Peristiwa meninggalnya seorang diplomat Indonesia, ADP, telah menyita perhatian publik. Namun perhatian tersebut segera beralih menjadi konsumsi sensasional dan vulgar ketika gambar dan video jenazahnya beredar luas di media sosial tanpa filter, tanpa izin keluarga, dan tanpa penghormatan terhadap martabat almarhum.
Tim Komnas HAM berkesempatan bertemu keluarga, termasuk orang-orang dekat almarhum di Yogyakarta dan di jajaran Kementerian Luar Negeri. Kesempatan ini memberikan pengalaman betapa kesedihan dan duka yang tak terperikan sedang mereka alami, yang membutuhkan empati kita semua. Peristiwa ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah kita sebagai bangsa masih memahami pentingnya penghormatan terhadap orang yang telah meninggal dunia?
Penghormatan terhadap jenazah bukan sekadar perkara budaya atau adat. Ia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari norma hak asasi manusia yang menjunjung tinggi martabat manusia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kacamata HAM, martabat tidak berakhir pada kematian. Prinsip ini tertuang dalam berbagai instrumen internasional dan nasional.
Secara internasional, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) menegaskan bahwa martabat adalah hak yang melekat pada setiap manusia.
General Comment (Komentar Umum) No. 36 dari Komite HAM PBB memperluas pengertian hak untuk hidup dengan martabat sebagai dasar perlakuan terhadap tubuh manusia, termasuk setelah kematian.
Lebih spesifik lagi, PBB melalui "Minnesota Protocol on the Investigation of Potentially Unlawful Death" (2016) memberikan panduan bagaimana jenazah harus diperlakukan secara etis dalam konteks penyelidikan forensik atas kematian.
Protokol ini menekankan prinsip identifikasi yang layak, penyimpanan aman, penghindaran eksposur yang tidak perlu, serta penghormatan terhadap keluarga korban.
Di tingkat nasional, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM secara tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, martabat, dan kehormatannya.
Sementara KUHP Indonesia mengatur ancaman pidana terhadap tindakan yang tidak pantas terhadap jenazah, sebagaimana Pasal 178, 181, dan 406 KUHP. Bahkan dalam UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009, negara diwajibkan memastikan penanganan jenazah secara manusiawi.
Ironisnya, dalam kasus ADP, prinsip-prinsip tersebut dilanggar secara terang-terangan. Publik tidak sekadar lalai, tapi ikut serta dalam distribusi masif gambar yang mencederai martabat almarhum dan menyakiti keluarga.
Kita seolah lupa bahwa martabat manusia berlaku di saat hidup saja. Lebih dari itu, jenazah seorang diplomat mewakili kehormatan negara. Ketika jenazahnya tidak dihormati, negara pun ikut dipermalukan.
Media sosial, sebagai ruang publik baru, mempercepat penyebaran tanpa kontrol. Namun ini bukan alasan untuk mengabaikan etika. Justru di era digital, kesadaran etis dan penghormatan terhadap hak digital-termasuk hak atas privasi jenazah-menjadi semakin penting.
Negara memiliki tanggung jawab untuk menindak penyebaran konten yang melanggar norma tersebut. Penegakan hukum, perlindungan keluarga korban, serta edukasi publik tentang etika digital dan hak asasi menjadi agenda mendesak.
Penghormatan terhadap orang yang telah meninggal dunia bukan hanya soal belasungkawa. Ia adalah ukuran peradaban. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu cara memperlakukan warganya, bahkan setelah mereka tiada. Dalam kasus ADP, kita gagal. Dan kegagalan itu harus diakui agar bisa diperbaiki.
Saatnya kita berhenti menjadi penonton pasif atau bahkan pelaku diam dari kekerasan simbolik terhadap jenazah. Sebaliknya, kita harus menjadi pembela martabat, bahkan saat seseorang sudah tak mampu lagi membela dirinya sendiri.
Saurlin P Siagian. Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan, Komnas HAM.
Simak juga Video: Sederet Fakta Kasus Kematian Diplomat Kemlu Arya Daru