Keadilan Fiskal di Era Digital: Saatnya Memajaki yang Tak Terlihat
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Keadilan Fiskal di Era Digital: Saatnya Memajaki yang Tak Terlihat

Kamis, 07 Agu 2025 13:05 WIB
Eko Ariyanto
Praktisi Perpajakan dan Peneliti Kebijakan Publik Komunitas Raramuri WPB.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi kenaikan pajak
Foto: Ilustrasi pajak (Shutterstock0
Jakarta -

Alih-alih sekadar meningkatkan penerimaan negara, kebijakan perpajakan seharusnya menjamin keadilan ekonomi antar pelaku usaha. Ketika dunia bisnis berubah drastis karena digitalisasi, sistem pajak tidak boleh tertinggal.

Saat banyak usaha e-commerce tumbuh masif namun tetap berada di luar jangkauan fiskus, muncul pertanyaan besar: apakah kita sedang membiarkan ketimpangan fiskal menjadi norma baru?

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan lebih dari 60 juta pelaku usaha di Indonesia-termasuk 3,82 juta pelaku e-commerce aktif. Sebanyak 75,04% usaha tersebut berada di Pulau Jawa, dan lebih dari 90% tidak memiliki badan hukum.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menariknya, hanya sekitar 15,19% yang memiliki laporan keuangan, mencerminkan betapa informalnya ekosistem ini. Dari sisi tenaga kerja, sektor e-commerce menyerap 12,4 juta pekerja atau 8,57% dari total penduduk bekerja.

Namun, meskipun menyumbang aktivitas ekonomi signifikan, proporsi pelaku usaha digital yang melaporkan kewajiban perpajakannya sangat minim. Per Mei 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat pelaporan SPT sebanyak 14,06 juta, masih jauh dari target 19,78 juta wajib pajak (WP).

ADVERTISEMENT

Jika dibandingkan dengan jumlah pelaku aktif yang mencapai jutaan, dapat diasumsikan banyak pelaku usaha digital belum tersentuh sistem perpajakan.

Perbedaan ini menimbulkan ketidakadilan fiskal. Ketika pedagang konvensional wajib menyetor Pajak Penghasilan (PPh) Final 0,5%, pedagang digital sering hanya mengandalkan akun media sosial dan rekening pribadi.

Sistem perpajakan yang tak menjangkau mereka melanggar prinsip horizontal equity, di mana pelaku usaha dengan kemampuan ekonomi serupa harus diperlakukan setara (Musgrave, 1959).

Sistem pajak perlu neutral and equitable, dan negara harus adaptif terhadap perkembangan ekonomi digital guna mencegah erosi basis pajak dan arbitrase regulasi. Tanpa penyesuaian, sistem pajak nasional akan terus kehilangan legitimasi (Allen, 2003).

PMK No. 37 Tahun 2025 hadir sebagai upaya mengoreksi ini. Mulai berlaku pada 14 Juli 2025, mewajibkan penyedia marketplace untuk memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,5% atas penghasilan pedagang dalam negeri.

Marketplace akan ditunjuk secara bertahap. Logikanya sederhana: mulai dari pelaku besar, lalu meluas ke yang kecil. Pendekatan ini dinilai efektif oleh berbagai yurisdiksi karena mendorong kepatuhan.

Kriteria berdasarkan nilai transaksi melebihi Rp600 juta per tahun dan jumlah trafik minimal 12.000 per tahun. Yang belum memenuhi syarat namun bersedia, juga dapat mengajukan penunjukan secara sukarela.

Nah, ada pula pengecualian penting. WP orang pribadi dengan omzet belum melebihi Rp500 juta dalam tahun berjalan dapat menghindari pemungutan pajak dengan menyerahkan surat pernyataan. Sedangkan bagi WP yang telah menghitung sesuai ketentuan umum, PPh Pasal 22 tersebut dapat dikreditkan sebagai pembayaran dalam tahun berjalan.

Data laporan Tax Challenges Arising from Digitalisation menekankan pentingnya withholding system karena terbukti lebih efisien dalam menjangkau sektor informal digital (OECD, 2021); dan bahwa third-party reporting melalui platform digital meningkatkan kepatuhan secara signifikan, terutama di negara berkembang (IMF, 2021).

Penelitian di berbagai negara dan data empirisnya, mengungkap sejumlah fakta penting yang memperkuat urgensi penataan perpajakan digital. Mari kita cermati.

Pertama, kesenjangan digital menciptakan ketimpangan ekonomi baru. Pelaku usaha mikro di daerah tertinggal menghadapi hambatan besar dalam mengakses platform digital akibat rendahnya literasi, infrastruktur, dan perangkat.

Kedua, digitalisasi masih didominasi oleh wilayah dengan akses tinggi dan pelaku di kota besar.

Ketiga, sebagian besar pelaku UMKM digital tetap beroperasi di sektor informal dan tidak memiliki kapasitas pelaporan perpajakan yang memadai.

Keempat, banyak pelaku usaha kecil justru berjualan melalui media sosial atau kanal informal. Ini menimbulkan blind spot fiskal yang tidak mudah disentuh oleh regulasi konvensional.

Kelima, model fiskal digital perlu pembedaan pendekatan-tidak bisa disamakan antara pelaku pemula dengan entitas besar yang sudah mapan.

Keenam, literasi digital yang rendah berkorelasi langsung dengan rendahnya kesadaran pajak. Langkah Indonesia sudah tepat, namun masih banyak pekerjaan rumah. Integrasi data e-commerce dengan sistem DJP, pemanfaatan NIK sebagai NPWP, dan edukasi literasi pajak digital mutlak diperlukan.

Pemerintah juga dapat menjajaki pemberian insentif pelaporan mandiri bagi usaha kecil sebagai strategi compliance before enforcement.

Perubahan tidak hanya soal aturan, tetapi juga budaya. Banyak pelaku e-commerce merasa tidak tersentuh pajak karena tidak melihat dirinya sebagai "pengusaha". Mengubah pola pikir ini membutuhkan kolaborasi lintas sektor: edukasi, penyederhanaan proses perpajakan, dan transparansi penggunaan pajak.

Kebijakan fiskal yang baik tidak boleh berhenti pada angka penerimaan. Ia harus menjadi cermin keadilan yang meyakinkan warga bahwa setiap orang berkontribusi sesuai kemampuannya. Di tengah ledakan ekonomi digital, membiarkan jutaan pelaku usaha tidak tersentuh pajak adalah bentuk pembiaran terhadap ketimpangan.

Saatnya sistem perpajakan tak hanya mengejar yang besar, tapi juga menjangkau yang tak terlihat. Bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangkul, dan membangun ekosistem ekonomi digital yang berkeadilan.

Eko Ariyanto. Praktisi Perpajakan dan Peneliti Kebijakan Publik Komunitas Raramuri WPB.

Tonton juga Video: Pajak 0,5% E-Commerce, idEA: Tak Berat, Tapi Mekanismenya Harus Jelas

(rdp/rdp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads