Pergeseran Opini Publik: Sebuah Mandat untuk Reformasi Pemilu
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pergeseran Opini Publik: Sebuah Mandat untuk Reformasi Pemilu

Selasa, 12 Agu 2025 14:06 WIB
Zuhri Firdaus
Anggota KPU Kabupaten Gresik periode 2024-2029. Pernah menjadi peneliti di Lingkaran Survey Indonesia (LSI) 2013-2016 dan Anggota Panwascam Pemilu 2024.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi Pemungutan Suara
Foto: Ilustrasi Pemilu (Pradita Utama/detikcom)
Jakarta -

Gagasan pemilu serentak di Indonesia, yang semula diyakini menawarkan efisiensi dan konsolidasi, kali ini menuai evaluasi ulang dari publik. Dalam rentang waktu yang tidak lama, hasil dua survey Litbang 'Kompas' menunjukkan pergeseran preferensi yang signifikan; dari dukungan publik terhadap keserentakan menjadi mayoritas memilih untuk pemisahan.

Perubahan opini memunculkan pertanyaan, apakah ini refleksi keraguan, kebingungan atau justru menjadi pemahaman yang lebih matang?

Pada Mei 2025, publik cenderung memilih pemilu tetap digelar serentak. Survei Litbang Kompas periode 19-22 Mei 2025 menunjukkan 68,1 persen responden setuju Pemilu nasional (memilih DPR,DPD, DPRD dan Presiden) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tetap diselenggarakan di tahun yang sama seperti 2024.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun tidak berselang lama, pada Agustus 2025 (Kompas, edisi 4 Agustus), pandangan mayoritas publik berbalik drastis. Hasil survei Litbang Kompas pada 14-17 Juli 2025 ini, mencatat 70,3 persen responden menyatakan setuju pemilu nasional (DPR, DPD, Pilpres) dan pemilu lokal (DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota, Pilkada) dipisahkan.

Perubahan drastis ini terjadi pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 pada 26 Juni 2025, yang secara eksplisit memerintahkan pemisahan jadwal pemilu nasional dan daerah mulai tahun 2029, dengan jeda waktu 2 hingga 2,5 tahun.

ADVERTISEMENT

Pergeseran ini bukan tanpa alasan. Pengalaman Pemilu 2024 telah membuka mata publik terhadap berbagai tantangan sistem pemilu serentak. Beban kerja yang luar biasa pada penyelenggara pemilu, seperti KPU dan Bawaslu, menjadi isu krusial yang disadari masyarakat.

Fenomena "kelelahan pemilih" (voters fatigue) juga nyata, tercermin dari penurunan partisipasi Pilkada 2024 dibandingkan Pemilu nasional. Selain itu, janji penghematan anggaran yang semula menjadi daya tarik pemilu serentak ternyata tidak terwujud, bahkan dirasa justru menghabiskan biaya besar.

Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 menjadi katalisator penting dalam membentuk opini publik yang baru. Argumentasi MK sejalan dengan keluhan publik tentang kejenuhan pemilih, beban berlebih pada penyelenggara, serta kaburnya isu-isu lokal di tengah dominasi narasi politik nasional. Keputusan MK ini seolah memvalidasi pengalaman kolektif yang dirasakan masyarakat.

Data survei Litbang Kompas juga semakin memperkuat argumen ini. Ketika ditanya mengenai keuntungan pemisahan pemilu, 41,7 persen responden menyebut "masyarakat tidak bingung memilih banyak calon sekaligus", dan 36,9 persen menyatakan "pengawasan lebih mudah".

Ini indikasi bahwa publik memahami betul dampak positif pemisahan terhadap kualitas proses demokrasi. Meskipun publik juga menyadari potensi kerugian seperti biaya yang lebih mahal (31,9 persen) atau potensi konflik politik yang meningkat (32,0 persen).

Meski demikian, keyakinan publik terhadap kualitas pemilu akan semakin baik dengan skema pemisahan tetap tinggi, mencapai 68,8 persen.

Dalam konteks ini, pergeseran opini publik patut dinilai sebagai indikasi kematangan dalam mengevaluasi sistem demokrasi electoral berdasarkan pengalaman nyata dan informasi yang berkembang.

Keinginan untuk pemisahan jadwal pemilu nasional dan lokal mencerminkan aspirasi akan sistem yang lebih baik dan kondusif bagi praktek demokrasi yang lebih berkualitas di setiap tingkatan.

Dukungan aspirasi masyarakat, masukan para ahli, dan keputusan Mahkamah Konstitusi sudah sejalan, tinggal bagaimana para pembuat kebijakan menyikapi hal ini. Namun demikian, mayoritas publik (70,9 persen) tetap meyakini bahwa DPR dan pemerintah akan segera menindaklanjuti putusan MK terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah dengan merevisi Undang-Undang Pemilu.

Pada akhirnya, mengabaikan sinyal ini beresiko mengikis kepercayaan publik dan melanggengkan sistem yang terbukti membebani. Inilah momen yang tepat untuk merumuskan ulang kerangka hukum pemilu guna membangun masa depan demokrasi Indonesia yang lebih kuat dan berkelanjutan.

Zuhri Firdaus. Anggota KPU Kabupaten Gresik 2024-2029.

Simak juga Video: MK Putuskan Pemilu Nasional dan Daerah Diselenggarakan Terpisah

(rdp/rdp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads