Jalan Panjang Wawasan Kebangsaan dan Moderasi Beragama di Indonesia
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Jalan Panjang Wawasan Kebangsaan dan Moderasi Beragama di Indonesia

Kamis, 31 Jul 2025 18:10 WIB
Inggar Saputra
Peneliti Perkumpulan Rumah Produktif Indonesia, lulusan S2 Ketahanan Nasional UI, dosen di beberapa perguruan tinggi.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi norma agama.
Foto: Ilustrasi kerukunan beragama (Milada Vigerova/Unsplash)
Jakarta -

Indonesia adalah negara multi budaya, agama, dan suku sehingga tingkat heterogenitas masyarakat sangat besar. Di negeri ini, perbedaan adalah sebuah keniscayaan sejarah yang sering menghasilkan dinamika di masyarakat. Berbeda untuk tumbuh, berkembang dan harmonis seringkali menjadi sebuah harapan yang besar.

Meskipun pada realitanya, kualitas pemahaman beragama dan nilai kebangsaan seringkali 'dikalahkan' keyakinan emosional yang berakar dari minimnya dialog dalam menyelesaikan sebuah konflik.

Dalam sebuah negeri dengan heterogenitas tinggi, konflik beragama umumnya dipicu masalah provokasi, kesalahpahaman dan minimnya pemerataan kesadaran wawasan kebangsaan. Kebanggaan terhadap kelompok seringkali dominan, apalagi untuk aspek mendasar seperti dukungan fanatik terhadap keyakinan beragama.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Persoalannya kemudian, bagaimana seharusnya seorang yang beragama, seringkali dinilai dekat dengan Tuhan mampu mengelola perbedaan dengan nalar intelektual, memajukan kebutuhan dialogis dibandingkan emosi yang meledak karena merasa kepentingan beragamanya terganggu.

Kita dapat melihat mulai dari kesalahpahaman yang berujung pembubaran ibadah Rosario di Tangerang Selatan pada Mei 2024. Ada komunikasi yang tersumbat, mahasiswa merasa ibadah Rosario merupakan sarana kebebasan beragama sementara warga menilai kegiatan ibadah yang terlalu malam mengganggu ketenangan dan waktu istirahat.

ADVERTISEMENT

Perbedaan pandangan yang tajam menyulut emosional, sehingga kedua belah pihak saling terlibat dalam bentrokan yang "memaksa" senjata tajam muncul. Korban berjatuhan dan menjadi peringatan bagaimana isu agama sangat sensitif dalam menciptakan disharmonisasi sosial dalam masyarakat Indonesia.

Kejadian konflik antar kelompok agama itu bukan yang pertama, Setara Institute menemukan fakta bahwa selama 2014-2024 1.998 peristiwa dan 3.217 tindakan pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.

Selama tahun 2024, tindakan intoleransi beragama mencapai 72 kejadian, upaya gangguan terhadap tempat ibadah (42 kasus) dan tindakan diskriminatif oleh negara (50 kasus). (BBC, 2025) Pada akhir Mei 2025, penggunaan rumah singgah sejak April 2025 untuk kegiatan keagamaan memicu konflik di Sukabumi. Keterbatasan komunikasi kedua pihak kemudian memicu tindakan pembubaran dan perusakan rumah tersebut sehingga menimbulkan gejolak intoleransi yang dibaca publik melalui berbagai pemberitaan media.

Tidak sekedar merusak, penyelidikan aparat hukum menemukan adanya upaya perusakan simbol keagamaan dan menimbulkan dampak psikologis mengingat adanya anak-anak yang terlibat dalam kegiatan ibadah tersebut.

Menyikapi berbagai kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, kita perlu memiliki pemahaman mengenai dua konsep mendasar. Pertama, beragama secara moderat adalah pilihan terbaik bangsa Indonesia. Para pemimpin agama Islam sebagai agama mayoritas perlu mengajak setiap jamaah di masyarakat untuk toleran terhadap perbedaan dengan membudayakan menghargai dan menghormati kepercayaan beragama orang lain.

Komunikasi kelompok agama perlu dibangun baik tingkat elite dan akar rumput sehingga jalan damai ditempuh ketika terjadi potensi konflik di lapangan. Perlu juga dibangun kesadaran egaliterianisme, bahwa setiap umat beragama memiliki kesetaraan hak dan kewajiban sebagai anak bangsa sehingga tercipta persatuan dan kesatuan bangsa.

Upaya menciptakan moderasi beragama juga perlu dukungan adil secara pikiran, sehingga ketika terjadi potensi konflik mengutamakan nalar akal berbentuk dialog dan pendekatan humanis dibandingkan kekerasan yang bersifat emosional dan memicu tindakan hukum yang berujung pidana kepada pelaku perusakan.

Pendidikan hak asasi manusia harus dimasifkan mulai dari penegak hukum, elite masyarakat dan kalangan masyarakat akar rumput dengan penyesuaian berkomunikasi efektif pada tiap segmen dengan mengutamakan rasa keadilan dan kesetaraan beragama sehingga mengurangi potensi pelanggaran tindakan hukum pidana. Tak kalah pentingnya, perlu dimunculkan strategi menciptakan sikap beragama yang terbuka dan dinamis antar kelompok agama.

Umumnya kelompok yang bertikai dalam konflik agama dipicu kebuntuan berkomunikasi, sehingga sikap beragama salah satu pihak cenderung menolak kritik dan masukan yang baik dari pihak lain. Padahal kehidupan sosial yang penuh dinamika membutuhkan kesepahaman yang dibangun melalui kesadaran berdialog secara humanis dan mengutamakan persatuan bangsa.

Konsep kedua menekankan pentingnya wawasan kebangsaan, dimana penegakan empat pilar kebangsaan perlu menyesuaikan dengan kontekstualisasi persoalan keagamaan yang sering menimbulkan gejolak panas di lapangan. Perlu rasanya dipikirkan bagaimana pendekatan empat pilar kebangsaan yang dikelola parlemen negeri ini menemukan relevansinya menciptakan tindakan pencegahan dini terhadap pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Pancasila harus menemukan ruang nyata dalam menciptakan dialog beragama di masyarakat, bukan sekedar makna simbolik dan hidup dalam ruang imajinasi kalangan elite negeri ini. Bhinneka Tunggal Ika perlu diajak membumi, bagaimana nilai kesadaran keberagamaan tidak seharusnya memicu seringnya konflik keberagaman.

Nilai keberagaman dan inklusifitas selayaknya mengajak partisipasi masyarakat dalam berbagai usaha menumbuhkan Bhinneka Tunggal Ika dalam keseharian masyarakat Indonesia yang pluralis sekaligus agamis.

Adanya UUD 1945 sebenarnya sudah menjamin, bahwa setiap manusia Indonesia bebas memeluk agama dan kepercayaan masing-masing. Kondisi ini perlu dipahami dalam setiap perbedaan di masyarakat termasuk soal beragama, dimana pendekatan hukum dalam konflik beragama dan berkeyakinan memang harus ditegakkan. Tetapi perlu juga dipikirkan bagaimana ke depan penegakan hukum berbasiskan solusi sosial komprehensif perlu dimunculkan agar kejadian intoleransi beragama tidak terus berulang.

Misalnya perlu ada kesepakatan dan komitmen agar rumah perseorangan tidak dijadikan sarana ibadah karena melanggar hukum, tetapi masyarakat sekitar juga perlu mendukung jika ada kelompok agama berbeda ingin membangun secara mandiri rumah ibadahnya di wilayah tersebut. Ini penting agar kebebasan beragama tetap terjamin dan berjalan sesuai peruntukannya.

Terakhir, perlu adanya kesadaran bersama kita hidup berbeda agama, suku dan kepentingan kelompok di Indonesia. Tetapi sejak merdeka tahun 1945 setiap anak bangsa sudah berkomitmen menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga konsekuensi logisnya, setiap manusia Indonesia perlu mengedepankan jiwa kolektif kebangsaan dibandingkan mengedepankan egoisme pribadi dan kepentingan kelompoknya semata.

Penerimaan Indonesia sebagai negara kesatuan perlu dibarengi keyakinan, kesadaran dan implementasi bahwa konflik beragama harus diminimalisir agar tidak menciptakan kekacauan yang merusak mentalitas persatuan sesama anak bangsa. Kita hidup di negeri multikultur dan agama, yang membutuhkan kesadaran terhadap dialog kebangsaan dalam menyelesaikan setiap masalah yang ada.

Indonesia akan menjadi besar dan tidak menjadi "negara gagal" ketika setiap anak bangsa lebih mengutamakan persatuan sebagai pemimpin di depan dibandingkan kepentingan pribadi dan kelompok yang seringkali bersifat subyektif.

Inggar Saputra. Peneliti Perkumpulan Rumah Produktif Indonesia, lulusan S2 Ketahanan Nasional UI, dosen di beberapa perguruan tinggi.

Tonton juga Video: Jokowi: Perbedaan Adalah Kekayaan, Toleransi Pupuk Bagi Persatuan Bangsa

(rdp/rdp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads