Kolom

Dua Versi Angka Kemiskinan Indonesia

Heru Wahyudi - detikNews
Kamis, 31 Jul 2025 14:29 WIB
Foto: Ilustrasi wilayah kumuh di Kampung Bengek Muara Baru (Pradita Utama)
Jakarta -

Perbedaan angka kemiskinan versi Bank Dunia dan BPS membuat geger publik. Bank Dunia mencatat 68,3% warga Indonesia (194,72 juta jiwa) miskin per 2024, sementara BPS hanya 8,47% (23,85 juta jiwa) pada Maret 2025. Bukan karena data salah, tapi metodologinya beda jauh.

Bank Dunia baru saja mengubah standar perhitungan kemiskinan global pada Juni 2025 lewat Purchasing Power Parities (PPP) 2021, yang menciptakan garis kemiskinan Indonesia melonjak dari US$6,85 ke US$8,30 per hari. Dampaknya? Penduduk yang dianggap 'miskin' otomatis melonjak drastis.

BPS tetap pakai metode lama: kebutuhan dasar alias Cost of Basic Needs (CBN) yang fokus ke pengeluaran minimal untuk hidup layak di Indonesia, dari makan 2.100 kalori sampai ongkos sekolah dan transportasi.

Garis kemiskinan nasional pada Maret 2025 hanya akan mencapai Rp 609.160 per bulan per orang, jauh di bawah standar Bank Dunia sebesar Rp 1,5 juta per bulan. Di sinilah letak jurang antara "kemiskinan global" dan "kemiskinan versi pemerintah".

Mengapa Data Bank Dunia dan BPS Berbeda?

Perdebatan angka kemiskinan antara Bank Dunia dan BPS bukan soal data siapa yang benar, justru soal cara pandang yang bertolak belakang. BPS melaporkan 8,47% rakyat Indonesia miskin (23,85 juta jiwa), sedangkan Bank Dunia menyebut 68,3% (194,72 juta jiwa) hidup di bawah garis kemiskinan global. Gap delapan kali lipat ini muncul lantaran definisi "miskin" versi keduanya berbeda fundamental.

Bank Dunia memakai standar global berbasis Purchasing Power Parity (PPP), yang menyesuaikan daya beli antarnegara. Karena Indonesia sudah masuk kategori negara berpendapatan menengah atas (Upper Middle Income Country/UMIC), garis kemiskinannya naik menjadi US$8,30 PPP per hari (sekitar Rp1,51 juta per bulan). Dampaknya, angka kemiskinan langsung melonjak.

Pasalnya bukan hal teknis semata, melainkan pergeseran standar hidup minimum yang lebih ketat secara global.

Sebaliknya, BPS tetap pakai pendekatan kebutuhan dasar (Cost of Basic Needs/CBN) yang lebih membumi. Realitasnya yakni seseorang dapat makan 2.100 kalori setiap hari, memiliki tempat tinggal, memiliki akses ke pendidikan dan kesehatan, dan berada di bawah garis kemiskinan sebesar Rp609 ribu per bulan.

BPS mengukur kemiskinan berdasarkan pengeluaran rumah tangga, sesuai pola konsumsi riil masyarakat Indonesia, bukan standar abstrak internasional.

Bagi kebutuhan kebijakan domestik, data BPS lebih relevan. Program bantuan sosial pemerintah seperti PKH dan KIS mengandalkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang berbasis garis kemiskinan BPS. Bahkan Bank Dunia pun mengakui data BPS yakni acuan utama untuk kebijakan nasional.

Sekalipun, data Bank Dunia tetap penting untuk perbandingan global. Standar internasional ini dibutuhkan lembaga donor dan peneliti agar bisa membandingkan kondisi antarnegara secara setara. Indonesia dinilai dengan standar UMIC, bukan lagi negara berkembang bawah, yang konsekuensinya menaikkan ekspektasi kualitas hidup minimal.

Pada dasarnya, angka kemiskinan yang dibuat oleh Bank Dunia dan BPS menggambarkan dua perspektif berbeda: satu berpusat pada "standar global yang ideal", dan yang lain berpusat pada "realitas lokal yang pragmatis." Keduanya benar di konteksnya masing-masing, tapi bisa menyesatkan bila dipakai tanpa memahami latar belakangnya.

Kapitalisme atau Ekonomi Kerakyatan?

Indonesia sedang terjebak di persimpangan ideologis: di atas kertas menganut ekonomi kerakyatan ala Pasal 33 UUD 1945, tapi praktiknya kapitalisme mengakar di mana-mana. Perdebatan klasik pun muncul: mana yang lebih ampuh mengentaskan kemiskinan dan menciptakan keadilan ekonomi?

Ekonomi kerakyatan berbasis Pancasila menekankan peran aktif rakyat dan negara. Prinsip dasarnya sederhana: produksi vital dikuasai negara, ekonomi digerakkan UMKM dan koperasi, dan pemerintah wajib hadir sebagai regulator yang melindungi kepentingan rakyat. UMKM yang menyerap 97% tenaga kerja dan menyumbang 60% PDB adalah bukti bahwa ekonomi kerakyatan bukan utopis.

Walau di sisi lain, arus liberalisasi dan kapitalisme terus mendominasi. Privatisasi BUMN, penghapusan subsidi, hingga kebijakan pro-investor menjadi buktinya. Hasilnya? Konsentrasi kekayaan semakin ekstrem. Data Oxfam (2017) mencatat kekayaan empat orang terkaya Indonesia setara dengan 100 juta rakyat termiskin.

Tahun 2025, grup-grup konglomerat makin agresif mencaplok aset melalui akuisisi triliunan rupiah, melansir CNBC Indonesia, (23/7/2025). Kapitalisme memungkinkan segelintir elite terus menumpuk modal, sementara buruh dan UMKM bertahan di pinggiran sistem.

Kapitalisme menjanjikan pertumbuhan ekonomi cepat lewat investasi besar, tapi distribusinya minim. Ekonomi kerakyatan mungkin tak secepat kapitalisme dalam mencetak angka-angka makro, tapi lebih kokoh menopang ekonomi riil rakyat bawah. Dari tahun 1998 hingga pandemi, UMKM tetap kuat.

Data kemiskinan memperlihatkan paradoks ini: BPS mencatat 8,47% rakyat miskin, namun Bank Dunia mengklaim 68,3% hidup di bawah standar global. Hal ini menampakkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dikejar kapitalisme tak otomatis berarti kesejahteraan merata.

Kemiskinan Struktural di Indonesia

Kemiskinan di Indonesia merupakan soal ekonomi, juga soal siapa yang menguasai sumber daya dan akses kekuasaan. Oligarki ekonomi-politik menciptakan sistem di mana segelintir elite menguasai aset vital-dari tambang, perbankan, hingga media-dan bebas mengatur kebijakan untuk kepentingannya sendiri.

Kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan milik 50 juta rakyat terbawah, melansir tempo.co (26/9/2024). Tak mengherankan bahwa Indonesia berada di antara empat negara paling timpang di dunia.

Fenomena penyalahgunaan membuat program bantuan sosial sering melenceng dari sasaran. Pejabat lokal lebih sibuk memprioritaskan jaringan politiknya ketimbang warga miskin yang sejatinya dibantu. Ketimpangan ini makin diperparah dengan kebijakan publik yang bias terhadap konglomerat: kebijakan pro-investor, subsidi dicabut, sektor kecil dianaktirikan. Akibatnya, pembangunan hanya memperkaya yang sudah kaya.

Alih-alih memberdayakan rakyat, pemerintah terjebak pada pendekatan "bagi-bagi bansos" tanpa membongkar akar struktural kemiskinan. Program seperti Raskin hanya memperpanjang ketergantungan, bukan menciptakan kemandirian ekonomi rakyat.

Tidak ada penurunan kemiskinan yang pasti, meskipun hampir 4.000 triliun rupiah dialokasikan untuk perlindungan sosial dari tahun 2014 hingga 2024.

Distribusi bantuan pun bermasalah di lapangan. Bias distribusi dan praktik street-level bureaucracy membuat bantuan sering jatuh ke tangan yang salah. Minimnya koordinasi, lemahnya transparansi, dan data yang tak akurat memperburuk situasi.

Pandemi COVID-19 menunjukkan betapa lemahnya ekonomi kita. Jutaan orang jatuh miskin, dan sistem yang ada gagal merespons dengan cepat. Ini tentu membuktikan bahwa ketergantungan pada bansos tanpa strategi ekonomi jangka panjang hanya menciptakan siklus kemiskinan baru.

Krisis Akurasi Data Kemiskinan

Perbedaan angka kemiskinan BPS (8,47%) dan Bank Dunia (68,3%) bukan sekadar beda metode, setidaknya refleksi kelemahan dalam perumusan kebijakan publik. Data versi pemerintah yang tampak "baik-baik saja" justru berisiko membuat anggaran perlindungan sosial jauh di bawah kebutuhan riil. Imbasnya, program bansos seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Sembako hanya menjangkau sebagian kecil masyarakat miskin, (I. M. Giri Suyasa, 2024).

Efeknya, pengentasan kemiskinan jadi utopis. Kesalahan dalam data merajalela, bantuan melenceng ke jaringan elite lokal, dan anggaran Rp500 triliun lebih tiap tahun pun jadi tidak efektif. Sementara itu, program UMKM dan subsidi belum maksimal lantaran lemahnya akses modal, pelatihan, serta target yang keliru akibat data kemiskinan yang ketinggalan zaman, (A. Husniyah, 2022).

Upaya revisi garis kemiskinan oleh Dewan Ekonomi Nasional (DEN) bersama BPS pada Kamis (12/6/2025) menjadi urgensi. Kendati, itu tak cukup jika Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) masih amburadul dan data antar kementerian tak terintegrasi. Tanpa reformasi data yang intens, kebijakan pengentasan kemiskinan akan terus salah arah, anggaran akan bocor, dan Indonesia akan gagal memenuhi target SDGs maupun membangun kredibilitas di mata internasional.

Heru Wahyudi. Dosen di Prodi Administrasi Negara Universitas Pamulang.




(rdp/rdp)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork