Babak baru Partai Solidaritas Indonesia telah dimulai. Genderang perjuangan menuju Senayan telah dibunyikan. Presiden ke-7 Indonesia yaitu Pak Joko Widodo telah secara terbuka memberikan dukungan secara penuh kepada partai yang dibesut kembali oleh anaknya yaitu Kaesang Pangarep.
"Oleh sebab itu, saya akan full mendukung PSI, Oleh sebab itu saya akan bekerja keras untuk PSI" begitu kira-kira kata Pak Jokowi pada pidatonya di Kongres Pertama PSI.
Diketahui bahwa pada kongres yang digelar di Solo tanggal 19 - 20 Juli 2025 telah ditetapkan logo baru PSI yang berbentuk Gajah berkepala merah. Jika merangkum isi pidato yang disampaikan oleh Mas Kaesang, logo tersebut menjadi simbol harapan bahwa PSI akan menjadi partai yang kuat, berwibawa, tidak mudah terombang-ambing, berjalan pelan namun pasti, bergerak bersama, dan setia pada kawanan (internal PSI).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Logo Baru, Kerja Baru
Merubah logo artinya ada pekerjaan rumah untuk memperkenalkan logo tersebut kepada publik. Jangan sampai logo berubah, namun publik tidak menyadari bahwa itu adalah logo PSI. Memperkenalkan logo tersebut kepada publik tentu bukan persoalan yang mudah. Mengapa tidak mudah?
Pertama, meski hadirnya sosial media menjadikan pekerjaan sedikit lebih mudah, namun tentu itu tidak akan berhasil menyentuh seluruh lapisan masyarakat pemilih. Data dari Good stats menunjukkan bahwa pengguna sosial media di Indonesia pada tahun 2024 hanya 49,9 dari total penduduk Indonesia.
Dari data survei PRC yang dilakukan pada tanggal 9-18 Juli 2025 menunjukkan bahwa hanya ada sekitar 28% publik yang mengetahui bahwa PSI akan mengadakan kongres pertama di Solo tahun 2025. Sedangkan isu terkait dengan Kongres PSI ini sudah bergulir ketika Wakil Ketua Umum PSI Andi Budiman mengatakan pada awal Maret bahwa PSI akan melakukan kongres di akhir bulan Mei.
Artinya 3,5 bulan isu tentang kongres PSI telah bergulir di media. Namun, hasilnya hanya ΒΌ penduduk Indonesia yang mengetahui bahwa PSI akan melaksanakan kongres. Dengan data tersebut saya ingin menyampaikan bahwa memperkenalkan sesuatu itu tidak mudah, apalagi yang berkaitan dengan partai politik dan terkhusus tentang PSI. Bila dikerjakan dengan kelipatan waktu pun, bukan berarti awareness-nya akan menjadi kelipatannya pula.
Kedua, mengetahui tidak berarti secara otomatis akan menyukai. Awareness dan likability adalah dua hal yang berbeda. Artinya ini akan menjadi tantangan bagi PSI untuk mensosialisasikan logo barunya agar dapat diterima oleh masyarakat. Mensosialisasikan logo tidak sesederhana mengibarkan bendera di pinggir jalan atau membordirnya pada jaket yang dikenakan.
Namun, yang terpenting adalah menyampaikan apa makna di dalamnya. Jangan sampai makna mendalam yang sudah saya jelaskan di bagian awal malah disalah artikan sebagai bentuk inkonsistensi PSI. Mengingat perubahan logonya sangat kontras. Dari mawar merah menjadi gajah berkepala merah.
Intinya awareness harus tercipta dan sepenuhnya terkonversi menjadi likability, sebelum jauh berbicara tentang angka keterpilihan (elektabilitas).
Menghidupkan Mesin: Menyiapkan Logistik dan Jaringan
Keterlibatan Pak Jokowi di dalam tubuh PSI tidak boleh dianggap sebagai faktor tunggal. PSI harus tetap mengutamakan kerja mesin partai dalam ikhtiar menuju ke Senayan. Mengapa tidak boleh hanya mengandalkan Pak Jokowi dan harus menyiapkan mesin partai sebaik mungkin?
Pertama, data survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan bahwa kedisukaan terhadap Jokowi setelah tidak lagi menjabat sebagai presiden sebesar 72%. Angkanya menurun jika dibandingkan pada saat menjabat sebagai presiden.
Bahkan pada survei yang sama angka kedisukaan terhadap Susilo Bambang Yudhoyono jauh lebih tinggi yaitu di angka 90% lebih. Tidak semua orang suka Pak Jokowi dan yang suka kepada Pak Jokowi cenderung menurun.
Kedua, politik Indonesia hari ini memang sudah terpersonalisasi menjadi figur-figur tertentu. Namun kenyataannya figur-figur tersebut bukanlah sosok yang duduk sebagai begawan parpol.
Namun figur-figur tersebut adalah caleg-caleg yang ada di masing-masing dapil. Bicara soal jalan ke Senayan berarti bicara soal pileg. Pileg tidak seperti pilpres dan pilkada yang bermodal permainan isu. Pileg tidak bicara soal itu, namun bicara soal bangunan tim yang kokoh di masing-masing dapil.
Tidak ada lahan kosong dalam kompetisi pileg. Semua partai dan caleg tentu sudah meng-kavling wilayahnya masing-masing. Telah merekrut tokoh-tokoh kunci di masing-masing daerah dan mengelola setiap jaringan yang ada.
Pada pemilu DPR RI 2024 tercatat ada 9.917 caleg yang berkontestasi memperebutkan 204,8 juta suara dan 580 kursi DPR RI di 84 daerah pemilihan (Dapil). Dalam literatur kesarjanaan yang ada-di antaranya riset Edward Aspinal, Burhanudin Muhtadi, dkk - dalam kompetisi pileg yang dibutuhkan bukan lagi mengglorifikasi isu dan tokoh tertentu, namun kuncinya adalah logistik dan jaringan.
Untuk itu, wajib hukumnya bagi PSI untuk menghidupkan kembali mesin yang sudah lama dimatikan. Menghidupkan mesin artinya harus punya bahan bakar. Bahan bakar utama dalam menghidupkan mesin politik adalah logistik. Sudah siapkah PSI untuk memenuhi logistik yang akan digunakan untuk menghidupkan mesin partai?
Berapa nominal yang harus disiapkan? Jika mengacu pada laporan keuangan Partai Gerindra pada tahun 2018-2023, nominal yang dibutuhkan cukup besar. Mengapa partai Gerindra yang dijadikan acuan, ya sederhana saja, sepengetahuan saya hanya partai Gerindra yang secara terbuka menyampaikan laporan keuangan di website resmi mereka. Bukan hanya hasil audit dana Banpol, namun keseluruhan dari arus keuangan partai yang ada di DPP. Saya tidak menemukan referensi lain.
Berdasarkan laman resmi partainya, beban operasional Partai Gerindra ialah sebagai berikut:
2018: Rp 24.469.976.515
2019: Rp 29.280.141.036
2020: Rp 199.356.010.000
2021: Rp 107.873.676.597
2022: Rp 100.884.506.140
2023: Rp 128.093.639.537
Data tersebut menunjukkan pengeluaran yang dilakukan oleh Partai Gerindra hanya pada item "Beban Operasional", belum beban-beban yang lain. Angkanya cukup besar, dan mengalami peningkatan secara drastis sejak tahun 2020. Apakah itu juga terjadi di partai lain? Saya belum menemukan datanya. Tapi saya meyakini partai-partai lain juga mengeluarkan biaya dengan rentang nilai yang sama yaitu 100 miliar.
Apakah PSI sudah siap dengan nominal itu? Saya kira itu sangat kecil bagi PSI hari ini. Dengan asumsi jumlah anggota PSI adalah 187.306 orang seperti jumlah yang mengikuti e-vote di kongres PSI, maka mereka hanya perlu iuran +- 540 ribu per tahun untuk memenuhi kebutuhan operasional. Kalau mengutip pernyataan Pak Jokowi "Saham PSI dimiliki oleh seluruh kader", maka beban operasional partai harusnya dipikul oleh semua kader. Iya nggak?
Temukan dan Rawat Basis Pemilih
Meski agak susah untuk mengidentifikasi basis pemilih PSI, setidaknya itulah yang harus segera dilakukan oleh partai berlogo gajah berkepala merah itu. Menurut saya, selain PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, dan PKS cukup sulit untuk mengidentifikasi basis partai. Mengapa demikian? Karena party-id selain dari lima partai tersebut sangatlah kecil. Meski party-id kelima partai tersebut tidak terlalu besar, namun tidak terlampau kecil dari partai-partai yang lain.
Hari ini PSI harus mulai mencari basis partainya. Dulu di awal lahirnya, PSI telah mengidentifikasi dirinya sebagai partai anak muda. Namun hari ini image itu sudah berubah menjadi "Partai Keluarga Jokowi". Jika haluan telah berubah, maka keputusan-keputusan berikutnya harus sesuai dengan kondisi arah mata angin yang dituju.
Hari ini Pak Jokowi diyakini masih punya loyalis. Meski tingkat kedisukaannya sedang menurun, bukan tidak mungkin suatu saat akan reborn. Maka dari itu, PSI harus segera mengidentifikasi loyalis Pak Jokowi yang hari ini masih tercecer. Meski pentolan utama masih dipegang, bukan berarti loyalis di akar rumput akan tetap merapatkan barisan. Kembali lagi soal logistik. Jika logistik tidak sampai ke akar rumput, dengan realitas politik yang semakin pragmatis ini tidak mungkin loyalitas dapat terbangun. Sehingga menjadi wajib hukumnya bagi PSI untuk mengidentifikasi loyalis Pak Jokowi. Agar pendistribusian logistik tepat sasaran dan berbuah jaringan dan suara bagi PSI.
