Juli 2024, draf Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) sedang memasuki tahap pembahasan dan mendapat banyak masukan dari berbagai elemen Masyarakat. Salah satu bagian penting yang diatur dalam RUU KUHAP tersebut adalah ketentuan mengenai Saksi Mahkota yang diatur dalam Pasal 69 β 70. Sayangnya, upaya untuk mengatur Saksi Mahkota dalam RUU KUHAP meninggalkan persoalan serius dalam perlindungan Hak Asasi Tersangka/Terdakwa, yakni minimnya mekanisme pengawasan terhadap penetapan status Saksi Mahkota.
Kesalahan Pemahaman Saksi Mahkota
Sebelum membahas lebih lanjut terkait dengan Saksi Mahkota, perlu pertama-tama dipahami dengan benar definisi dari Saksi Mahkota itu sendiri. Saksi Mahkota sering diidentikkan dengan beberapa Terdakwa yang bergantian menjadi Saksi dalam perkara Terdakwa lainnya yang sering kita praktekkan dalam perkara splitsing. Namun demikian, menurut Ahli Hukum Pidana Andi Hamzah (2008), pemahaman ini keliru. Menurut dia, Saksi Mahkota sebenarnya merujuk kepada salah seorang Terdakwa yang sepakat untuk bersaksi memberatkan kawan-kawannya, dan atas kesaksian yang memberatkan tersebut, dia diberikan "Mahkota" dan tidak dijadikan Terdakwa lagi.
Dapatlah kita simpulkan bahwa karakteristik utama dari Saksi Mahkota bukanlah terletak pada para Tersangka yang saling bergantian menjadi Saksi dalam perkara Tersangka lainnya, melainkan esensinya ada pada suatu pemberian "imbalan" kepada Tersangka yang bersedia mengkhianati teman-temannya dan menjadi Saksi Mahkota.
Kesalahpahaman konsep tentang definisi Saksi Mahkota ini pun sepertinya belum diluruskan dengan tegas dalam RUU KUHAP. Sekalipun telah diatur mengenai "imbalan" yang akan diberikan kepada Saksi Mahkota, RUU KUHAP masih mendefinisikan Saksi Mahkota sebagai "Tersangka atau Terdakwa dengan peran ringan yang dijadikan Saksi untuk membantu mengungkap keterlibatan pelaku lain dalam perkara yang sama". Dalam definisi tersebut, belum terlihat adanya suatu keharusan pemberian "imbalan" kepada Saksi Mahkota.
Upaya Meniru yang Gagal
Jika kita telusuri, konsep Saksi Mahkota sebenarnya diambil dari praktek penegakan hukum pidana di Belanda (Hamzah, 2008). Saksi Mahkota sendiri sebenarnya adalah terjemahan literal dari istilah Belanda Kroongetuige dan menukil dari De Roos (2017), Kroongetuige merujuk pada suatu konsep dimana seorang Tersangka diberikan pengurangan hukuman sebagai ganti dia memberikan keterangan yang memberatkan Tersangka lainnya.
Namun demikian, upaya pengadopsian konsep Kroongetuige menjadi Saksi Mahkota dalam RUU KUHAP menurut Penulis adalah suatu upaya yang gagal. Dalam RUU KUHAP, hanya diatur tentang kapan dan bagaimana Saksi Mahkota dapat digunakan. Satu hal penting yang belum diatur dengan jelas adalah mekanisme pengawasan terhadap penetapan Saksi Mahkota tersebut.
Dalam menggunakan Saksi Mahkota, Pengadilan HAM Eropa (European Court of Human Rights) telah memperingatkan kita akan bahaya penggunaannya. Dalam kasus Cornelis v. the Netherlands (2004), Pengadilan HAM Eropa menyatakan:*
"β¦Namun demikian, penggunaan pernyataan semacam itu dapat menimbulkan keraguan terhadap keadilan proses peradilan terhadap terdakwa dan berpotensi menimbulkan persoalan yang sensitif, karena pada hakikatnya, pernyataan tersebut rentan terhadap manipulasi dan dapat diberikan semata-mata untuk memperoleh keuntungan yang ditawarkan, atau didorong oleh motif balas dendam pribadi. Sifat pernyataan yang terkadang ambigu dan risiko bahwa seseorang dapat dituduh dan diadili semata-mata berdasarkan tuduhan yang belum diverifikasi serta tidak selalu bebas dari kepentingan pribadi, tidak boleh dianggap remeh."
