Menjelang satu tahun usia pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto memutar arah angin politik nasional lewat komposisi langkah yang mengejutkan, elegan, sekaligus kontroversial. Dalam satu keputusan besar, ia memberi amnesti kepada Hasto Kristiyanto, abolisi kepada Tom Lembong, dan sekaligus mengisyaratkan keseimbangan politik untuk menjaga warisan Presiden Joko Widodo.
Ketiganya bukan keputusan biasa. Mereka adalah bagian dari komposisi yang teratur dan sarat makna.
Ibarat sebuah simfoni besar, langkah politik ini terdiri dari tiga gerak utama, yakni pengampunan, perlindungan, dan penghormatan. Tidak gaduh, tidak frontal, tetapi berdampak besar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setiap gerak membentuk harmoni yang merefleksikan arah baru kekuasaan, menjauhi konflik, dan pada saat bersamaan, mendekat pada konsensus.
Baca juga: Kala Amnesti-Abolisi Disebut Demi Persatuan |
Dalam musik klasik, simfoni bukan sekadar susunan nada. Ia adalah kisah yang dibawakan dengan emosi, struktur, dan tujuan. Demikian pula langkah-langkah Prabowo, sebuah upaya memadukan strategi politik, penyelesaian hukum, dan kepekaan terhadap stabilitas nasional. Bukan hanya untuk menciptakan ketertiban, tapi untuk merawat republik.
Gerak Pertama: Amnesti untuk Banteng
Gerak pembuka dalam simfoni ini dimainkan dalam nada tinggi, yaitu pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI Perjuangan, yang sebelumnya divonis dalam perkara suap pergantian antarwaktu anggota DPR.
Putusan ini seketika mengundang kritik. KPK, melalui Wakil Ketua Johanis Tanak, menegaskan bahwa pemberian amnesti tidak menghapus status bersalah Hasto dalam perkara korupsi.
Novel Baswedan, mantan penyidik senior KPK, juga tak menahan kekecewaannya. Ia menyebut amnesti ini sebagai preseden buruk bagi pemberantasan korupsi. Di tengah pelemahan lembaga antirasuah dan masifnya praktik korupsi, langkah politik semacam ini dianggap sebagai sinyal negatif.
Namun jika kita tarik mundur lensa, keputusan ini tak bisa semata dibaca dari perspektif hukum normatif. Prabowo sedang membuka lembaran baru politik nasional. Bukan untuk mencuci tangan orang bersalah, melainkan untuk membuka ruang rekonsiliasi politik nasional.
Sebab dalam sistem demokrasi multipartai seperti Indonesia, stabilitas kekuasaan hanya bisa dijaga bila oposisi dilibatkan dalam harmoni kekuasaan.
PDIP tetaplah partai besar, pemilik suara terbanyak di DPR RI. Menarik mereka ke dalam orbit kekuasaan, atau setidaknya menenangkan ketegangan, adalah langkah strategis.
Dan Hasto bukan hanya tokoh hukum, ia simbol kekuatan politik yang bisa meredam atau mengguncang stabilitas. Maka langkah Prabowo bisa dibaca sebagai langkah mendamaikan, bukan menyerah.
Gerak Kedua: Abolisi untuk Oposisi
Gerakan kedua dalam simfoni Prabowo lebih lembut, tapi sarat makna. Kali ini untuk Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong), eks Menteri Perdagangan, yang dihukum karena keputusan kebijakan impor gula yang dianggap merugikan negara. Meski tak terbukti memperkaya diri, Tom tetap dijatuhi vonis. Presiden Prabowo lalu turun tangan dan memberi abolisi.
Abolisi adalah bentuk penghapusan penuntutan pidana. Ini berbeda dari grasi atau amnesti. Dalam hal ini, negara menyatakan bahwa penuntutan tidak perlu dilanjutkan. Dan Prabowo, dengan segala perhitungan politik dan etika, memilih langkah ini untuk menyelamatkan kredibilitas kebijakan publik yang diambil dalam iktikad baik.
Langkah ini penting karena menunjukkan bahwa dalam memimpin republik, seorang presiden juga harus melindungi integritas para teknokrat. Indonesia terlalu sering menyaksikan pejabat yang dihukum bukan karena korupsi, tetapi karena risiko dari kebijakan yang mereka ambil dalam tekanan situasi.
Prabowo memahami bahwa jika semua pengambil keputusan dibayang-bayangi ancaman kriminalisasi, maka birokrasi akan lumpuh oleh ketakutan. Dalam jangka panjang, ini bisa menghancurkan kapasitas negara untuk bertindak cepat dan berani dalam menghadapi krisis ekonomi, pangan, atau energi.
Maka abolisi ini bukan hadiah pribadi. Ini adalah sinyal kepada para menteri, gubernur, dan pejabat negara bahwa presiden ada di belakang mereka, selama mereka bekerja dengan niat baik dan prinsip tata kelola yang sehat.
Gerak Ketiga: Harmoni untuk Jokowi
Di bagian penutup simfoni ini, nada yang dimainkan terdengar tenang, bahkan nyaris tak terdengar oleh sebagian telinga politik. Tapi justru inilah bagian paling penting, yakni menjaga keseimbangan politik demi kelangsungan warisan Presiden Joko Widodo.
Banyak yang mengira Prabowo tengah menjauh dari Jokowi, terutama setelah muncul komunikasi politik dengan PDIP. Diamnya Prabowo saat Gibran diserang atau ketika isu pemakzulan menyeruak pun ditafsirkan sebagai indikasi perpecahan.
Namun, diam kadang lebih keras daripada kata-kata. Prabowo tahu benar bahwa kekuasaan bukan panggung retorika. Sebagai presiden, ia tak bisa bereaksi seperti aktivis. Ia harus menjaga ketenangan dan stabilitas. Justru di tengah arus tuduhan terhadap Gibran dan keluarga Jokowi, Prabowo tetap hadir mendampingi mereka, baik secara simbolik maupun struktural, sebagaimana yang ia tunjukkan pada saat Konngres PSI di Solo beberapa waktu lalu.
Hubungan Prabowo dan Jokowi bukan sekadar persekutuan elektoral. Itu adalah buah dari luka sejarah, penghormatan timbal balik, dan semangat membangun masa depan bersama. Jokowi telah menyelamatkan karier politik Prabowo dengan memberinya panggung kenegaraan sebagai Menteri Pertahanan, dan bahkan mempercayakan Gibran sebagai wakil dalam Pilpres.
Kini, Prabowo menunjukkan bahwa ia tidak melupakan itu. Ia menata ulang kekuasaan bukan untuk mengambil alih warisan Jokowi, tetapi untuk menjaganya agar tidak digoyang oleh instabilitas internal maupun godaan kutub kekuasaan baru.
Simfoni Tiga Gerak ini menunjukkan bahwa Prabowo bukan sekadar penguasa. Ia adalah penggubah strategi, penyeimbang kekuasaan, dan penjaga kesinambungan.
Alih-alih menjadikan politik sebagai alat balas dendam atau sarana akumulasi kuasa, Prabowo memilih jalur rekonsiliasi, dialog, dan keberanian mengambil risiko demi harmoni nasional.
Ia sadar bahwa Indonesia bukan negara biasa. Ini negara besar, majemuk, dengan sejarah luka dan harapan yang panjang.
Langkah-langkahnya mungkin terasa sunyi bagi mereka yang terbiasa dengan politik gaduh. Tapi dalam musik, bukan volume yang menciptakan keindahan, melainkan harmoni.
Dan bila simfoni ini terus berlanjut, maka Indonesia tidak hanya akan mendengar dentuman politik, tetapi juga harmoni peradaban. Semoga.
Wim Tohari Daniealdi. Dosen FISIP UNIKOM, Bandung.
Simak juga Video: Menkum soal Hasto-Tom Lembong: Presiden Ingin Rekonsiliasi