Hari ini tanggal 18 Agustus 2025 bangsa kita memperingati Hari Konstitusi. Peringatan khusus untuk hari lahir konstitusi adalah hal baru dalam sejarah ketatanegaraan kita. Dimulai sejak tahun 2008 di era reformasi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Berdasarkan Keppres No. 18 Tahun 2008 yang ditandatangani Presiden SBY, secara resmi tanggal 18 Agustus ditetapkan sebagai Hari Konstitusi.
Ada tiga alasan penting mengapa tanggal 18 Agustus ditetapkan sebagai Hari Konstitusi dan diperingati. Bahkan dari Ketua MPR Doktor Ahmad Mudjani saya mendapat kabar bahwa Presiden Prabowo telah menetapkan Hari Konstitusi 18 Agustus sebagai hari libur nasional.
Pertama, karena pada tanggal 18 Agustus 1945 itu, persis sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, UUD Proklamasi ditetapkan dan disahkan para pendiri negara, para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai konstitusi negara. Dengan peringatan Hari Konstitusi, kita warga negara diingatkan bahwa konstitusi yang berlaku saat ini asal muasalnya adalah UUD Proklamasi yang telah disiapkan dan disahkan para pendiri negara pada tanggal 18 Agustus 1945.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, peringatan khusus Hari Konstitusi perlu untuk menumbuhkan kesadaran kita berkonstitusi. Dengan memperingati Hari Konstitusi setiap tanggal 18 Agustus, negara dan pemerintah ingin mendorong masyarakat, terutama generasi muda, untuk memahami bahwa konstitusi adalah dasar penyelenggaraan negara dan menjadi sumber hukum tertinggi dalam negara.
Kita sepertinya diingatkan kembali bahwa dalam Negara RI, hanya ada satu hukum dalam wujud konstitusi yang berlaku. Artinya siapa pun tanpa tebang pilih, termasuk Presiden, MK, DPR, MA, MPR, dan BPK serta warga masyarakat umum, tunduk dan patuh pada hukum yang satu ini, yaitu konstitusi. Hukum yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu tentu tetap berlaku dan dihormati sepanjang tidak bertentangan dengan hukum konstitusi.
Ketiga, Peringatan Hari Konstitusi dan menjadikannya hari libur nasional adalah momentum kontemplasi, terutama bagi generasi sekarang untuk mengingat kembali perjuangan para pendiri bangsa dalam merumuskan dan menetapkan dasar hukum negara. Tanpa hukum negara, republik yang baru diproklamasikan seperti berjalan dalam gelap gulita. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Jasmerah, kata Presiden Soekarno.
Berdasarkan tiga alasan ini, maka sangat tepat jika negara menetapkan Hari Konstitusi pada 18 Agustus untuk diperingati setiap tahun. Konstitusi atau UUD 1945 yang hari lahirnya kita peringati tanggal 18 Agustus itu adalah konstitusi negara yang pernah dinyatakan tidak berlaku pada kurun waktu 1949 sampai dengan 1959. Dalam kurun waktu 10 tahun itu, ada dua konstitusi yang berlaku di negara kita yaitu UUD RIS 1949 dan UUDS 1950. Konstitusi RIS 1949 telah mengubah dua pilar utama dari sistem negara yang diatur dalam UUD Proklamasi, yaitu yang berkaitan dengan bentuk negara dan sistem pemerintahan.
Dalam UUD RIS 1949, bentuk negara kesatuan (unitaris) yang dikehendaki dalam UUD Proklamasi telah diubah menjadi bentuk negara serikat atau negara federal. Demikian pula sistem pemerintahan, yang dikehendaki dalam UUD Proklamasi adalah sistem pemerintahan presidensial, telah diganti menjadi sistem pemerintahan parlementer dalam UUD RIS 1949.
Usia Konstitusi RIS 1949 ternyata tidak bertahan lama, hanya setahun saja karena desakan dari tokoh-tokoh daerah yang menghendaki tetap dipertahankannya negara kesatuan dan agar bentuk negara federal dibubarkan. Meskipun Konstitusi RIS 1949 dinyatakan tidak berlaku untuk merespons tekanan daerah-daerah, para pendiri negara tidak ingin memberlakukan kembali UUD Proklamasi yang disahkan 18 Agustus 1945. Mereka justru ingin membentuk UUD baru. Namun sebelum UUD baru itu disusun dan disahkan oleh lembaga yang berwenang-yang anggota-anggotanya dipilih melalui Pemilu untuk tujuan itu-maka disepakati untuk menyusun dan memberlakukan UUD Sementara (UUDS 1950). Substansi UUDS 1950, kecuali yang berkaitan dengan bentuk negara kesatuan, sebagian besar mengambil alih materi muatan dari UUD RIS 1949, termasuk sistem pemerintahan parlementer. Untuk melaksanakan UUDS 1950, pada tahun 1955 telah diselenggarakan Pemilu untuk memilih anggota DPR dan anggota majelis Konstituante, badan khusus yang diberi kewenangan penuh untuk menyiapkan dan menyusun UUD baru yang lahir dari aspirasi rakyat melalui wakil-wakil mereka di parlemen. UUD baru itu akan bersifat tetap untuk menggantikan UUD 1950 yang masih bersifat sementara.
Majelis Konstituante hasil Pemilu mulai menyiapkan UUD baru yang lebih sejalan dengan aspirasi rakyat yang mereka wakili tidak lama setelah mereka diambil sumpah dan dilantik Presiden Soekarno di Bandung, 10 November 1956. Semua materi penting menyangkut penyelenggaraan kekuasaan negara, seperti jaminan hak asasi manusia, telah disusun dan disepakati dalam Majelis Konstituante, kecuali satu hal yang tidak berhasil mereka sepakati dan putuskan. Musyawarah di Majelis Konstituante gagal. Pemungutan suara di Majelis Konstituante pun beberapa kali deadlock dan gagal mendapatkan suara mayoritas. Isu krusial yang menjadi sumber masalah itu berkaitan dengan dasar negara. Tidak seperti isu HAM yang berhasil disepakati antara kelompok-kelompok politik yang terdapat dalam Konstituante, terhadap isu dasar negara ini kelompok-kelompok politik dalam Konstituante terbelah. Bukan dua, melainkan terbelah tiga. Perbedaan dan pertentangan paham berlangsung tegang antara kelompok politik yang menghendaki Pancasila, Islam, dan Sosial Ekonomi sebagai dasar negara.
Karena beberapa kali Majelis Konstituante bersidang dan selalu mengalami deadlock, sementara kondisi politik pada waktu itu semakin tidak pasti, Presiden Soekarno atas nama negara dalam keadaan darurat mengeluarkan Dekrit untuk kembali ke UUD 1945. Dekrit itu ditandatangani Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1959 dan dinyatakan berlaku pada hari itu juga.
Ada banyak pertanyaan berbau akademik yang muncul berkaitan dengan terbitnya Dekrit 5 Juli 1959 itu. Pertama, apa alasan yang mendorong dan memaksa Bung Karno menerbitkan Dekrit 5 Juli 1959 dan membubarkan Konstituante hasil Pemilu 1955 tersebut. Kedua, apakah dari sudut hukum ketatanegaraan dekrit ini memiliki kedudukan dan kekuatan hukum setingkat konstitusi. Ketiga, apabila berdasarkan fakta memang Majelis Konstituante tidak berhasil atau gagal mengesahkan UUD baru pada batas waktu yang ditentukan, mengapa dekrit tersebut tidak memperpanjang masa berlaku UUDS 1950 agar Majelis Konstituante dapat menyelesaikan tugas mereka sampai tuntas. Keempat, seandainya tidak ingin memperpanjang masa tugas Majelis Konstituante, mengapa Presiden Soekarno tidak mengeluarkan dekrit yang memberlakukan UUDS 1950 sebagai UUD tetap? Mengapa justru menerbitkan dekrit yang langsung menyatakan kembali ke UUD Proklamasi yang dinyatakan mulai berlaku pada 18 Agustus 1945? Padahal jika ditelaah, UUDS 1950 sangat lengkap isinya.
Terlepas dari apa pun jawaban yang diberikan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang sudah pasti adalah bahwa UUD Proklamasi 1945 selama 10 tahun-sejak 1949 di bawah Konstitusi RIS dan sejak 1950 hingga Dekrit 5 Juli 1959 di bawah UUDS 1950-tidak diberlakukan sebagai UUD Negara RI. UUD Proklamasi tersebut baru mulai diberlakukan lagi sebagai konstitusi negara sejak Dekrit 5 Juli 1959 hingga terjadi amandemen pertama UUD Proklamasi 1945 pada Oktober 1999. Sejak Oktober 1999 hingga 2003 secara substansial telah terjadi perubahan total terhadap isi UUD Proklamasi meskipun Bagian Pembukaan dari UUD tersebut tetap dipertahankan sebagai a new start of our nation. Dengan demikian, konstitusi yang hari ini kita peringati kelahirannya adalah Konstitusi Proklamasi 18 Agustus 1945 yang telah mengalami empat kali perubahan, yaitu amandemen pertama pada 19 Oktober 1999 dan amandemen terakhir pada 10 Agustus 2002.
Perubahan konstitusi yang dilakukan empat kali ini dilaksanakan para wakil rakyat di MPR hasil Pemilu 1999 sehingga legitimasinya kuat dan secara substansi boleh dibilang telah sejalan dengan aspirasi rakyat melalui perjuangan wakil mereka di parlemen.
