Menjadikan ESG Pilar Strategi, Bukan Sekadar Formalitas
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menjadikan ESG Pilar Strategi, Bukan Sekadar Formalitas

Kamis, 31 Jul 2025 09:33 WIB
Dwi Purwanto
Governance Analyst di Pratama Institute for Fiscal Policy & Governance Studies.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi investasi dan ekonomi
Foto: Ilustrasi bisnis (freepik/Freepik)
Jakarta -

Dalam beberapa tahun terakhir, konsep Environmental, Social, and Governance (ESG) semakin mendapat sorotan dalam dunia bisnis Indonesia. Banyak perusahaan mulai menyusun laporan keberlanjutan (sustainability report) sebagai bentuk kepatuhan terhadap regulasi.

Dorongan ini semakin kuat sejak diterbitkannya POJK No. 51/POJK.03/2017 oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mewajibkan lembaga jasa keuangan dan emiten untuk menyusun laporan berkelanjutan.

ESG seolah menjadi simbol baru dari komitmen terhadap masa depan yang berkelanjutan. Di berbagai ruang publik, ESG sering dijadikan indikator bahwa perusahaan telah menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan secara terstruktur.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, di balik geliat ini, tidak sedikit pendekatan ESG yang bersifat formalitas dan belum menyentuh esensi dari pengelolaan bisnis yang berkelanjutan.

Alih-alih menjadi strategi jangka panjang, ESG kerap diposisikan hanya sebagai pelengkap administratif. Fokus utama perusahaan sering kali terbatas pada pemenuhan indikator laporan keberlanjutan guna meraih peringkat atau skor tertentu.

ADVERTISEMENT

Dalam praktiknya, tidak jarang terjadi fenomena "greenwashing", yaitu upaya membangun citra ramah lingkungan dan sosial tanpa diiringi perubahan nyata dalam operasional perusahaan sehari-hari.

Masalah ini diperparah oleh pendekatan ESG yang seragam dan terlalu bertumpu pada kuantifikasi. ESG direduksi menjadi angka-angka yang mudah dibandingkan, padahal banyak aspek keberlanjutan yang tidak dapat diukur secara linier.

Perusahaan dengan skor ESG tinggi belum tentu benar-benar menerapkan prinsip keberlanjutan secara substansial, sementara perusahaan dengan skor rendah bisa saja sedang menjalani proses transformasi yang lebih mendalam.

Sebagai contoh, terdapat perusahaan di sektor pertambangan yang memiliki peringkat ESG cukup tinggi berdasarkan laporan resmi, namun tetap mendapat protes keras dari komunitas lokal karena dianggap mencemari lingkungan dan mengabaikan hak masyarakat adat.

Situasi ini menegaskan pentingnya pendekatan ESG yang kontekstual, dengan mempertimbangkan karakter industri, tingkat kematangan organisasi, serta tantangan spesifik yang dihadapi masing-masing perusahaan.

Permasalahan lain juga muncul dari cara ESG diintegrasikan ke dalam proses bisnis. Banyak perusahaan belum menjadikan ESG sebagai bagian dari pengambilan keputusan strategis.

Padahal, seperti halnya reputasi, loyalitas pelanggan, atau inovasi, ESG adalah aset tak berwujud yang mampu meningkatkan daya saing jangka panjang.

Survei Deloitte (2025) menunjukkan bahwa hanya 23% Chief Financial Officer (CFO) Asia Tenggara yang benar-benar mengintegrasikan ESG ke dalam strategi utama mereka. Angka ini menunjukkan bahwa mayoritas perusahaan masih memandang ESG sebagai kewajiban eksternal, bukan sebagai kerangka berpikir strategis.

ESG semestinya menjadi lensa strategis untuk membaca risiko dan peluang bisnis, bukan sekadar dokumen pelengkap dalam laporan keberlanjutan. Ketika ESG terintegrasi dalam proses pengambilan keputusan, perusahaan dapat lebih sigap dalam merespons dinamika lingkungan, tekanan sosial, serta ekspektasi pemangku kepentingan. Tanpa integrasi ini, ESG hanya akan menjadi slogan kosong yang kehilangan kekuatan transformatifnya.

Lebih jauh, ketika ESG hanya dipahami sebagai kewajiban pelaporan, potensi inovatifnya menjadi terhambat. Laporan keberlanjutan berubah menjadi dokumen yang kaku, penuh grafik dan angka, namun miskin narasi dan refleksi strategis.

Seharusnya, laporan tersebut menjadi sarana komunikasi yang menggambarkan secara jujur bagaimana perusahaan menghadapi tantangan sosial, ekonomi, dan tata kelola melalui langkah-langkah konkret dan terukur.

Untuk mengubah kondisi ini, diperlukan pergeseran paradigma dalam memaknai ESG. ESG bukanlah aspek tambahan, melainkan bagian dari fondasi strategis perusahaan.

Prinsip keberlanjutan harus hadir dalam setiap tahap operasional, mulai dari perencanaan, manajemen risiko, hingga implementasi strategi bisnis.

Transformasi ini mencakup rekrutmen talenta dengan kesadaran keberlanjutan, pembangunan rantai pasok yang bertanggung jawab, serta inovasi yang berdampak nyata bagi masyarakat dan lingkungan.

Ketika ESG benar-benar diinternalisasi, maka bukan sekadar tanggung jawab moral, tetapi menjadi elemen kunci yang menopang arus kas, memperkuat reputasi, dan meningkatkan nilai perusahaan secara berkelanjutan.

Dalam konteks global yang semakin transparan dan kompetitif, integrasi ESG yang substansial menjadi pembeda antara perusahaan yang mampu bertahan dan yang terpinggirkan. Di Indonesia, ESG juga dapat berperan sebagai pilar penting dalam memperkuat ketahanan ekonomi nasional.

Ketika perusahaan menginternalisasi ESG ke dalam model bisnisnya, maka tidak hanya memperkuat posisi masing-masing, tetapi juga turut serta membangun ekonomi yang adil, tangguh, dan berkelanjutan.

Seiring meningkatnya perhatian regulator terhadap laporan keberlanjutan serta tingginya kesadaran publik terhadap isu sosial dan lingkungan, ESG akan menjadi agenda strategis yang tidak terelakkan.

Perusahaan yang mampu menerapkannya secara menyeluruh akan memperoleh kepercayaan lebih besar, akses lebih luas terhadap pembiayaan hijau, serta posisi yang lebih kuat dalam ekosistem bisnis masa depan.

Namun demikian, perubahan ini tidak bisa hanya bertumpu pada inisiatif internal perusahaan. Regulator juga perlu mengevaluasi cara menilai kinerja ESG. Selama penilaian masih menekankan skor dan indikator statis tanpa memperhitungkan proses transformasi serta dampak nyata di lapangan, maka yang tercipta hanyalah ekosistem pencitraan, bukan perbaikan.

Diperlukan indikator yang lebih naratif, berbasis proses, dan mampu menangkap dinamika perubahan jangka panjang.

Di sisi lain, investor memiliki peran strategis dalam mendorong perubahan. Selama ekspektasi pasar hanya terpaku pada laporan yang tampak baik tanpa menuntut integritas data dan strategi keberlanjutan yang konkret, maka perusahaan akan terus memilih jalan pintas.

Konsep investasi berkelanjutan perlu diimbangi dengan pendekatan engagement investing yang aktif, yakni mendesak transformasi nyata, bukan sekadar membeli saham dari perusahaan dengan skor ESG tinggi.

Untuk memperkuat kepercayaan publik dan akuntabilitas, mekanisme assurance atau penjaminan atas laporan keberlanjutan perlu diwajibkan secara bertahap. Kehadiran pihak independen yang menguji keandalan data ESG akan mendorong perusahaan lebih serius dalam mengelola dampak sosial dan lingkungan, sekaligus mencegah praktik greenwashing yang kian marak.

Sudah saatnya pelaku usaha dan pembuat kebijakan mendorong ESG bukan sebagai formalitas belaka, melainkan sebagai pilar utama untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan. Jika ESG terus dipahami sebatas angka dan formalitas, maka peluang menciptakan ekonomi nasional yang adil, adaptif, dan berkelanjutan akan terus terabaikan.

(rdp/rdp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads