalan dengan gagasan Amartya Sen (1999) dalam Development as Freedom, bahwa pembangunan adalah pembebasan manusia dari segala bentuk ketidakberdayaan.

Presiden RI ke 5, KH. Abdurrahman Wahid atau dikenal Gus Dur pun mengingatkan, "Negara harus hadir untuk yang lemah, karena yang kuat bisa menjaga dirinya sendiri". Dengan demikian, janji kemerdekaan menuntut keberpihakan negara pada mereka yang paling rentan, yaitu rakyat kecil yang menghadapi beban hidup sehari-hari.

Karena itu, cita-cita bangsa Indonesia tidak boleh berhenti pada angka pertumbuhan ekonomi lima persen per tahun, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk keadilan sosial yang nyata. Anak-anak bangsa harus bisa sekolah dengan perut kenyang, petani dan nelayan memperoleh harga komoditasnya yang adil, guru dan dosen dihargai atas pengabdiannya, dan keluarga tidak lagi takut jatuh miskin karena biaya kesehatan yang mahal. Inilah kemerdekaan yang hidup dan berdenyut, sebuah janji luhur yang terus diperjuangkan lintas generasi.

Bung Karno pernah mengingatkan, "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri". Pesan ini jadi pengingat bahwa tugas generasi hari ini adalah menepati janji kemerdekaan, menghadirkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Keberanian Melawan Kartel

Lanjut dalam pidatonya, Presiden Prabowo juga menyoroti distorsi serius dalam sistem ekonomi nasional, dengan mengatakan "Sungguh aneh, negara dengan produksi kelapa sawit terbesar di dunia pernah mengalami kelangkaan minyak goreng". Pernyataan tersebut membuka tabir kenyataan bahwa kartel pangan masih bercokol, memainkan harga dan distribusi untuk mengorbankan kepentingan rakyat.

Pemerintah merespons dengan langkah tegas melalui Satgas Penertiban Kawasan Hutan, yang hingga kini telah menertibkan 3,1 juta hektar lahan sawit ilegal, serta menegaskan komitmen untuk menindak tambang-tambang yang merusak lingkungan dan melanggar hukum.

Fenomena kartel dan mafia ekonomi dapat dijelaskan melalui teori rent-seeking (Krueger, 1974), di mana kelompok elite memperoleh keuntungan bukan dari produktivitas, melainkan dari monopoli akses dan regulasi. Pola inilah yang menyebabkan segelintir orang menikmati laba besar, sementara rakyat harus menanggung harga tinggi dan kelangkaan barang.

Karena itu, langkah Presiden membatasi izin penggilingan beras skala besar serta menempatkan distribusi pangan di bawah kendali negara bukanlah kemunduran, melainkan keberanian untuk menegakkan amanat Pasal 33 UUD 1945, yakni cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Geopolitik yang Tidak Menentu

Presiden Prabowo juga menegaskan bahwa dunia kini berada dalam kondisi geopolitik yang tidak menentu, sehingga Indonesia tidak boleh lengah dalam memperkuat pertahanan. Situasi global hari ini ditandai dengan rivalitas Amerika Serikat–Tiongkok yang semakin tajam, perang Rusia–Ukraina yang berlarut tanpa kepastian, serta konflik di Timur Tengah yang mengguncang stabilitas energi dunia.

Richard Haas (2017) dalam A World in Disarray menyebut era ini sebagai "non order", dimana era tanpa tatanan global yang stabil dengan negara-negara dipaksa bertumpu pada daya tahan internalnya.

Menghadapi tantangan itu, Indonesia merespons dengan langkah konkret memperkuat pertahanannya dengan membangun enam Kodam baru, memperkuat pasukan khusus, dan meningkatkan kesiapan pertahanan yang modern.

Di ranah diplomasi, Indonesia aktif dalam forum internasional seperti BRICS, G20, dan ASEAN, bukan hanya untuk menegaskan posisi, tetapi juga memastikan bahwa kekayaan nasional terlindungi di tengah pusaran geopolitik global. Pendekatan ini menunjukkan bahwa kemandirian pertahanan dan diplomasi aktif merupakan dua sisi mata uang yang saling melengkapi dalam menjaga kedaulatan bangsa.

Di sinilah relevansi Wawasan Nusantara yang dirumuskan Mochtar Kusumaatmadja (1984) menjadi nyata, dengan posisi strategis Indonesia berada pada posisi silang di antara dua samudera dan dua benua, menjadi sebuah berkah sekaligus ancaman. Dengan pengelolaan sumber daya yang adil serta pertahanan maritim yang kuat, Indonesia dapat tampil sebagai kekuatan regional yang disegani.

Bung Karno pernah berkata, "Letakkan dunia di tangan Asia, dan Asia akan bangkit sebagai kekuatan penentu", sebuah pesan yang kini menemukan aktualisasinya. Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki kesempatan historis untuk menjadi penyeimbang strategis di kawasan Indo-Pasifik yang berdaulat, berdaya, dan berwibawa di mata dunia.

Dari Elite ke Rakyat

Presiden Prabowo dalam pidato kenegaraan tersebut juga menyoroti bahwa pertumbuhan ekonomi rata-rata lima persen selama tujuh tahun terakhir memang mencatatkan angka makro yang impresif, tetapi belum sepenuhnya dirasakan oleh rakyat kecil.

Wajah kemiskinan di desa-desa masih membekas, dan ketimpangan membuat manfaat pembangunan lebih banyak dinikmati segelintir kalangan elite. Sorotan ini menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi harus diukur bukan hanya dari angka statistik, melainkan dari sejauh mana dapat mengubah kualitas hidup masyarakat bawah.

Sebagai jawaban, lahirlah program-program seperti Makan Bergizi Gratis, Sekolah Rakyat, dan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Ketiga program ini bukan sekadar intervensi teknis, melainkan strategi Presiden Prabowo dalam membalik arus pembangunan dari atas ke bawah, dari elite ke rakyat.

Makan Bergizi Gratis yang menjangkau jutaan anak sekolah merupakan investasi jangka panjang untuk memperkuat kualitas generasi, sementara Sekolah Rakyat dan Koperasi Desa menjadi sarana memperluas akses pendidikan, lapangan kerja, dan kemandirian ekonomi di akar rumput.

Daron Acemoglu dan James Robinson (2012) dalam Why Nations Fail menegaskan bahwa kemakmuran hanya bisa tercapai bila institusi bersifat inklusif. Artinya, kebijakan harus membuka kesempatan bagi rakyat banyak, bukan menutupnya demi oligarki.

Di titik inilah keberpihakan pemerintah menjadi penting demi memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak berhenti di lingkaran elite, melainkan mengalir hingga ke desa-desa, ke petani, nelayan, guru-dosen, dan keluarga kecil yang menjadi fondasi bangsa.

Harapan yang Bisa Dicapai

Jalan menuju Indonesia sejahtera tentu tidak mulus. Kartel pangan, mafia tambang, dan kelompok modal besar akan selalu berusaha mempertahankan status quo demi kepentingannya sendiri. Namun sejarah bangsa ini membuktikan bahwa setiap mimpi yang diperjuangkan dengan keberanian selalu menemukan jalannya.

Dari para pendiri bangsa hingga generasi kini, Indonesia berdiri tegak karena keberanian untuk melawan ketidakadilan dan keyakinan bahwa masa depan yang lebih adil dapat diraih bersama.

Presiden Prabowo menegaskan dengan tegas, "Selama saya menjabat, jangan pernah anggap yang besar dan kaya bisa bertindak seenaknya. Pemerintah akan selalu tegas membela kepentingan rakyat". Kalimat di atas merupakan janji moral seorang Kepala Negara yang memperkuat fakta bahwa negara berdiri di sisi rakyat, bukan di belakang elite yang serakah.

Pun ketika pidato ditutup dengan seruan, "Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju", itu bukan sekadar retorika politik, melainkan arah perjalanan bangsa menjadi sebuah kompas yang meneguhkan harapan bahwa kesejahteraan rakyat jadi tujuan yang dapat dicapai, asalkan kita bersatu dan konsisten menjaga amanat kemerdekaan.

Rasminto, Dosen Geografi Politik Unisma dan Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI)

(imk/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads