Banyaknya perumahan subsidi yang kosong di tengah tingginya kebutuhan akan hunian rumah tinggal menjadi ironi. Mengutip data dari beberapa sumber, tingkat kekosongan rumah subsidi mencapai 60-80%. Suatu angka yang cukup besar.
Keberadaan hunian kosong menunjukkan bahwa amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman untuk mewujudkan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang layak di lingkungan yang aman, sehat, harmonis, dan berkelanjutan belum sepenuhnya tercapai.
Lebih jauh lagi, kondisi ini berpotensi menimbulkan konflik pemanfaatan ruang bahkan sengketa lahan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tantangan Pembangunan Perumahan
Banyak yang menjadi alasan rumah dibiarkan kosong. Mulai dari bangunan yang kurang berkualitas, tiadanya fasilitas air bersih, maupun jaringan energi yang tidak memadai.
Di antara berbagai alasan itu, yang perlu dicermati adalah bahwa rumah subsidi dibiarkan kosong karena lokasinya yang jauh dari tempat kerja dan minimnya akses transportasi umum (Tranghanda, Detik.com, 3/5/2024).
Urbanisasi telah melahirkan pusat-pusat permukiman dan hunian baru di wilayah pinggiran kota. Dipicu harga tanah yang melambung tinggi, pengembangan hunian baru di pusat kota tidak lagi memungkinkan. Pengembangan hunian di wilayah pinggiran kota menjadi keniscayaan.
Baca juga: Memperkuat Reformasi Tata Ruang Indonesia |
Dampak yang menyertainya, lokasi hunian yang jauh dari tempat kerja di pusat kota tidak terhindarkan. Tantangan ke depan adalah bagaimana agar hunian yang dibangun tidak dibiarkan kosong atau terlantar dengan alasan lokasi yang jauh dari pusat kota.
Kesenjangan Tata Ruang
Perumahan dan permukiman yang berkelanjutan menghendaki lingkungan aman dan sehat yang terintegrasi dengan pusat kegiatan. Penghuni rumah memiliki akses memadai terhadap fasilitas ekonomi dan sosial yang dibutuhkan.
Karenanya, wilayah permukiman yang dibangun idealnya dilengkapi dengan infrastruktur pendukung sistem jaringan dan prasarana transportasi yang aman dan murah, jaringan air bersih maupun sistem pengelolaan sampah yang memadai.
Fakta yang ada di lapangan seringkali tidak demikian. Wilayah hunian lahir tanpa kehadiran prasarana yang dibutuhkan. Pembangunan hunian tidak terpadu dengan pembangunan jaringan infrastruktur pendukung.
Terjadi kesenjangan antara pembangunan perumahan dengan pembangunan infrastruktur pendukung. Fenomena itu menjadi sinyal masih lemahnya pengelolaan tata ruang kita. Sinkronisasi, koordinasi dan keterpaduan antar pemangku kepentingan dalam pengelolaan tata ruang masih menjadi persoalan.
Menurut Stevanovic dkk (2018), implementasi adalah mata rantai terlemah dari perencanaan tata ruang antara lain karena dalam praktiknya hanya sebagian dilakukan. Namun sebenarnya persoalan tidak hanya pada implementasi, tetapi juga pada tahap perencanaan dan pengendalian.
Kesenjangan tata ruang sudah dimulai dari perencanaan yang tidak rinci, implementasi yang tidak kunjung dieksekusi hingga pengawasan tata ruang yang lemah.
Pengelolaan tata ruang yang terpadu diperlukan agar kasus rumah subsidi kosong akibat ditinggalkan penghuninya tidak terus terjadi.
Dukungan Kebijakan Tata Ruang
Kebijakan tata ruang yang sesuai dinamika pembangunan menjadi penting dalam mengatasi kesenjangan tata ruang. Saat ini diperlukan rencana rata ruang yang aplikabel, akuntabel dan transparan. Wujudnya adalah rencana tata ruang dengan tingkat ketelitian rinci seperti Rencana Detil Tata Ruang (RDTR).
Persoalannya, rencana sejenis ini masih terbatas jumlahnya. Data dari Kementerian ATR/BPN per 20/5/2025 tercatat bahwa di seluruh wilayah Indonesia baru tersedia 626 RDTR dari target yang dibutuhkan sejumlah 2.000 RDTR .
Tersedianya RDTR di setiap daerah akan mendorong terciptanya penyelenggaraan tata ruang yang baik. Pertama, implementasi dan pengendalian serta pengawasan menjadi lebih mudah dilakukan karena adanya kepastian hukum dan perlindungan bagi para pemangku kepentingan.
Rencana yang rinci akan mendorong pembangunan wilayah hunian terpadu dengan rencana pembangunan prasarana pendukung.
Kedua, meningkatkan kualitas pelayanan publik dalam pelayanan perizinan tata ruang yaitu pelayanan yang transparan, cepat, dan mudah, termasuk dalam perizinan pembangunan perumahan.
Apa Yang Perlu Dilakukan?
Berkaca dari fenomena rumah hunian kosong yang ditelantarkan, pembenahan pengelolaan tata ruang perlu dilakukan.
Pertama, melakukan percepatan penyusunan RDTR di semua daerah. Ini merupakan prioritas yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah bersama para pemangku kepentingan.
Selain itu juga merupakan amanat UU No. 26 Tahun 2023 (Pasal 14) bahwa setiap Pemerintah Daerah wajib menyusun dan menyediakan RDTR. Hari ini dan ke depan akan banyak wilayah strategis yang akan berkembang yang perlu dikelola dan dikendalikan.
Kedua, meningkatkan koordinasi dan saling pengertian antar sektor dan antar pemangku kepentingan dengan melibatkan para ahli dan elemen-elemen publik. Forum penataan ruang di daerah harus diberdayakan.
Ketiga, sosialisasi publik mengenai kebijakan tata ruang sebagai wujud transparansi dan akuntabilitas. Azas keadilan tata ruang mensyaratkan keterbukaan sehingga publik memiliki akses terhadap kebijakan tata ruang di daerah masing-masing.
Fenomena hunian kosong diharapkan menjadi momentum untuk membenahi sistem pengelolaan tata ruang mulai dari perencanaan, implementasi sampai dengan pengawasan. Semua pemangku kepentingan dapat berperan memberi sumbangan dalam mewujudkan ruang hidup yang aman, produktif dan berkelanjutan.
Tri Yudi Santosa. Purnabakti PNS Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN.
Simak juga Video: Batalkan Wacana Rumah Subsidi 18 Meter, Menteri Ara Minta Maaf
(rdp/rdp)