(*Diterjemahkan secara bebas oleh Penulis)
Dengan demikian, penggunaan Saksi Mahkota haruslah dilakukan dengan mekanisme pengawasan yang ketat.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Belanda (strafvordering), pengaturan mengenai kroongetuige diatur dalam Pasal 226g sampai 226k. Pasal 226g ayat (3) Strafvordering mengatur bahwa keputusan untuk menggunakan Saksi Mahkota harus diawasi oleh seorang Hakim Pengawas (rechter-commissaris), yang kemudian akan memeriksa apakah kroongetuige tersebut benar-benar dibutuhkan dalam perkara tersebut serta memberikan pendapatnya apakah kesaksian Kroongetuige tersebut kredibel atau tidak (Pasal 226h (3)). Setelah diputus layak oleh Hakim Pengawas, barulah Saksi Mahkota tersebut dapat didengarkan keterangannya di persidangan (Pasal 226 j ayat (1) strafvordering).
Lebih lanjut, pasal 226j Strafvordering juga mewajibkan agar penetapan seseorang sebagai Kroongetuige tersebut sesegera mungkin diberitahukan kepada Tersangka/Terdakwa lain yang dirugikan dari keterangan Kroongetuige tersebut. Hal ini diperlukan agar Tersangka/Terdakwa lainnya bisa menyiapkan pembelaan dengan baik. Pengaturan Strafvordering terkait Kroongetuige ini menunjukkan adanya suatu mekanisme pengawasan yang ketat.
Sedangkan di Indonesia, tidak terdapat kehati-hatian sebagaimana diterapkan dalam Strafvordering Belanda tersebut. Mekanisme pengawasan Saksi Mahkota yang ada dalam RUU KUHAP sekarang hanya terdapat dalam ketentuan Pasal 70 ayat (4) yang mengatur:
"Penuntut Umum mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri paling lama 3 (tiga) Hari terhitung sejak tercapainya kesepakatan."
Tidak jelas apa maksud dan tujuan dari pengajuan permohonan Saksi Mahkota ke Pengadilan tersebut. Apakah sekedar memeriksa syarat formil Saksi Mahkota? Ataukah juga memeriksa syarat materil seperti kredibilitas Saksi Mahkota? Atau mungkin, karena tidak adanya pengaturan yang jelas, dalam praktiknya sangat mungkin Pengadilan hanya menjadi "stempel" dari keputusan Penyidik/Penuntut Umum dalam menetapkan status Saksi Mahkota. Posisi Hakim yang akan memeriksa permohonan Saksi Mahkota ini pun bukanlah sebagai Hakim Pengawas (rechter commissaris) sebagaimana diterapkan di Belanda, sehingga memang tidak ada kewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap penetapan status Saksi Mahkota tersebut.
Lebih lanjut, berbeda dengan pengaturan di Belanda, tidak ada kewajiban bagi Penyidik/Penuntut Umum untuk memberitahukan kepada Tersangka/Terdakwa lain bahwa telah ada seorang kawannya yang diberikan status Saksi Mahkota. Pengaturan Saksi Mahkota ini tentu berpotensi sangat besar untuk melanggar Hak untuk mendapatkan Peradilan yang Adil (fair trial) dari Tersangka/Terdakwa lainnya.
Konklusi dan Saran
Upaya pengaturan Saksi Mahkota dalam RUU KUHAP masih meninggalkan masalah besar dikarenakan minimnya mekanisme pengawasan terhadap penetapan status Saksi Mahkota oleh Penyidik/Penuntut Umum. Untuk memperbaiki hal tersebut, Penulis menyarankan agar ditambah suatu ketentuan dimana penetapan Saksi Mahkota dapat diajukan sebagai Objek Praperadilan oleh Tersangka/Terdakwa lain yang dirugikan dari keterangan Saksi Mahkota tersebut sebagai suatu bentuk mekanisme pengawasan.
(imk/imk)