Transportasi Menuju Bilik Suara
Kita dapat membaca secara gamblang bagaimana praktik money politic beroperasi di dalam sistem politik negara ini. Sudah melimpah literatur kesarjanaan yang membahas secara rigid tentang bagaimana praktik ini berjalan dengan senyap dan membabi buta. Saya secara pribadi tidak sepakat dengan money politic, dan konstitusi juga menyatakan bahwa praktik itu dilarang. Bahkan NU dan MUI memfatwa bahwa money politic itu haram. Sudah amat lengkap bukan, secara hukum positif dilarang, secara aturan agama juga diharamkan. Namun, dalam realitas politik kita, money politic masih menjadi senjata utama untuk memenangkan pertandingan.
Fenomena terbaru terjadi beberapa bulan yang lalu. Ketika dua kandidat Bupati-Wakil Bupati Barito Utara didiskualifikasi karena temuan praktik money politic. Nominalnya tidak main-main, bisa sampai puluhan juta rupiah untuk satu keluarga.
Saya pikir PSI sudah menghitung kemungkinan yang terjadi atas realitas politik tersebut. Apakah money politic akan semakin meningkat atau menurun tentu menjadi pertanyaan besarnya. Jika meninjau beberapa literatur, saya meyakini bahwa praktik money politic akan tetap ada dan kemungkinan akan meningkat pada pemilu 2029. Apa alasannya?
Pertama, faktor ekonomi dan patron-klien. Literatur tentang money politic menempatkan faktor ekonomi dan patron-klien sebagai akar masalah merebaknya praktik politik uang. Praktik politik uang sering kali menyasar pemilih dengan tingkat ekonomi yang rendah dan relasi patron-klien yang telah mengakar sejak lama. Hasil riset Ari Pradhawati dkk pada tahun 2019 yang dilakukan di Semarang menunjukkan bahwa kemiskinan mempengaruhi orang untuk menerima politik uang. Orang dengan pendapatan yang rendah cenderung menerima politik uang. Hasil riset Prof. Burhanudin Muhtadi tahun 2013 juga menemukan bahwa orang dengan pendapat yang rendah cenderung permisif terhadap politik uang
Hai ini kondisi ekonomi nasional terlihat sedang tidak baik. Target pertumbuhan ekonomi 8% juga masih jauh dari kata tercapai. Pada triwulan pertama tahun 2025 pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 4,87%. Menurun dari tahun 2024 yang secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,03%. Kondisi ekonomi masyarakat yang tidak kunjung baik adalah tempat yang sangat cocok bagi perkembangbiakan praktik money politic.
Pada titik yang sangat ekstrim kualitas kandidat tidak lagi menjadi pertimbangan orang untuk menentukan pilihan. Hasil penelitian Rizka Halida dkk pada tahun 2022 menunjukkan bahwa kualitas kandidat tidak memoderasi secara signifikan terhadap pilihan suara. Dalam riset tersebut juga menemukan bahwa yang dapat memoderasi pilihan suara adalah keputusan menerima uang. Artinya jika seorang pemilih menerima uang maka ia akan memilih calon yang memberi uang meskipun kualitas lawan dari yang memberi uang jauh lebih bagus.
Kedua, party-id yang tidak kunjung membaik. Data survei Politika Research & Consulting menunjukkan bahwa party-id di Indonesia ada pada rentang 13 - 14 persen. Angka yang cukup kecil jika dibandingkan ketika sistem pemilu legislatif menggunakan proporsional tertutup. Data Lembaga Survei Indonesia menunjukkan bahwa party-id pasca reformasi pernah ada pada titik paling tinggi pada tahun 2004 tepatnya pada bulan Juli yaitu 58%. Setelahnya selalu mengalami penurunan, khususnya ketika sistem pemilihan legislatif menggunakan sistem proporsional terbuka.
Party-id sebenarnya dapat menjadi antitesis money politic untuk mendulang suara di pileg. Hasil riset Prof. Burhanudin Muhtadi pada tahun 2013 menunjukkan bahwa party-id berpengaruh negatif signifikan terhadap toleransi dan sikap terhadap politik uang. Artinya orang dengan party-id yang tinggi akan mengatakan bahwa politik uang itu tidak wajar dan cenderung menolak praktik politik uang. Dan sebaliknya orang dengan party-id yang rendah akan cenderung menganggap bahwa praktik politik uang itu wajar dan cenderung menerima politik uang.
Dari data tersebut saya hanya ingin mengatakan bahwa pilihan PSI saat ini ada dua, menyiapkan logistik untuk melakukan "siraman" kepada pemilih atau memperkuat party-id. Keduanya sama-sama membutuhkan pasokan logistik yang besar. Namun bedanya yang satu bertentangan dengan konstitusi namun memiliki efek yang cukup cepat. Sedangkan yang satunya lagi membutuhkan proses yang cukup lama. Karena membangun engagement dengan pemilih dan membangun basis butuh proses yang panjang. Jika PSI berhasil membangun engagement dengan pemilih (meningkatkan party-id), maka politik uang tidak lagi dibutuhkan oleh PSI untuk mendulang suara di pemilu.
Hasyim Nawawi A. Data Analyst Politika Research & Consulting.