Pilkada Tak Langsung dan Politik Berbiaya Tinggi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Pilkada Tak Langsung dan Politik Berbiaya Tinggi

Jumat, 01 Agu 2025 09:55 WIB
Nurul Fatta
Konsultan Politik di Politika Research & Consulting (PRC).
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi money politics
Foto: Ilustrasi politik uang (Dok detikcom)
Jakarta -

Politik dan uang seperti dua entitas yang tak terpisahkan. Meski ini salah secara moral, tapi realitas yang tercermin di masyarakat berkata lain. Misalnya seperti yang saya temukan dalam obrolan dengan salah seorang warga.

"Mau pilih siapa ini, Bu?"
"Saya mau pilih calon bupati yang paling banyak isi amplopnya lah, Mas."
"Di sini, biasanya berapa, Bu?"
"Tahun lalu saja satu juta, Mas. Sekarang harusnya lebih kan."

Wawancara itu saya lakukan menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) 2024 lalu, di suatu daerah yang tak ingin saya sebutkan nama daerahnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Awalnya saya memang tidak percaya dengan apa yang disampaikan ibu pedagang sayur itu. Tapi setelah sekian kali saya menanyakan hal yang serupa kepada masyarakat setempat selama empat bulan di sana, ternyata jawabannya sama.

Cerita itu barangkali merupakan cerminan dari sebagian masyarakat yang menganggap politik uang (vote buying) itu wajar. Jangankan satu juta, di daerah lain dua puluh ribu saja diambil. Sehingga kebiasaan ini menjadi salah satu faktor yang menekan tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh calon kepala daerah.

ADVERTISEMENT

Biaya Politik Kian Mencekik

Makanya muncul belakangan wacana pilkada (gubernur/bupati/walikota) yang akan dipilih oleh DPRD atau pemerintah pusat, bukan lagi dipilih rakyat.

Munculnya wacana itu diawali oleh Presiden Prabowo Subianto di acara Hari Ulang Tahun ke-60 Partai Golkar, dan belakang kembali mencuat setelah Muhaimin Iskandar berpidato mengusulkan pilkada dipilih langsung oleh pusat atau DPRD, saat peringatan Hari Lahir (Harlah) ke- 27 PKB, yang dihadiri oleh Presiden Prabowo (23/7/2025).

Beberapa alasan yang mendasari usulan pilkada tidak langsung, mulai dari efisiensi biaya yang dikeluarkan negara hingga mahalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh kandidat, yang menyisahkan beban politik di kemudian hari.

Memang, dalam beberapa pilkada serentak sejak 2017 hingga 2024, negara telah menggelontorkan anggaran kisaran 80,65 triliun (Tempo, 2024), belum lagi biaya pemungutan suara ulang (PSU) di 24 daerah yang diperkirakan Rp 1 triliun.

Secara fiskal, itu menjadi alasan kuat untuk mempertimbangkan efisiensi biaya pilkada. Jika pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD, negara bisa menghemat puluhan triliun rupiah yang sebelumnya digunakan untuk logistik, penyelenggaraan tahapan kampanye, serta pengawasan di ribuan TPS.

Dalam sistem pilkada tidak langsung, tentu pemilihan hanya dilakukan di gedung DPRD, tanpa melibatkan banyak unsur yang memerlukan biaya besar, sehingga jauh lebih murah dibandingkan pilkada serentak dipilih oleh rakyat di seluruh daerah.

Tak hanya itu, calon kepala daerah juga akan menghemat biaya tanpa kampanye yang dapat menghabiskan biaya yang tidak sedikit.

Bayangkan, dari sekian kolega yang saya temui, bahkan saya menyaksikan langsung bagaimana politik uang menjadi alat ampuh pemenangan, dan bagaimana ongkos politik dapat mencapai Rp 20 miliar, Rp 50 miliar, bahkan ada calon kandidat yang menghabiskan ratusan miliar untuk mendapatkan kursi jabatan bupati.

Makanya tak heran jika muncul usulan dari elite politik tentang wacana pilkada dikembalikan kepada DPRD, dengan alasan realitas politik hari ini.

Walakin, pro-kontra sudah mulai mencuat ke publik, antara civil society dengan elite politik, bahkan mayoritas publik menolak dengan alasan pilkada tidak langsung dapat mengurangi nilai-nilai demokrasi, termasuk hak partisipasi politik masyarakat.

