Wacana revisi Undang-Undang Pemilu kembali mengemuka pasca-Pemilu 2024. Sejumlah isu substansial mulai dibahas, seperti evaluasi sistem proporsional, desain surat suara, hingga pemisahan jadwal pemilu nasional dan daerah. Namun, satu aspek penting justru kurang mendapat perhatian, yakni pembenahan regulasi tentang syarat pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta pemilu.
Salah satu masalah mendasarnya adalah tingginya hambatan administratif bagi partai politik baru untuk bisa mengikuti pemilu. Berdasarkan regulasi yang berlaku saat ini, partai politik harus memiliki kepengurusan lengkap di seluruh provinsi, 75% kabupaten/kota, dan 50% kecamatan di wilayah tersebut.
Selain itu, setiap partai wajib memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau 1/1.000 dari jumlah penduduk di tingkat provinsi yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota (KTA).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika dilihat sekilas, aturan ini tampak masuk akal untuk memastikan kesiapan partai. Namun dalam praktiknya, aturan tersebut justru menjadi penghalang besar bagi partai politik baru yang ingin ikut serta dalam kontestasi pemilu.
Syarat ini tidak hanya menyulitkan secara logistik dan keuangan, tetapi juga tidak selalu relevan dalam mengukur kekuatan riil partai di tengah masyarakat.
Beban Administratif
Sebagai ilustrasi betapa beratnya syarat tersebut, mari kita lihat contoh di Jakarta. Dengan jumlah penduduk sekitar 10,68 juta jiwa (berdasarkan data BPS 2023), sebuah partai politik harus memiliki sedikitnya 10.680 anggota hanya untuk wilayah Jakarta saja. Itu baru satu daerah. Bayangkan jika dikalikan dengan lebih dari 500 kabupaten/kota di Indonesia, total anggota yang harus dibuktikan bisa mencapai ratusan ribu orang.
Padahal, belum tentu distribusi kekuatan dukungan partai sejalan dengan batas-batas administratif tersebut. Beban administratif semacam ini jelas menghambat partisipasi politik yang sehat dan setara.
Sistem yang terlalu birokratis ini bukan hanya tidak efisien, tapi juga berpotensi menutup pintu terbukanya ragam pilihan politik yang lebih relevan bagi warga negara. Apalagi, jika kita melihat kenyataan bahwa partai politik yang sudah mapan pun tidak selalu mampu mempertahankan basis dukungan dan keterwakilan secara konsisten.
Penting juga untuk tidak menutup mata pada ketimpangan akses politik antara partai lama dan partai baru. Aturan saat ini, secara tidak langsung, memperkuat status-quo dan mempersempit ruang kompetisi yang setara. Hal ini menciptakan arena politik yang timpang, yang pada akhirnya merugikan kualitas demokrasi itu sendiri.
Bahkan, tingginya beban administratif dapat mendorong munculnya praktik-praktik tidak sehat seperti pemalsuan data atau penggunaan jalan pintas yang justru merusak integritas sistem kepartaian sejak awal.
Misalnya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang sebelumnya selalu lolos ke parlemen, pada Pemilu 2024 justru tidak berhasil melewati ambang batas parlemen. Artinya, tidak ada jaminan bahwa partai politik lama otomatis lebih layak dibanding partai baru.
Mempertimbangkan Ulang
Karena itu, sudah waktunya mempertimbangkan ulang syarat-syarat pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta pemilu. Salah satu usulan alternatif adalah mengganti logika anggota yang berbasis wilayah administratif menjadi berbasis dukungan suara yang riil.
Prinsip dasarnya sederhana: jika sebuah partai mampu membuktikan bahwa mereka memiliki basis anggota setara dengan jumlah suara minimal untuk mendapatkan satu kursi DPR RI, maka mereka layak didaftarkan sebagai peserta pemilu. Kita bisa merujuk pada jumlah suara yang dibutuhkan untuk meraih satu kursi DPR RI dengan perhitungan yang paling mampu membuka ruang partisipasi warga secara luas berdasarkan hasil Pemilu sebelumnya.
Ukuran ini bisa merujuk pada lowest winning vote, yaitu jumlah perolehan suara terendah yang didapatkan pada pemilu terakhir yang mengantarkan satu calon ke parlemen.
Seandainya kita simulasikan dengan contoh pada Pemilu 2024, kursi ke-580 (kursi terakhir DPR RI) misalnya diraih dengan perolehan suara sekitar 12.000. Maka, partai politik cukup menunjukkan memiliki anggota secara nasional dengan total 12.000 orang, tidak harus tersebar di semua kabupaten/kota.
Jumlah itu boleh dicapai secara akumulatif lintas wilayah, misalnya 5.000 anggota di Jakarta, 3.000 di Jawa Barat, 2.000 di Kalimantan Timur, dan seterusnya, selama totalnya memenuhi ambang minimal yang setara dengan kekuatan satu kursi DPR RI.
Model ini tetap mempertahankan prinsip akuntabilitas, karena partai harus membuktikan anggota nyata dari warga. Namun pendekatan ini lebih inklusif, adil, dan sejalan dengan semangat demokrasi representatif. Pendaftaran tidak lagi semata-mata soal kemampuan partai menyusun mesin administratif, tetapi benar-benar menjadi uji legitimasi dari masyarakat.
Pembelajaran Penting
Kita juga bisa belajar dari praktik verifikasi faktual dalam dua pemilu terakhir. Partai baru diwajibkan menjalani verifikasi faktual anggota secara langsung, sementara partai lama (parlemen) cukup melalui verifikasi administratif. Padahal, tidak ada jaminan bahwa partai lama masih memiliki struktur dan anggota yang valid, sebagaimana dicontohkan oleh jatuhnya beberapa partai lama di Pemilu 2024.
Dalam sebuah kajian oleh Atmaja dan Wijaya (2023), diskriminasi prosedural ini berisiko melanggar prinsip keadilan dan kesetaraan hukum (equality before the law). Jika prinsip keadilan yang ingin ditegakkan, maka semua partai seharusnya melalui verifikasi yang setara.
Lebih lanjut, jika alasan memberatkan adalah biaya, maka dapat dipertimbangkan model selektif: verifikasi faktual diberlakukan untuk partai-partai baru atau yang pertama kali mengikuti pemilu, dengan pembuktian anggota berdasarkan pendekatan lowest winning vote.
Sementara itu, bagi partai peserta pemilu sebelumnya, terutama yang memiliki kursi di parlemen, verifikasi dapat dilakukan dengan melihat pada perolehan suara pemilu terakhir. Skema ini menjaga prinsip akuntabilitas tanpa membebani seluruh partai dengan prosedur yang sama, dan tetap menghormati prinsip keadilan elektoral.
Beberapa negara demokrasi menunjukkan bahwa syarat pendaftaran dan verifikasi partai bisa dibuat lebih sederhana tanpa kehilangan akuntabilitas. Di Jerman, partai politik dapat didaftarkan dengan menyertakan sejumlah tanda tangan pendukung tanpa harus memenuhi sebaran wilayah tertentu.
Atau di Belanda, yang tidak ada syarat anggota minimum, namun penting partai agar mampu menunjukkan keseriusan melalui daftar calon dan struktur kepemimpinan yang jelas.
Banyak pihak khawatir, kemudahan pendaftaran partai akan memicu ledakan jumlah partai peserta pemilu. Namun faktanya, negara-negara demokratis seperti India, Australia, hingga Norwegia menunjukkan bahwa keberadaan banyak partai tidak serta merta membuat demokrasi menjadi kacau. Justru, sistem yang terbuka pada partisipasi memungkinkan munculnya partai-partai berbasis isu yang merepresentasikan suara-suara yang sebelumnya terpinggirkan.
Dalam sistem representasi proporsional seperti yang diterapkan Indonesia, keberadaan banyak partai adalah konsekuensi logis yang menjamin keragaman politik dan memperluas representasi warga.
Selain itu, dengan terbukanya ruang partisipasi bagi partai politik baru, akan terjadi proses penyaringan alami. Partai yang memiliki kekuatan sosial dan ideologis yang kuat akan bertahan dan berkembang, sementara yang tidak mampu membangun jejaring dan dukungan akan gugur secara organik. Dengan demikian, dinamika jumlah partai akan menyesuaikan diri secara wajar, tanpa perlu dibatasi secara administratif yang kaku.
Ketakutan terhadap ledakan jumlah partai pun menjadi tidak relevan, sebab daya tahan partai akan sangat ditentukan oleh kapasitas representatif dan resiliensi mereka sendiri.
Jika demokrasi yang kita bangun adalah demokrasi substantif, maka ukuran keberhasilan bukanlah efisiensi jumlah partai, melainkan sejauh mana partai-partai tersebut benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat. Sistem yang terbuka dan adil akan memungkinkan partai-partai berbasis komunitas marjinal-seperti penyandang disabilitas, buruh, atau masyarakat adat-untuk ikut serta menyuarakan kepentingan mereka.
Pembatasan yang terlalu ketat di tahap pendaftaran dan verifikasi dapat berdampak anti-demokratis. Ia menutup akses bagi suara-suara alternatif, dan pada akhirnya mereduksi demokrasi menjadi sekadar kompetisi antar elit yang sudah mapan.
Jika demokrasi ingin inklusif dan mewakili sebanyak mungkin warga, maka sistem kepartaian dan aturan elektoralnya pun harus terbuka dan adil. Sebab demokrasi bukan untuk sebagian, melainkan untuk semua orang.
Muhammad Iqbal Kholidin. Peneliti di Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Simak juga Video: MK Putuskan Pemilu Nasional dan Daerah Diselenggarakan Terpisah
(rdp/imk)