Konflik Perbatasan: Antara Garis Sengketa dan Wajah Kemanusiaan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Konflik Perbatasan: Antara Garis Sengketa dan Wajah Kemanusiaan

Rabu, 30 Jul 2025 15:53 WIB
Nanang Suryana
Dosen Ilmu Politik FISIP Unpad
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Kamboja dan Thailand berunding di Malaysia  Apa yang diketahui sejauh ini tentang konflik kedua negara?
Foto: Ilustrasi suasana konflik Thailand-Kamboja (BBC World)
Jakarta -

Konflik di wilayah perbatasan Segitiga Zamrud (Thailand-Kamboja-Laos) menghentak publik kawasan. Sejak 24 Juli 2025, militer Kamboja dan Thailand saling serang tepat di batas garis demarkasi. Sejumlah korban terkonfirmasi telah kehilangan nyawa. Sisanya, ribuan warga lain berbondong-bondong menuju pengungsian.

Mereka mencari tempat berlindung, dari deru artileri yang berterbangan saling balas di udara. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Sejumlah media mewartakan, eskalasi ketegangan meningkat di Provinsi Sisaket, Surin, Ubon dan Buriram di Thailand. Empat provinsi yang berbatasan langsung dengan Provinsi Oddar Meanchey di Kamboja.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Peristiwa saling serang tersebut dipicu oleh sengketa wilayah, tempat sejumlah candi bergaya Angkor berada. Dilacak dari sejarahnya, konflik kedua negara sudah berlangsung lama. Isu kedaulatan yang mengiringi dinamika hubungan kedua negara, mengubah perebutan teritorial situs kebudayaan, menjadi medan tragedi kemanusiaan.

Pada 1962, langkah mediasi sudah pernah ditempuh. Penyelesaian di Mahkamah Internasional sudah memutuskan Preah Vihear, sebagai lokus sengketa, menjadi bagian dari kedaulatan Kamboja.

ADVERTISEMENT

Begitu pun pada 2013. Mahkamah Internasional (ICJ) sudah mengeluarkan putusan yang menguatkan keputusan sebelumnya. Namun, otoritas Thailand menolak putusan tersebut. Mereka menganggap, wilayah yang disengketakan masih menjadi bagian dari kepemilikan. Saling klaim terus berlanjut. Hingga, eskalasi konflik terus meningkat dan tak henti memakan korban.

Politik Perbatasan

Konflik Kamboja dan Thailand, adalah cermin dari dinamika politik perbatasan yang multidimensional. Selain berdimensi yuridis, dimana interpretasi atas peta kolonial dan dokumen perjanjian, yang menjadi basis bagi legitimasi klaim Phnom Penh atas Preah Vihear, politik perbatasan juga berdimensi sosial-budaya.

Narasi historis yang dijadikan dasar atas pengakuan Preah Vihear sebagai bagian dari teritori Thailand, adalah bahan bakar dalam penciptaan identitas kolektif kedaulatan negara. Pada level sebatas pertarungan klaim, sebenarnya biasa saja. Namun, kompetisi keduanya menjadi lebih rumit, ketika kekuatan bersenjata ikut dikerahkan. Perebutan klaim akhirnya mengeras menjadi konflik berdimensi kekerasan yang berkepanjangan. Di tengah situasi demikian, apa yang bisa kita pelajari untuk hari esok?

Dalam pandangan realis, semua negara harus bersiap menghadapi konflik. Lebih-lebih menyangkut wilayah perbatasan. Yang terpenting adalah memitigasinya. Oleh karenanya, menimbang kembali dimensi keamanan manusia (human security) dalam konflik perbatasan, menjadi sesuatu yang harus disuarakan secara kolektif, lebih khusus di kawasan.

Seperti diketahui, sejumlah wilayah perbatasan di Asia Tenggara, masih menyimpan bibit sengketa yang siap meledak kapan saja. Oleh karenanya, upaya dalam membangun sebuah sistem keamanan manusia, baik itu melalui proteksi sipil, kebijakan zona aman dari ranjau, dan mekanisme evakuasi massal, adalah kebijakan penting yang harus menjadi perhatian ASEAN.

Pada aspek lain, dukungan bagi resiliensi komunitas lokal dalam menyusun berbagai strategi agar dapat bertahan di tengah krisis atas konflik yang berkepanjangan, adalah sesuatu yang tidak kalah penting. Jaringan sosial dan komunitas lokal yang tepat berada di wilayah yang menjadi zona sengketa, harus mendapat pelatihan manajemen resiko bencana akibat konflik. Itu semua harus menjadi kesepakatan dan kebijakan dari setiap negara anggota.

Langkah ke Depan

Bertolak dari dampak yang diakibatkan oleh konflik di wilayah perbatasan, penting bagi ASEAN untuk mempertimbangkan terbitnya sebuah protokol standar kawasan demiliterisasi untuk menjaga keamanan warga sipil yang terjebak di tengah konflik.

Sejalan dengan itu, ASEAN juga dapat mendorong tumbuhnya diplomasi berbasis komunitas lokal di perbatasan, melalui fasilitasi forum sosial dan kebudayaan, yang terbukti ampuh menjadi titik temu diantara komunitas lintas negara.

Harapannya, dengan kesadaran bahwa konflik di wilayah perbatasan adalah sesuatu yang niscaya dalam dinamika hubungan antar negara, menjadikan keamanan manusia sebagai dasar kebijakan kawasan, bukan hanya sebuah pilihan moral, namun sebuah keharusan strategis bagi stabilitas jangka panjang di kawasan.

Nanang Suryana. Dosen Ilmu Politik FISIP Unpad.

(rdp/rdp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads