Politik lokal di Indonesia menjadi sangat penting, topografi dan karakteristik daerah yang sangat berbeda-beda menjadikan politik lokal sebagai ujung tombak meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Sayangnya, meski ada 33 Provinsi, politik lokal di Indonesia sangat sepi dari dialektika pemikiran.
Oposisi seolah hilang di setiap Provinsi. Feodalisme menguasai kehidupan masyarakat dari Aceh Hingga Papua. Banyak pemimpin di daerah yang menerapkan politik merangkul sehingga tak ada kontrol sosial yang memadai dalam menjalankan pemerintahan.
Perdebatan di panggung publik layaknya drama sinetron yang dibuat-buat. Bisa jadi besok pagi mereka yang berdebat duduk bersama menyusun strategi pemenangan, pembagian proyek, atau konsolidasi kekuasaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fenomena ini dikenal dengan istilah koopetisi-kolaborasi di tengah kompetisi. Meskipun istilah ini berasal dari dunia bisnis untuk menggambarkan kerja sama antar perusahaan yang tetap bersaing, kini konsep serupa tampaknya juga menjadi strategi politik baru, baik di level nasional maupun di tingkat lokal.
Baca juga: Di Balik Kritik Aturan Pemisahan Pemilu |
Dalam banyak pemilihan kepala daerah (Pilkada), kita sering menyaksikan partai-partai yang tampaknya berseberangan secara ideologis justru bergandengan tangan mengusung satu calon. Sebaliknya, partai yang dulunya satu koalisi bisa saja pecah dan bertarung di arena yang sama.
Namun yang lebih menarik bukanlah siapa melawan siapa di depan layar, melainkan siapa bekerja sama dengan siapa di balik layar. Koopetisi politik lokal terjadi ketika dua aktor atau kelompok yang bersaing tetap menjalin komunikasi intensif, bahkan menyusun strategi saling menguntungkan.
Koopetisi acapkali dibungkus narasi idealistik seperti "demi kepentingan rakyat", "untuk menjaga stabilitas daerah", atau "membangun sinergi lintas kekuatan".
Namun faktanya, banyak koopetisi yang justru berakar dari kepentingan pragmatis: mempertahankan pengaruh, melanggengkan dinasti, atau mengamankan akses terhadap sumber daya ekonomi dan birokrasi.
Ini menjelaskan mengapa wajah kekuasaan di banyak daerah jarang berubah meski kepala daerah berganti. Elite-nya tetap itu-itu saja. Lawan hanya ada di baliho, bukan dalam sistem. Kekuasaan dipertukarkan, bukan dipertanggungjawabkan.
Koopetisi politik lokal tidak selalu buruk. Dalam beberapa kasus, ia dapat meredam konflik dan membangun kerja sama lintas ideologi. Namun, tanpa akuntabilitas dan keterbukaan, koopetisi mudah berubah menjadi bentuk baru dari kolusi kekuasaan: kompromi yang menyisihkan rakyat dan kesepakatan yang tak melibatkan partisipasi publik.
Saat rakyat sibuk memilih, para elite telah lebih dulu membagi-bagi hasilnya. Tak heran jika masyarakat semakin apatis terhadap politik. Banyak yang merasa bahwa siapa pun yang menang, hasil akhirnya tetap sama.
Fenomena koopetisi menguat di daerah karena jejaring elite sering bersifat personal dan kultural-berbasis keluarga, agama, atau pertemanan lama. Politik transaksional lebih mudah dijalankan ketika para pemain saling kenal dan saling simpan rahasia.
Di sisi lain, biaya politik yang tinggi mendorong kandidat untuk berkompromi dengan lawan daripada menanggung risiko kekalahan. Minimnya pengawasan publik dan lemahnya media lokal juga memberi ruang leluasa bagi praktik koopetisi tanpa kontrol. Ketika ruang sipil lemah, koopetisi mudah menjelma menjadi kartel politik.
Namun demikian, koopetisi bukan berarti sepenuhnya merusak demokrasi. Dalam situasi tertentu, koopetisi bisa menjadi jalan keluar dari polarisasi ekstrem, mempercepat pembangunan, atau memperkuat pemerintahan yang inklusif.
Tapi itu hanya mungkin terjadi jika koopetisi dilakukan secara transparan, berbasis program, dan tetap menjunjung etika serta tanggung jawab publik. Yang sering terjadi justru sebaliknya: koopetisi lokal didasarkan pada visi "pembagian", bukan visi pembangunan. Inilah yang membuat publik merasa bahwa dalam politik lokal, mereka hanya menjadi penonton dari drama yang aktornya sudah tahu skenarionya.
Koopetisi adalah realitas politik lokal hari ini. Ia menunjukkan fleksibilitas elite, namun juga mengaburkan batas antara integritas dan kepentingan. Di satu sisi, ia bisa menghadirkan kestabilan, tapi di sisi lain, ia berpotensi mematikan semangat demokrasi substantif.
Rakyat tentu berhak tahu siapa lawan sejati dan siapa kawan sesungguhnya. Sebab dalam politik koopetitif, siapa yang menang bukan hanya ditentukan di TPS, tapi juga di ruang-ruang tertutup yang tak pernah disorot media.
Dalam sistem demokrasi yang sehat, oposisi adalah elemen vital sebagai penyeimbang kekuasaan. Namun dalam praktik koopetisi politik lokal, lawan politik tidak benar-benar menjadi oposisi. Mereka bisa bersuara keras saat kampanye, tetapi merapat ke penguasa begitu kalah, atau bahkan sejak awal sudah menyatu dalam pembagian kekuasaan.
Akibatnya, fungsi kritik terhadap pemerintah menjadi lemah. Hampir tidak ada yang berani mengoreksi kebijakan, karena semuanya sudah "terlibat". Lembaga pengawas seperti DPRD pun kehilangan fungsinya sebagai pengimbang, karena partai-partai besar lebih sibuk menjalin koalisi dengan kepala daerah daripada menjalankan fungsi kontrol.
Ketika lawan dan kawan tak bisa dibedakan, masyarakat pun kehilangan arah. Mereka menjadi bingung menentukan siapa yang benar-benar memperjuangkan kepentingan publik. Kebingungan ini memicu apatisme politik, membuat partisipasi pemilu menurun, dan melemahkan semangat aktivisme sosial.
Di sisi lain, media lokal yang seharusnya menjadi pilar kontrol justru sering terkooptasi oleh kepentingan elite yang sedang berkuasa. Maka, ruang publik pun kehilangan suara independen. Kritik digantikan oleh euforia pencitraan, dan demokrasi berubah menjadi pertunjukan kosong.
Situasi ini juga menyeret birokrasi ke dalam pusaran politik balas budi. Posisi-posisi penting diisi berdasarkan kompromi elite, bukan berdasarkan kompetensi. Kepala dinas lebih loyal kepada pihak yang mengangkatnya, bukan kepada visi pelayanan publik. Akibatnya, kebijakan menjadi mudah dimanipulasi, dan banyak program unggulan tidak berdampak nyata. Birokrasi berubah fungsi, dari alat pelayanan menjadi alat konsolidasi kekuasaan.
Koopetisi yang tidak sehat juga membuka peluang besar bagi korupsi dan nepotisme. Ketika elite politik saling berbagi kekuasaan, pengawasan internal dan eksternal melemah. Tidak ada yang berani bersuara, karena semua mendapat bagian.
Dalam kondisi seperti itu, korupsi cenderung tumbuh subur. Ketika kekuasaan tidak ditantang dan rakyat kehilangan saluran pengaduan, maka yang tersisa hanyalah sistem yang dikuasai segelintir orang untuk kepentingannya sendiri.
Dalam menghadapi realitas ini, masyarakat sipil, media independen, dan akademisi perlu bersatu memperkuat demokrasi lokal. Koopetisi yang sehat memang bisa menjadi sarana membangun sinergi, tapi hanya jika dilakukan secara terbuka, adil, dan akuntabel. Tanpa itu, koopetisi hanyalah nama lain dari politik dagang sapi yang merusak sendi-sendi demokrasi.
Wawan Novianto. Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Kerinci, Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Manajemen Universitas Andalas.
(rdp/rdp)