Apabila hari ini, 18 Agustus 2025, kita memperingati Hari Konstitusi, maka yang kita harapkan dari kegiatan tersebut adalah:
Pertama, konstitusi bukan norma yang hanya bersifat deklaratif, melainkan lebih dari itu ia menjadi norma konstitutif yang akan menjadi pedoman dalam penyusunan peraturan perundang-undangan dan menentukan absah tidaknya norma-norma hukum lain yang berlaku dalam negara. Tidak ada norma hukum lain dalam negara yang kedudukannya lebih tinggi atau setara dengan konstitusi.
Kedua, dengan menerima konstitusi sebagai satu-satunya norma hukum tertinggi yang berlaku dalam negara, maka semua produk negara seperti tindakan dan aturan hukum yang berlaku dalam negara dan mengikat warga harus sejalan dan senapas dengan norma-norma yang tercantum dalam konstitusi. Apabila ada norma lain atau tindakan dari penyelenggara negara yang tidak sejalan atau bertentangan dengan konstitusi dalam arti substansinya, maka norma-norma dan tindakan-tindakan tersebut demi hukum konstitusi harus dinyatakan tidak berlaku dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Ketiga, semua warga negara tanpa memandang kedudukan dalam pemerintahan dan status sosialnya atau kedudukannya dalam golongan politik harus patuh pada aturan dan hukum yang sama, yaitu konstitusi. Tidak ada satu kekuatan sosial atau kekuatan politik apa pun yang dapat mengklaim berdiri di atas konstitusi. Presiden, DPR, MK, MA, partai politik, TNI, dan Polri serta institusi-institusi negara lainnya wajib tunduk dan patuh pada konstitusi.
Dalam negara konstitusional, konstitusi pada dasarnya adalah perkakas rakyat yang diperlukan untuk membela hak-hak konstitusional mereka dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh penguasa. Konstitusi dalam konteks negara konstitusional bukan perkakas negara untuk memberangus hak-hak rakyat, melainkan sebaliknya.
Prinsip ini sekaligus membuka ruang seluas-luasnya kepada setiap warga negara, baik secara individu maupun kelompok, yang menjadi korban pelanggaran konstitusi oleh penyelenggara negara untuk mengajukan constitutional complaint guna menuntut pemulihan hak-hak konstitusional akibat tindakan sewenang-wenang (arbitrary actions) dari penguasa.
Keempat, kehadiran MK di era reformasi adalah simbol tertinggi peradaban bangsa kita. MK dibentuk dengan kesadaran tinggi untuk menjamin hak-hak konstitusional rakyat dari potensi abuse of power penyelenggara negara. Tugas pokok MK dengan kekuasaan dan kewenangan yang melekat padanya adalah menjaga dan memproteksi konstitusi-konstitusionalisme. Untuk bisa mengemban tugas berat tersebut, kedudukan MK dalam manajemen negara harus benar-benar dijamin independensinya. Semua pihak harus menghormati dan menjaga independensi MK jika kita ingin menjadi bangsa bermartabat dan negara yang berintegritas.
Kehadiran MK yang kuat dan independen sekali lagi sangat diperlukan untuk dapat mengawal konstitusi dari upaya kelompok atau golongan tertentu, termasuk mencegah kekuasaan penyelenggara negara yang sering tergoda untuk mengubah konstitusi, misalnya dengan sengaja membuat peraturan hukum atas inisiatif sendiri atau menggunakan instrumen kekuasaan yang ada padanya untuk mengintervensi personel hakim MK dengan maksud mempertahankan kekuasaan ataupun untuk kepentingan kelompok dan golongannya.
Kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara untuk mengabaikan konstitusi-konstitusionalisme selalu terbuka manakala tidak ada lembaga yang mengawasinya. Ini telah menjadi hukum besi kekuasaan. Namun, seperti telah diuraikan di atas, kehadiran lembaga pengawas saja tentu tidak cukup. Ia harus benar-benar menjadi institusi yang merdeka dari campur tangan kekuasaan negara mana pun agar efektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya menegakkan dan mengawal konstitusi.
Dengan mengawal dan melaksanakan konstitusi, kita sudah melaksanakan nilai-nilai Pancasila karena pasal-pasal dalam konstitusi pada hakikatnya adalah pelaksanaan lebih lanjut dari Pembukaan UUD 1945, dan dalam prambel itu terdapat Pancasila, dasar negara kita. Merdeka, merdeka!
Selamat Hari Konstitusi
18 Agustus 2025
Benny K. Harman. Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI
Simak juga Video: Pertama Kalinya Prabowo Bacakan Teks Proklamasi di Istana