Bias-Bias Standar Garis Kemiskinan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Bias-Bias Standar Garis Kemiskinan

Jumat, 01 Agu 2025 09:12 WIB
Sampean
Mahasiswa Doktoral Sosiologi Pedesaan IPB University dan Wakil Ketua Laboratorium Data Desa Presisi, Fakultas Ekologi, IPB University.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Sejumlah warga beraktivitas di kampung bengek, Muara Baru, Jakarta Utara, Selasa (7/1/2024). Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia menunjukkan tren penurunan yang signifikan sepanjang 2024.
Foto: Ilustrasi kampung kumuh di kampung bengek, Muara Baru, Jakarta Utara (Grandyos Zafna)
Jakarta -

Di Indonesia, garis kemiskinan bukan sekadar angka. Ia menjadi alat seleksi siapa yang layak menerima bantuan, dan siapa yang harus berjuang sendirian. Lebih dari itu, ia berubah menjadi simbol kesuksesan pembangunan sekaligus panggung statistik bagi ambisi politik.

Namun di balik kesan objektifnya, angka ini sering kali menyembunyikan wajah paling getir dari kehidupan jutaan orang.

Saat Angka Menutupi Luka

Sampai tahun 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) masih mengandalkan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN) untuk menentukan garis kemiskinan nasional, yakni Rp595.243 per kapita per bulan. Pendekatan ini menyederhanakan kemiskinan hanya sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, pangan dan non-pangan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tapi, bagaimana dengan kualitas hidup masyarakat? jika menihilkan kemampuan warga mendapatkan pendidikan yang baik, tempat tinggal yang layak, dan layanan kesehatan yang baik?

Berdasarkan standar ini, tercatat 24,06 juta orang di Indonesia dikategorikan sebagai miskin. Berbeda, kita membandingkan dengan standar global, terutama milik Bank Dunia, ceritanya berbeda jauh. Acuan Bank Dunia berdasarkan purchasing power parity (PPP) tahun 2024, garis kemiskinan global untuk negara menengah atas seperti Indonesia berada di angka $8,3 PPP per hari, atau sekitar Rp1,21 juta per bulan. Menggunakan standar ini, jumlah warga miskin melonjak tajam dari 24 juta menjadi 190 juta jiwa.

ADVERTISEMENT

Perbedaan mencolok ini bukan sekadar selisih angka, ia berisiko menyesatkan. Ketika definisi kemiskinan dibuat terlalu rendah, maka jutaan orang yang hidup dalam ketidakpastian dan kekurangan seolah lenyap dari laporan statistik resmi dan objek sasaran intervensi kebijakan. Mereka tidak terlihat. Akibatnya, tak mendapat bantuan dan tidak terjangkau oleh program perlindungan sosial.

Menguak Realitas

Pada 6 Juni 2025, Bank Dunia merilis revisi terhadap garis kemiskinan internasional. Dampaknya langsung terasa, tingkat kemiskinan ekstrem Indonesia melonjak dari 1,26 persen menjadi 5,44 persen. Lebih mencengangkan lagi, jika memperluas cakupan ke standar negara menengah atas, angka kemiskinan nasional mendekati 70 persen, tepatnya 68,3 persen. Ini bukan hanya lonjakan statistik, ini adalah potret kegagalan kita memahami realitas sosial dalam dua dekade terakhir.

Revisi tersebut mengacu pada data terbaru International Comparison Program (ICP) 2021 yang memperbarui acuan harga lintas negara dengan pendekatan PPP. Data ini mencerminkan perbedaan biaya hidup antarnegara dengan lebih akurat. Sebelumnya, Indonesia masih mengacu pada data ICP 2017, yang berarti garis kemiskinan nasional kita sudah tertinggal dari perkembangan global.

Di tengah polemik garis kemiskinan belakangan ini, Pemerintah saat ini tengah mengkaji ulang metodologi penghitungan garis kemiskinan nasional. Pendekatan CBN tetap dipertahankan, tetapi komponen konsumsi akan diperbarui. Misalnya, kebutuhan kalori yang selama ini ditetapkan sebesar 2.100 kkal dipertimbangkan untuk dinaikkan. Jenis makanan juga akan disesuaikan dengan pola konsumsi masyarakat yang semakin kompleks.

Revisi semacam ini tidak akan berarti jika tidak disertai keberanian politik. Karena selama ini, rendahnya standar garis kemiskinan justru digunakan sebagai "bukti" keberhasilan pemerintah. Angka-angka indah ini dijadikan amunisi dalam narasi pembangunan, terutama menjelang momentum elektoral. Padahal, kenyataan yang ditutupi hanya akan menambah jurang ketimpangan dan ketidakadilan kebijakan.

Mendefinisikan Ulang Siapa yang Kita Bantu

Permasalahan paling mendasar bukan cuma soal metode penghitungan. Intinya terletak pada cara kita memandang kemiskinan. Selama ini, ia direduksi menjadi soal konsumsi minimum. Padahal, jadi miskin berarti hidup tanpa kepastian kerja, tanpa akses pendidikan, tanpa perlindungan kesehatan, dan tanpa tempat dalam pengambilan keputusan (Sjaf, 2025).

Negara-negara lain telah mulai berpaling ke Indeks Kemiskinan Multidimensi (Multidimensional Poverty Index/MPI) yang mempertimbangkan berbagai aspek kualitas hidup: pendidikan, sanitasi, listrik, perumahan, dan kesehatan. Pendekatan ini telah diterapkan di India, Kolombia, dan Meksiko, dengan hasil yang lebih akurat dalam mengidentifikasi kelompok rentan. Di Indonesia, kita memiliki Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Fakir Miskin (UU Fakir Miskin) yang setara dengan MPI. UU Fakir Miskin tidak pernah digunakan sebagai dasar perhitungan garis kemiskinan.

Indonesia dapat menggunakan UU Fakir Miskin. Terlebih lagi, kita bukan lagi negara miskin. Pendapatan per kapita kita pada 2023 telah mencapai $4.810, jauh di atas ambang batas negara berpendapatan rendah ($1.135).

Apabila ukuran kita masih bertumpu pada standar negara termiskin, maka kita menipu diri sendiri. Ketika hampir dua pertiga rakyat hidup dalam ketidakpastian ekonomi, tidak cukup hanya dengan mengklaim bahwa mereka "tidak miskin" menurut garis pengeluaran minimum.

Langkah pemerintah untuk memperbarui standar penghitungan patut diapresiasi, tetapi harus dilakukan secara menyeluruh dan berani. Jangan sampai perubahan ini hanya menjadi kosmetik belaka, sekadar mempercantik indikator tanpa menyentuh substansi.

Jika pendekatannya tidak berubah, maka nama-nama dan angka mungkin diperbarui, tetapi wajah kemiskinan akan tetap sama, tak terlihat, tak terlayani, dan terus tumbuh di balik statistik yang menipu.

Garis kemiskinan seharusnya bukan alat untuk menutupi kekurangan, tapi justru menjadi cermin jujur atas kondisi bangsa. Jika kita sungguh ingin membangun negara yang adil dan berkeadaban, maka langkah pertama adalah berhenti berdusta dengan angka.

Kita perlu berjiwa besar dan berkata, ya, kemiskinan masih besar. Dari pengakuan itulah, satu langkah pertama, dimulai perjalanan ribuan mil untuk penurunan angka kemiskinan.

Sampean. Mahasiswa Doktoral Sosiologi Pedesaan IPB University dan Wakil Ketua Laboratorium Data Desa Presisi, Fakultas Ekologi, IPB University.

(rdp/rdp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads