Konservasi Hutan sebagai Perekat Bangsa
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Konservasi Hutan sebagai Perekat Bangsa

Kamis, 14 Agu 2025 11:22 WIB
Khulfi M Khalwani
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Pertahanan Konsentrasi Keamanan Nasional di Universitas Pertahanan RI.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto udara destinasi wisata Pulau Rubiah di Desa Wisata Iboih, Kota Sabang, Aceh, Senin (7/4/2025). Pulau Rubiah memiliki luas sekitar 35,79 hektare dan luas taman bawah laut sekira 2.600 hektare tersebut terkenal dengan panorama hutan yang asri serta pantai bersih sehingga menjadi destinasi wisata favorit yang ramai dikunjungi wisatawan nusantara terutama saat libur panjang. ANTARA FOTO/Khalis Surry/YU
Foto: Ilustrasi pulau Indonesia dengan hutannya (ANTARA FOTO/Khalis Surry)
Jakarta -

Melalui artikel berjudul Political Ecologies of War and Forest: Counterinsurgencies and the Making of National Natures, Peluso dan Vandergeest (2011) menyebutkan bahwa kebijakan kehutanan dan konservasi tidak selalu netral atau murni soal menjaga alam.

Studi kasus mereka pada beberapa negara di Asia Tenggara-termasuk Indonesia, menguraikan bahwa pada kurun waktu 1950-an hingga akhir 1970-an, kawasan hutan juga dijadikan sebagai instrumen negara untuk mengamankan wilayah, mengendalikan penduduk dan menegaskan kedaulatan.

Melalui pendekatan politik ekologi, Peluso dan Vandergeest (2011) menelusuri bagaimana operasi militer dan tindakan negara dalam melawan pemberontakan tidak hanya mengubah struktur sosial dan politik lokal, tetapi juga menciptakan landskap hutan dan identitas nasional di Asia Tenggara, yaitu hutan dan alam yang diatur oleh Negara demi stabilitas dan kontrol.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Artikel ini menarik karena memberikan diskursus yang berbeda dalam konteks konservasi hutan di Indonesia. Yaitu ketika Negara menunjuk dan/atau menetapkan Kawasan Konservasi maka perlu kajian kritis untuk menggali siapa yang diuntungkan dan siapa yang dikorbankan. Dengan memahami konteks ini, Negara dapat merancang kebijakan konservasi hutan yang lebih adil, kontekstual dan berpihak pada masyarakat lokal.

ADVERTISEMENT

Seketika kita perlu kembali melihat bagaimana dahulu praktik kekerasan di Amerika Serikat terhadap Suku Indian. Yaitu ketika pembentukan taman nasional awal seperti Yellowstone, Yosemite dan Glacier sering disertai upaya pengusiran suku asli atau pembatasan aktivitas tradisional mereka. Hal ini dijelaskan oleh Mark David Spence (1999) dalam tulisannya Dispossesing the Wilderness: Indian Removal and the Making of the National Parks.

Ternyata dalam konteks yang hampir serupa, jauh sebelum Indonesia melembagakan hutan dan konservasi ke dalam kebijakan Negara, Amerika Serikat juga telah menggunakan hutan untuk memperkuat kedaulatan negara dan identitas nasional. Bedanya adalah bahwa proses di Amerika Serikat disertai dengan pelarangan beraktivitas atau bahkan pengusiran dan pemindahan suku-suku asli ke reservasi.

Lain dulu lain sekarang. Jika dulu pemaknaan hutan konservasi sebagai identitas nasional diperlukan dalam konteks menjaga kesatuan landskap negara yang masih berkembang pasca kemerdekaan, maka saat ini pemaknaan hutan konservasi sebagai identitas nasional perlu dipandang pada spektrum yang lebih luas yaitu melalui kacamata Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta.

Hutan konservasi bukan hanya aset ekologi atau simbol kebangsaan, namun bagian integral dari pertahanan negara, yang mencakup dimensi fisik, sosial ekonomi dan kultural. Dalam kerangka pertahanan, keberlanjutan ekosistem pada hutan konservasi berarti menjaga stabilitas ekonomi, keamanan dan keselamatan publik.

Dari dimensi fisik, hutan konservasi, khususnya di wilayah perbatasan, keberadaan hutan dapat menjadi zona pengaman dan pelindung wilayah NKRI.

Dari dimensi sosial, hutan konservasi bisa menjadi benteng sosial yaitu sebuah titik temu identitas yang menyatukan beragam kelompok dalam narasi bersama tentang alam nasional. Hutan konservasi bisa menjadi simbol perekat apabila dibangun secara inklusif dengan tidak melupakan sejarah komunitas yang telah lama menjaganya.

Dari sisi ekonomi-ekologis, perlu para pihak menyadari bahwa hutan konservasi menyediakan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan yang menopang kehidupan (air, udara, estetika, cadangan karbon dan pencegah longsor/erosi).

Selain itu, pada dimensi kultural, lanskap konservasi juga menyediakan zona tradisional dan/atau zona pemanfaatan yang menyimpan jejak sejarah maupun praktik budaya yang menjadi modal bangsa.

Jika konservasi dilihat hanya sebagai instrument kontrol atau pertahanan tanpa mengakui hak masyarakat, maka barang tentu justru bisa memicu resistensi yang melemahkan keamanan itu sendiri. Oleh karena itu identitas nasional yang melekat pada hutan harus mengakomodasi sejarah dan hak komunitas adat/lokal, agar fungsi pertahanan sosial dan kultural tetap utuh.

Sebagaimana teori nasionalisme klasik Ernest Renan yang menekankan bahwa bangsa terbentuk dari kehendak untuk hidup bersama dan komitmen menjaga warisan bersama (le passe), serta kesepakatan masa kini (le present), maka keberadaan hutan konservasi sudah seharusnya menjadi instrument perekat identitas kebangsaan.

Keputusan politik untuk menunjuk dan atau menetapkan kawasan konservasi serta menjaganya harus dipahami sebagai wujud kesepakatan warga negara untuk memelihara warisan bersama demi generasi mendatang. Dalam konteks ini, hutan konservasi adalah bentuk plebiscite de tous les jours di bidang politik ekologi.

Merujuk beberapa teori yang diulas sebelumnya, maka sangat tepat bila konservasi hutan yang dilakukan di Indonesia adalah wujud dari upaya perekat bangsa.

Dengan catatan keberadaan hutan konservasi harus dihayati sebagai warisan bersama yang dijaga melalui kesepakatan bersama sebagaimana digambarkan Ernest Renan. Kemudian dibingkai sebagai national nature yang inklusif sebagaimana diingatkan oleh Peluso dan Vandergeest (2011).

Isu penting lainnya adalah penunjukan hutan konservasi harus menghindari jebakan penghapusan sejarah seperti kritikan Spence (1999) serta harus dikelola sebagai pilar sishankamrata yang menggabungkan fungsi ekologis, sosial, ekonomi dan kultural.

Dengan pendekatan ini, hutan konservasi akan dimaknai bukan hanya sebagai milik negara, melainkan milik seluruh rakyat yang menjadi penjaganya.


Khulfi M Khalwani. Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Pertahanan Konsentrasi Keamanan Nasional di Universitas Pertahanan RI.

Simak juga Video: Hutan Kota Srengseng Bakal Ditata Agar Bisa Dipakai Acara Budaya

(rdp/rdp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads