Kolom

Momentum dari Prancis dan 14 Negara Barat: ASEAN Kunci untuk Palestina

Moh. Arief Hidayat - detikNews
Sabtu, 02 Agu 2025 09:18 WIB
Foto: Ilustrasi bendera Palestina (Getty Images/iStockphoto/Joel Carillet)
Jakarta -

Langkah Prancis dan 14 negara Barat mendesak pengakuan negara Palestina menandai pergeseran yang tidak bisa diabaikan. Selama puluhan tahun, dukungan pada kemerdekaan Palestina sering dianggap isu rutin diplomasi, penuh pernyataan moral tetapi minim dampak nyata di lapangan. Kali ini, ada sinyal bahwa sebagian Barat mulai menggeser posisi tradisionalnya yang selama ini cenderung membiarkan proses perdamaian Timur Tengah berjalan di tempat.

Di Asia Tenggara, momentum ini semestinya dibaca sebagai peluang besar. Indonesia dan ASEAN memiliki modal historis, politik, dan ekonomi yang cukup untuk bergerak lebih jauh daripada sekadar menyampaikan kecaman atau seruan.

Pertanyaannya, apakah kawasan siap mengambil langkah konkret yang bisa mendekatkan Palestina pada pengakuan penuh dan membuka jalan menuju perdamaian yang lebih stabil di kawasan?

Indonesia memiliki rekam jejak panjang mendukung Palestina. Mandat konstitusi yang menolak penjajahan, jaringan diplomasi di Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Gerakan Non-Blok, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), serta reputasi sebagai negara yang konsisten menyuarakan isu kemanusiaan memberikan kredibilitas yang kuat.

ASEAN, meski sering dipandang lamban dalam isu internasional di luar kawasan, sebenarnya punya posisi yang tak kalah strategis. Mayoritas anggotanya telah mengakui Palestina sebagai negara berdaulat. ASEAN bisa menjadi jembatan antara negara-negara Barat yang mulai bergeser dan blok Global South yang sejak lama mendukung Palestina.

Langkah pertama yang penting ialah menyusun peta jalan untuk mendukung pengakuan penuh Palestina di tingkat internasional. Proses ini bukan sekadar melahirkan pernyataan bersama, tetapi melibatkan koordinasi aktif di forum-forum PBB dan mendukung keanggotaan penuh Palestina yang selama ini terhambat oleh veto di Dewan Keamanan.

ASEAN dapat memulai dengan mengonsolidasikan posisi anggotanya yang sudah solid, lalu membentuk koalisi yang lebih luas bersama mitra dialog seperti Uni Eropa.

Di sisi kemanusiaan, ASEAN punya peluang untuk menciptakan mekanisme bantuan yang berkelanjutan. Gagasan pembentukan koridor kemanusiaan ASEAN, misalnya, dapat menjadi kanal distribusi bantuan sipil yang kredibel dan terkoordinasi bersama badan-badan PBB.

Mekanisme ini penting karena situasi di Gaza dan Tepi Barat tidak hanya soal politik, tetapi juga menyangkut kelangsungan hidup jutaan orang yang terancam kekurangan pangan, air bersih, dan layanan kesehatan. Jika ASEAN bisa memastikan bantuan terus mengalir meskipun eskalasi konflik terjadi, maka kredibilitas kawasan akan meningkat secara signifikan.

Selain itu, diplomasi banyak pihak juga perlu diperkuat. ASEAN dapat mengambil peran sebagai fasilitator dialog antara negara-negara Eropa yang mendukung pengakuan Palestina, OKI, dan Global South.

Format dialog informal yang bisa digelar di Jakarta atau ibu kota negara ASEAN lain dapat memunculkan platform alternatif di luar dominasi Amerika Serikat yang selama ini memonopoli proses perdamaian. Dengan menghadirkan berbagai pihak yang punya kepentingan berbeda dalam satu meja, ASEAN bisa mengisi kekosongan diplomasi.

Langkah-langkah di atas penting bukan hanya karena terkait Palestina, tetapi juga karena membuka peluang memperkuat posisi ASEAN dalam arsitektur geopolitik yang lebih multipolar. Dunia sengah bergerak ke arah yang lebih terfragmentasi dengan pengaruh satu atau dua negara besar tidak lagi mutlak. Dalam konteks ini, kawasan seperti Asia Tenggara dapat memanfaatkan reputasi sebagai blok netral untuk berperan lebih besar.

Namun, jalan menuju kemerdekaan penuh Palestina dan perdamaian kawasan masih panjang dan penuh hambatan. Fragmentasi internal Palestina antara Fatah dan Hamas menjadi salah satu hambatan serius.

Selama kedua kubu ini tidak bisa menyatukan strategi politik yang jelas, Israel akan memiliki alasan untuk menolak proses negosiasi yang berarti. Di sisi lain, kebijakan Israel yang terus memperluas permukiman di Tepi Barat dan menekan Gaza membuat peta solusi dua-negara makin sulit diwujudkan.

Variabel Amerika Serikat juga tak bisa diabaikan. Meski sebagian sekutu Barat mulai bergerak, Washington masih berperan dominan dan sering menggunakan hak veto untuk melindungi Israel di Dewan Keamanan PBB.

Tekanan domestik di AS mulai meningkat, terutama dari kelompok muda dan minoritas yang lebih simpatik pada Palestina, tetapi perubahan kebijakan luar negeri AS tidak akan terjadi secara instan.

Dalam situasi seperti ini, penting bagi ASEAN untuk merumuskan strategi jangka panjang yang realistis. Fokus tidak harus langsung pada penyelesaian final, tetapi pada langkah-langkah yang bisa memperkuat posisi Palestina di mata dunia dan mengurangi penderitaan sipil di lapangan.

Setiap pengakuan baru, setiap bantuan kemanusiaan yang sampai pada mereka yang membutuhkan, dan setiap forum diplomasi yang dibuka akan menambah tekanan politik terhadap status quo yang merugikan Palestina.

Indonesia memiliki peluang besar untuk memimpin upaya ini. Penunjukan utusan khusus yang memiliki mandat penuh untuk isu Palestina dapat menjadi langkah awal. Utusan ini bisa memimpin diplomasi politik sekaligus memastikan koordinasi lintas kementerian dan lembaga agar upaya kemanusiaan dan diplomasi berjalan seiring.

Koordinasi dengan OKI juga menjadi kunci. Sebagai anggota penting OKI, Indonesia bisa mendorong terbentuknya posisi bersama yang lebih kuat antara organisasi ini dan ASEAN. Jika dua blok besar dunia Islam dan Asia Tenggara mampu menyatukan langkah, pengaruh politiknya akan jauh lebih besar, terutama dalam menghadapi veto negara-negara besar di PBB.

Leverage ekonomi ASEAN tidak boleh diabaikan. Kawasan ini adalah salah satu pusat pertumbuhan ekonomi dunia, dengan daya tarik investasi yang besar. Posisi tersebut bisa digunakan untuk mendesak mitra dagang mendukung langkah-langkah kemanusiaan dan hukum internasional yang lebih tegas terhadap pelanggaran di wilayah pendudukan Palestina.

Momentum yang muncul dari pergeseran sikap sebagian Barat tidak akan bertahan lama. Jika dibiarkan berlalu begitu saja, peluang untuk mempercepat pengakuan penuh Palestina bisa kembali menguap seperti yang sudah sering terjadi. ASEAN perlu membuktikan kawasan ini mampu melampaui reputasi sebagai pengamat yang pasif dan menjadi penggerak nyata.

Kemerdekaan penuh Palestina dan perdamaian di Timur Tengah memang tidak akan terwujud dalam satu langkah. Tetapi setiap tindakan kecil yang konsisten akan memperkuat posisi tawar Palestina dan mempersempit ruang bagi kekerasan yang terus berulang.

Dunia sedang membuka pintu yang jarang terbuka: pintu menuju legitimasi internasional yang lebih kuat bagi Palestina. Indonesia dan ASEAN punya kesempatan emas untuk berdiri di depan dalam mendorong proses ini.

Jika kawasan ini berani mengambil peran lebih besar, sejarah akan mencatat Asia Tenggara sebagai aktor yang tidak hanya berbicara, tetapi juga bertindak untuk kemanusiaan dan keadilan di panggung global. Momentum ini terlalu berharga untuk dilewatkan.

Moh. Arief Hidayat. Tenaga Ahli DPR RI.

Tonton juga video "3 Negara Ini Siap Akui Palestina saat Sidang Umum PBB" di sini:




(rdp/rdp)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork