Membaca Arah Tafsir Putusan 135
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Membaca Arah Tafsir Putusan 135

Kamis, 07 Agu 2025 09:22 WIB
Muhammad Daffa Alfandy
Junior Associate of DSLC Law Firm
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK)-(Anggi Muliawati/detikcom
Foto: Gedung Mahkamah Konstitusi (MK)-(Anggi Muliawati/detikcom)
Jakarta -

Kontestasi politik nasional kembali mengalami konfigurasi pasca diterbitkannya Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 (Putusan 135) pada 26 Juni 2025 silam oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan 135 cukup mengguncang ruang politik nasional karena melegitimasi pemisahan jadwal pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) nasional dan lokal.

Putusan ini mengakhiri anomali pelaksanaan pemilu serentak yang secara praktik menimbulkan pelbagai krisis, mulai dari pelemahan pelembagaan partai politik, pelemahan upaya penyederhanaan sistem kepartaian, hingga penurunan kualitas kedaulatan rakyat.

Adanya kegagalan sistematis dalam desain sistem pemilu sangat beririsan dengan kualitas pemimpin rakyat yang muncul sebagai pemenang. Keserentakan pemilu tidak bisa lagi dipandang sebagai pengaturan jadwal pemilu saja, apalagi disederhanakan soal teknis dan implementasi undang-undang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengaturan jadwal pemilu akan berdampak serius terhadap pemenuhan seluruh asas penyelenggaraan pemilu, serta kemandirian dan profesionalitas penyelenggaraan pemilu yang telah digarikan oleh konstitusi.

Kesampingkan terlebih dahulu tendensi politis, mari lihat pendekatan penafsiran pada Putusan 135.

ADVERTISEMENT

Kegagalan Sistematis Pemilu

Allen Hicken (2020) dalam studinya "When Does Electoral System Reform Occur?" memberikan 3 (tiga) pendekatan untuk melihat latar belakang adanya perubahan desain pemilu, yaitu kegagalan sistematis (systematic failure), krisis katalis (catalyst crisis), dan preferensi petahana (incumbent preference).

Pemilu di Indonesia melihat preferensi petahana sebagai pendekatan yang paling ideal. Justru pendekatan tersebut cenderung pragmatis, karena merupakan upaya dari petahana untuk memperoleh keuntungan elektoral agar dapat menang kembali di pemilu.

Melalui pendekatan tersebut, kondisi objektif dari desain sistem pemilu dikesampingkan, karena sesungguhnya pertimbangan keunggulan politik hampir selalu menjadi faktor utama bahkan satu-satunya.

Kondisi objektif tersebut dapat diutamakan jika menjatuhkan pilihan pada pendekatan kegagalan sistematis. Kegagalan sistematis melihat perubahan desain sistem pemilu dari perspektif dampak, adanya kegagalan atau ketidakmampuan dari sistem pemilu dan justru melahirkan permasalahan.

Sebagai contoh, Italia pernah menerapkan sistem pemilu proporsional dalam rangka menyeimbangkan perwakilan di parlemen dengan perolehan suara.

Namun, sistem tersebut pada akhirnya melahirkan fragmentasi politik, faksionalisasi, serta nirakuntabilitas. Melihat kondisi demikian, Italia melakukan perubahan sistem pemilu dari proporsional ke sistem pemilu campuran melalui mekanisme referendum.

Arah Penafsiran Mahkamah Konstitusi

Putusan 135 menjadi benchmarking bagi MK yang menerapkan pendekatan kegagalan sistematis dalam memaknai keserentakan pemilu. Kepekaan terhadap kegagalan sistematis berkorelasi erat dengan metode penafsiran yang dipakai oleh MK. MK selama ini terbelenggu dengan penafsiran originalis (original-intent) yang mencoba menghadirkan semangat awal terbentuknya suatu norma dalam konstitusi.

Jika sepakat bahwa makna keserentakan tidak hanya persoalan teknis saja, kita harusnya sepakat karena melalui Putusan 135 MK mencoba keluar dari belenggu tersebut. Dengan menggunakan metode penafsiran non originalis (ethical), MK lebih mempertimbangkan aspek kemudahan bagi pemilih menentukan pilihan, kerumitan partai politik dalam proses pencalonan, dan beratnya beban penyelenggaraan pemilu.

Konsekuensi dari adanya pergeseran metode tafsir tersebut, Pasal 22E ayat (2) UU UUD NRI 1945 tidak lagi bermakna sebagai norma keserentakan pemilu, melainkan hanya norma yang mengatur jenis pemilu. Pilkada merupakan bagian dari pemilu, di mana sistem dan modelnya menjadi bagian dari sistem pengisian pemerintahan daerah dalam kerangka otonomi daerah.

Asas keberkalaan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 pun akan mengalami transisi, khususnya untuk pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota yang tidak akan dilaksanakan pada Pemilu tahun 2029. Kondisi tersebut tunduk pada teori transisi hukum dalam pembentukan kebijakan hukum, sehingga Putusan 135 tidak dapat dinilai bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945.

Menyikapi Putusan 135

Mempergunakan metode penafsiran non originalis secara teori sejalan dengan pandangan living constitution. Living constitution beranggapan bila terjadi perubahan yang mendasar sebagai kebutuhan dari masyarakat, MK tidak dilarang atau bahkan wajib untuk bertindak aktif dan meninggalkan pendiriannya sebagai negative legislator.

Living constitution membenarkan penafsiran terjadi dalam bentuk yang akan berdampak pada perubahan makna teks konstitusi secara informal. Jimly Asshiddiqie pernah berkomentar bahwa salah satu ciri konstitusi yang fleksibel adalah apabila UUD nya mensyaratkan tata cara perubahan yang tidak terlalu rumit dengan pertimbangan untuk tidak mempersulit perubahan, sehingga UUD dapat disesuaikan dengan tuntutan perubahan zaman.

Sepakat atau tidak sepakat, secara teori dan hukum konstitusi, tidak terbuka opsi untuk menolak Putusan 135, sehingga apa yang ditafsirkan oleh MK harus dipatuhi dan dilaksanakan. Res judicata pro verotate habetur, setiap putusan hakim harus dianggap benar sehingga harus dihormati dan dilaksanakan.

Bagi partai politik pun, Putusan 135 ini tidaklah merugikan. Justru momentum ini membuka ruang untuk menata ulang model keserentakan yang lebih proporsional bagi kepentingan partai politik.

Muhammad Daffa Alfandy. Junior Associate of DSLC Law Firm.

Simak juga Video: MK Putuskan Pemilu Nasional dan Daerah Diselenggarakan Terpisah

(rdp/rdp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads