Di seluruh dunia, revolusi AI generatif telah memicu perdebatan sengit, seperti saat publik ramai membahas platform AI generatif yang menyediakan fitur mengubah foto menjadi gambar ala Studio Ghibli.
Isu utamanya terdapat pada kompetisi yang dianggap tidak adil antara kreator Studio Ghibli yang mendedikasikan puluhan tahun menciptakan gaya khas Ghibli yang legendaris dan AI yang tinggal mencomot gaya tersebut dalam beberapa detik saja untuk diterapkan pada setiap request. Publik seperti sedang melihat para kreator dari Ghibli diremehkan oleh teknologi kemarin sore.
Isu lainnya adalah masalah persetujuan serta hak cipta. Pertanyaan terbesarnya adalah apakah para seniman atau Studio Ghibli memberikan izin agar karya mereka digunakan untuk melatih AI?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Biasanya, jawabannya tidak. Karya mereka diambil dari internet dan menjadi data latih tanpa persetujuan. Inilah yang menciptakan area abu-abu hukum dan etika. AI secara efektif mengkomodifikasi gaya kreatif tanpa memberikan kompensasi kepada pencipta aslinya.
Kasus ini dan berbagai macam kasus lainnya membuat para seniman, musisi, dan penulis menuntut aturan baru dan sistem lisensi yang adil agar karya mereka tidak dicuri untuk melatih AI.
Di Uni Eropa, undang-undang AI mulai dibuat, sementara di Amerika Serikat, kasus-kasus hukum menjadi tumpuan harapan. Namun, di Indonesia, tantangannya jauh lebih rumit. Industri kreatif kita tidak hanya menghadapi "badai" AI yang datang, tetapi juga berlayar di "laut" yang sudah sarat dengan masalah: rendahnya kesadaran apresiasi, budaya "gratisan," dan lemahnya penegakan hukum terhadap karya orisinal.
Dua tantangan ini, baik global maupun lokal, sebenarnya adalah sebuah wake up call. Jika kita tidak membenahi fondasi di rumah, upaya apa pun untuk beradaptasi dengan AI akan sia-sia.
Solusi Global Saja Tidak Cukup untuk Indonesia!
Ada dua macam solusi global yang diajukan untuk mengatasi isu-isu AI ini, seperti undang-undang baru yang secara spesifik mengatur penggunaan data untuk pelatihan AI dan sistem lisensi data yang mengatur para developer AI untuk membayar kompensasi kepada seniman yang karyanya digunakan untuk melatih AI.
Secara umum, solusi yang sedang dipertimbangkan oleh para penyusun regulasi global berpotensi dapat menyelesaikan polemik tentang AI ini, tetapi sayangnya solusi tadi tidak bisa menjadi satu-satunya jawaban untuk Indonesia.
Aturan-aturan ini berfungsi dalam sebuah ekosistem di mana hak cipta dan royalti sudah menjadi tradisi. Namun di Indonesia, kita masih berjuang dengan masalah-masalah dasar.
Apa gunanya undang-undang hak cipta yang canggih untuk AI jika para pelaku bisnis masih enggan membayar royalti untuk musik yang diputar di kafe mereka? Apa artinya sistem lisensi data jika masyarakat masih menganggap produk digital sebagai sesuatu yang "seharusnya gratis"?
Ini menunjukkan bahwa masalah AI bagi Indonesia bukan sekadar soal teknologi, tetapi juga soal prioritas dan kebiasaan. Kita harus mengakui bahwa sebelum bisa beradaptasi dengan disrupsi AI, kita perlu terlebih dahulu membangun fondasi yang kokoh untuk menghargai karya kreatif.
Membangun Fondasi dari Bawah: Jalan Keluar dari Tantangan Ganda
Oleh karena itu, perjuangan industri kreatif Indonesia harus dimulai dari bawah dan atas sekaligus, dua arah yang saling menguatkan. Pertama, harus ada edukasi perilaku konsumen ekonomi kreatif.
Solusi ini harus dimulai dari bawah ke atas. Kita perlu menanamkan kepada masyarakat, bagusnya generasi Alpha yang masih duduk di bangku sekolah, pemahaman bahwa karya kreatif adalah aset berharga yang lahir dari niat, kerja keras, dan keahlian manusia.
Bukan cuma konten yang tiba-tiba muncul di platform dan bisa dinikmati cuma-cuma. Harus ada kampanye edukasi masif dan terintegrasi yang berfokus pada nilai dari orisinalitas. Kampanye ini harus mampu menggeser pandangan konsumen dari sekadar "harga produk" menjadi "nilai unik" yang tak tergantikan.
Hal lain yang perlu dikampanyekan adalah peran konsumen sebagai pembangun ekosistem ekonomi kreatif yang berdampak pada berputarnya roda perekonomian bangsa. Kampanye ini mesti dapat mengajak konsumen untuk melihat tindakan membeli karya orisinal bukan sebagai amal sodaqoh, melainkan sebagai investasi cerdas pada masa depan kreatif bangsa.
Jalan keluar kedua adalah penegakan hukum yang tegas (struktur hukum). Jika edukasi perilaku konsumen adalah jalur dari bawah ke atas, maka jalan keluar kedua ini adalah jalur dari atas ke bawah. Secara bersamaan, pemerintah diwakili lembaga terkait harus memperkuat penegakan hukum.
Undang-undang hak cipta yang sudah ada harus ditegakkan tanpa kompromi, baik untuk produk digital maupun non-digital. Penegakan hukum yang tegas akan menciptakan efek jera dan memberikan perlindungan nyata bagi para seniman, yang pada akhirnya akan menguatkan keyakinan publik bahwa karya kreatif memiliki nilai ekonomi yang sah.
Kesimpulannya: AI adalah Kesempatan untuk Bangkit!
AI memang datang sebagai ancaman, tetapi juga bisa menjadi katalisator bagi Indonesia untuk akhirnya menyelesaikan masalah lama. Disrupsi ini memaksa kita untuk memilih: apakah kita akan terus berjuang di ekosistem yang rapuh, ataukah kita akan mengambil momentum ini untuk membangun fondasi yang kuat, di mana hak-hak pencipta dihormati dan kreativitas dihargai secara layak?
Jalan keluarnya adalah kolaborasi. Kita perlu bekerja sama untuk mengubah perilaku yang meremehkan karya kreatif, memperkuat hukum, dan memastikan bahwa ketika era AI benar-benar tiba, industri kreatif Indonesia sudah siap untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang pesat.
Leistar Adiguna. Guru seni di madrasah. Sedang menjalani pendidikan pascasarjana Ekonomi Islam.
(rdp/rdp)