Sedangkan di sisi lain, sebagian elite politik baik legislatif maupun eksekutif menyampaikan bahwa pilkada yang dilakukan DPRD pun tetap demokratis, sebab DPRD merupakan representasi atau perwakilan yang dipilih oleh rakyat, yang kemudian disebut demokrasi perwakilan, sebagaimana salah satunya disampaikan oleh Mendagri, Tito Karnavian (detikNews, 29/7/2025).

Pertanyaan mendasarnya adalah apakah publik akan menerima jika pilkada dipilih oleh DPRD dengan alasan demokrasi perwakilan, mengingat legitimasi sistem demokrasi tetap ada pada rakyat?

Aspirasi Publik

Tampaknya demokrasi perwakilan tidak sejalan dengan aspirasi publik seperti yang tersajikan dalam hasil survei Politika Research & Konsulting pada bulan Juni lalu (26/6/2025).

Hasil survei menunjukkan, mayoritas masyarakat menolak pilkada tidak langsung, bahkan mereka yang tidak percaya kepada DPR sekalipun. Setelah dilakukan tabulasi silang, responden yang menaruh kepercayaan kepada DPR, sebanyak 58,3 persen tetap menolak kepala daerah dipilih oleh DPR. Hanya 37,3 persen yang menyetujui, dan sisanya 4,5 persen menjawab tidak tahu atau tidak menjawab.

Artinya, kepercayaan publik kepada DPR tidak sekaligus memberikan kepercayaan kepada mereka untuk mengubah bagaimana sistem demokrasi semestinya dijalankan.

Selanjutnya, kelompok yang tidak percaya pada DPR, justru sikapnya jauh lebih tegas, 77,9 persen menolak. Sikap ini mencerminkan pernyataan yang sangat tegas tentang siapa yang semestinya punya hak dan dianggap pantas memegang mandat pemilihan kepala daerah.

Hal serupa menunjukkan dalam hubungan publik dengan partai politik. Sikap publik yang paling menarik berangkat dari kelompok yang percaya pada parpol, 56,8 persen tetap menolak (tidak setuju) sistem pilkada tidak langsung. Apalagi yang tidak percaya parpol, 73,6 persen menentukan sikap tidak setuju.

Dengan demikian, satu hal penting yang tersirat dari sini adalah kepercayaan publik pada institusi tidak cukup untuk menggantikan hak memilih.

Makanya, penolakan terhadap pilkada yang awalnya dipilih langsung oleh rakyat, lalu akan diambil alih oleh DPR, adalah sikap yang bukan sekadar penolakan terhadap prosedural teknis pemilihan kepala daerah, tapi bentuk sikap perlawanan terhadap proses delegitimasi demokrasi.

Meminjam kalimat dari Seymour Martin Lipset (1959), bahwa legitimasi politik bergantung pada keyakinan bahwa institusi saat ini adalah "yang paling sesuai" (the most appropriate ones) untuk masyarakat.

Artinya, jika rakyat merasa dicabut haknya dalam menentukan siapa yang akan berkuasa, dan bagaimana mengontrol kekuasaan yang dijalankan, sebagaimana ditunjukkan dalam sikap penolakan di atas, maka sistem demokrasi perwakilan itu telah kehilangan kepercayaan yang sangat subtantif dari rakyat.

Lantas jika DPR dan partai politik sudah tidak dipercaya oleh rakyat, bagaimana mungkin mereka dipercaya memilih pemimpin untuk rakyat?

Oleh karena itu, memaksakan wacana ini, akan mengundang resistensi yang tinggi dari publik yang dapat mengancam stabilitas politik, sebab publik secara konsisten memberikan penolakan baik yang percaya maupun yang tidak percaya pada DPR dan partai politik.

Saya kira, esensinya bukan memilih antara pilkada langsung atau tidak langsung, melainkan membenahi akar persoalan politik biaya tinggi. Sebab, selama harga kekuasaan tetap mahal, sistem apa pun hanya akan melanggengkan politik transaksional, dari ibu pedagang sayur ke ruang-ruang tertutup tempat pedagang kursi kekuasaan.

Nurul Fatta. Konsultan Politik di Politika Research & Consulting (PRC).

(rdp/rdp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads