Krisis stok ikan di Laut Jawa tak lagi bisa ditepis. Kapal-kapal penangkap ikan mulai meninggalkan perairan ini. Aktivitas nelayan bergeser ke timur Indonesia dan wilayah perairan lain yang masih produktif.
Laut Jawa kini 'sepi' ikan, justru dipenuhi oleh sesuatu yang lain: sampah. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) tahun 2025 mencatat timbulan sampah nasional mencapai lebih dari 50 juta ton.
Sedangkan volume sampah yang mencemari laut setiap tahunnya melebihi 20 juta ton dengan sumbangsih terbesar dari daratan. Jalur masuk sampah mulai dari hulu sungai, kawasan padat pesisir, pulau-pulau kecil berpenduduk, pelabuhan perikanan, bahkan dari aktivitas laut itu sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rantai masuknya sampah ke lautan tak pernah terputus. Sampah rumah tangga dibuang ke selokan, hanyut ke sungai, bermuara ke laut. Limbah plastik terbawa ombak, terdampar di pantai, lalu kembali mengapung dan larut menjadi mikroplastik. Di pelabuhan dan kapal, sisa-sisa logistik dan alat tangkap sering kali dibuang begitu saja. Akibatnya, laut kita menjadi kantong akhir dari kelalaian kolektif.
Komposisi sampah laut yang dominan adalah plastik: botol minum sekali pakai, styrofoam, jaring hantu, dan sisa kemasan. Ia tidak terurai, hanya pecah menjadi partikel kecil yang tak kasat mata.
Mikroplastik ini mengendap di dasar laut atau dimakan ikan dan biota laut lainnya. Dalam jangka panjang, ia menghancurkan rantai makanan laut, termasuk manusia di ujungnya.
Krisis sampah plastik bukan cuma masalah lokal, melainkan ancaman dunia yang mendesak diselesaikan karena telah mencemari ekosistem akuatik global. UN Environment Programme memperingatkan bahwa pencemaran plastik turut membawa risiko kesehatan serius seperti kanker, diabetes, dan gangguan pernapasan.
Persoalan sampah tak bisa dianggap sebelah mata. Delegasi dari lebih 170 negara tengah bertemu dalam Konferensi ke-5.2 Intergovernmental Negotiating Committee (INC 5.2) di Jenewa pada 5-14 Agustus 2025 untuk merumuskan perjanjian internasional yang mengikat, soal pengendalian plastik sepanjang siklus hidupnya-dari produksinya hingga pengelolaannya.
Laut Jawa menjadi simbol paling nyata dari kerusakan ekosistem pesisir imbas limpahan sampah. Kementerian Kelautan dan Perikanan RI (KKP) menyebut bahwa salah satu penyebab utama menurunnya populasi ikan adalah sampah.
Sampah merusak habitat pemijahan, menghancurkan mangrove dan terumbu karang, serta memicu migrasi ikan ke perairan yang lebih bersih. Jika tak dikendalikan, degradasi ini bukan hanya menghantam nelayan, tapi juga memperlemah logistik pangan laut nasional.
Program Transformatif
Sejak 2022, KKP telah menjalankan program Bulan Cinta Laut (BCL), sebuah gerakan edukatif yang melibatkan nelayan untuk mengumpulkan sampah plastik yang mencemari pesisir maupun laut. Selama tiga tahun pelaksanaannya, BCL berhasil menggandeng hampir 5.000 nelayan di 54 kabupaten/kota.
Hasilnya lebih dari 1.000 ton sampah laut berhasil dikumpulkan, mayoritas berupa plastik sekali pakai, jaring hantu, dan limbah rumah tangga yang terdampar di pesisir dan mengambang di perairan. Program ini tidak hanya membersihkan laut.
Ia juga membuka jalan bagi tumbuhnya ekonomi sirkular pesisir. Sampah yang terkumpul dipilah, dicacah, dan dijual ke industri daur ulang.
Nelayan peserta memperoleh insentif langsung dan pelatihan pengelolaan sampah. Di beberapa lokasi, pengumpulan sampah bahkan dikelola sebagai koperasi nelayan, menambah sumber pendapatan alternatif bagi keluarga pesisir.
Gerakan edukatif saja tentu tidak cukup. Berangkat dari pemahaman bahwa sampah masuk ke laut bukan karena satu pintu, melainkan dari banyak simpul yang belum ditangani, KKP meluncurkan program Laut Sehat Bebas Sampah atau Sebasah.
Pendekatan Sebasah didesain menyentuh seluruh jalur masuk sampah laut: muara sungai, kawasan pesisir dan pulau kecil, serta pelabuhan dan aktivitas laut. Sebasah bukan sekadar gerakan bersih-bersih, melainkan sistem pengelolaan lintas sektor yang terukur.
Targetnya pengurangan 70% sampah masuk ke laut pada 2029. Program ini dimulai dengan pemetaan data awal (baseline), disusul penandatanganan komitmen multipihak dan penyusunan regulasi kawasan berbasis prinsip zero waste.
Di lapangan, dijalankan program kerja bersama antara pemerintah pusat, daerah, dunia usaha, akademisi, dan komunitas.
Salah satu instrumen pentingnya adalah audit kesehatan laut, yang digunakan untuk memantau beban ekologis kawasan secara berkala. Hasil audit ini akan menjadi dasar penilaian nasional. Pengelola kawasan yang berhasil mengendalikan sampah akan memperoleh penghargaan Presiden Kerthi Segara, dan dukungan insentif fiskal serta program.
Sebaliknya, kawasan yang lalai akan dikenai sanksi atau disinsentif administratif. Sebasah adalah program kolaboratif dan komprehensif.
Sebasah tak hanya menyentuh gejala di permukaan, tapi menata ulang proses dari hulu ke hilir. Ia membangun akuntabilitas, bukan euforia sesaat. Ia mendorong masyarakat menjadi pelaku, bukan sekadar penonton.
Krisis di Laut Jawa adalah peringatan dini bahwa degradasi ekosistem laut bukan isu jangka panjang-ia sedang terjadi, saat ini juga. Jika tidak ada tindakan kolektif dan komitmen politik yang berkelanjutan, kawasan pesisir lain akan menyusul.
Kita tak lagi bisa menunda kerja besar ini. Laut yang sehat bukan sekadar impian ekologis.
Ia adalah syarat mutlak bagi keberlanjutan pangan laut, keberlanjutan penghidupan nelayan, dan masa depan maritim Indonesia. Jika kita membiarkannya tenggelam dalam sampah, kita pula yang akan kehilangan warisan maritim leluhur dan harapan generasi mendatang. Kini saatnya bertindak, atau kita semua akan membayar harga yang jauh lebih mahal.
Doni Ismanto Darwin, Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Komunikasi Publik
Tonton juga video "Ribuan Ikan Nila di Ponorogo Mati Mendadak gegara Gas Belerang" di sini:
(akn/ega)