Pada masa lalu, sebuah negara bisa runtuh oleh serangan militer. Kini, ia bisa dibuat goyah oleh satu unggahan yang viral. Di abad ini, perebutan wilayah tak hanya berlangsung di garis perbatasan, melainkan juga di batas pikiran manusia. Senjata yang paling menentukan bukan hanya misil, tetapi kata-kata yang disebar, gambar yang dimanipulasi, dan narasi yang diulang hingga menjadi "kenyataan" di benak publik. Dalam ruang digital yang bergerak begitu cepat, kebenaran sering datang terlambat.
Presiden Prabowo Subianto pernah mengingatkan, "Kalau ada yang dihasut-hasut, atau mau ada yang menghasut, waspada. Ini ulah kekuatan asing yang selalu ingin memecah belah bangsa Indonesia." Peringatan ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk membangun kesadaran bahwa di tengah konektivitas tanpa batas, kedaulatan berpikir adalah benteng terakhir kedaulatan bangsa.
Perkembangan teknologi komunikasi dan kecerdasan buatan telah melahirkan ekosistem informasi yang luar biasa dinamis sekaligus rawan distorsi. Informasi yang melimpah bukan jaminan akurasi. Justru ia sering bercampur dengan bias, manipulasi, dan kebohongan yang dikemas meyakinkan. Di sinilah istilah perang kognitif menjadi relevan. Bukan perang dengan dentuman senjata, tetapi pertarungan sunyi memengaruhi pola pikir, kerangka nilai, dan arah keputusan publik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perang kognitif bekerja halus: algoritma mempersonalisasi informasi sesuai preferensi, membentuk gelembung pandangan yang menutup keberagaman perspektif. Kasus Cambridge Analytica menjadi peringatan global-data pribadi jutaan orang diproses menjadi senjata politik, mengarahkan perilaku pemilih tanpa mereka sadari. Ini bukan sekadar soal akses informasi, melainkan kendali persepsi.
Dinamika ini relevan bagi Indonesia. Dengan 221 juta pengguna internet, ruang digital kita menjadi arena interaksi yang luas sekaligus target manipulasi yang lihai. Kementerian Komunikasi dan Digital mencatat lebih dari 1.900 konten hoaks beredar selama 2024, mengaburkan fakta, mengikis kepercayaan pada institusi, dan menggerus kohesi sosial. Kerugian akibat disinformasi tidak berhenti di ranah sosial. Studi University of Baltimore dan CHEQ (2019) memperkirakan kerugian ekonomi globalnya mencapai USD 78 miliar per tahun, setara lebih dari Rp1.000 triliun. Dampaknya meliputi reputasi bisnis yang hancur, kebijakan keliru, nilai saham anjlok, hingga hilangnya kepercayaan investor.
World Economic Forum, dalam Global Risks Report 2025, menempatkan disinformasi dan misinformasi di peringkat ke-4 risiko global paling mungkin terjadi tahun ini, dan memproyeksikannya naik menjadi risiko nomor satu pada 2027. Laporan ini menegaskan bahwa proliferasi konten palsu atau menyesatkan kini menjadi salah satu faktor utama yang memperumit lanskap geopolitik, mulai dari memengaruhi pilihan pemilih oleh aktor asing, menimbulkan keraguan publik tentang situasi di wilayah konflik, hingga merusak citra produk dan layanan suatu negara di mata dunia.
Menjawab tantangan ini, strategi komunikasi nasional kini bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi membangun daya tahan berpikir kritis masyarakat. Pemerintah pun terus bekerja sama dengan media, memperkuat literasi digital, dan mengembangkan kanal komunikasi publik yang inklusif, responsif, dan kredibel.
Walakin, benteng terkuat tetap manusia itu sendiri. Presiden Prabowo Subianto menempatkan pembangunan SDM tangguh sebagai inti visi kebangsaannya. Program Makan Bergizi Gratis, Sekolah Rakyat, Sekolah Garuda, Digitalisasi Sekolah, Renovasi Sekolah dan Madrasah, hingga Cek Kesehatan Gratis bukan sekadar kebijakan sosial, melainkan investasi peradaban yang menyiapkan generasi berpikir jernih, rasional, dan berkarakter di tengah arus informasi yang penuh riak dan bias.
Ketahanan kognitif bukan soal menutup pintu informasi, tetapi melatih setiap warga untuk menyaring, memahami, dan menanggapi informasi dengan kepala dingin. Dalam dunia yang penuh polarisasi, kemampuan menyusun perspektif seimbang dan mengenali bias adalah keterampilan bertahan hidup, dan ini hanya bisa terbangun jika negara, media, sekolah, komunitas, dan publik bergerak serentak.
Jika perang kognitif adalah upaya membelokkan jarum kompas kolektif sebuah bangsa, maka ketahanan kognitif adalah memastikan jarum itu tetap menunjuk ke utara-setia pada fakta, berpijak pada akal sehat, dan teguh pada kepentingan nasional. Sebab bangsa yang kehilangan arah pikirannya akan perlahan kehilangan masa depannya.
Hamdan Hamedan, Tenaga Ahli Utama di Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO)
Tonton juga video "Menkominfo Ungkap 42% Masyarakat Percaya Disinformasi Seputar Pemilu" di sini:
(rfs/rfs)