Mahkamah Konstitusi mengakhiri bayang kelam anak perempuan Indonesia. Terpatri melalui putusan nomor 22/PUU-XV/2017 yang dibacakan pada tanggal 5 April 2018 silam. Putusan ini membuka kran belenggu selama 44 tahun anak perempuan yang dipaksa menikah di usia anak (16 tahun) karena legitimasi Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 7 ayat (1) dianggap diskriminasi terhadap hak-hak elementer perempuan, karena membedakan batasan usia perkawinan yang diperbolehkan, yakni perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Harapan pun ditumpu pada pundak putusan ini untuk mereduksi disparitas hak perempuan dan laki-laki yang terlanjur cukup dalam.
Merespons putusan ini, Pemerintah dan DPR menyepakati untuk melakukan perubahan atau revisi atas UU Nomor 1 Tahun 1974, yang kemudian melahirkan UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun klausal yang dirubah adalah rumusan norma Pasal 7 ayat (1) yang menyangkut batasan diperbolehkannya laki-laki dan perempuan untuk melaksanakan perkawinan menjadi setara di usia 19 tahun. Hanya saja, konteks das sein UU ini tak seindah membalikkan lembaran halaman novel cinta. Kurva angka perkawinan di bawah umur atau usia anak, keukeh untuk melandai dengan cepat.
UU Nomor 1 Tahun 1974 dan perubahannya UU Nomor 16 Tahun 2019, ternyata tak holistik membaca arus fenomena sosial dan hukum di masyarakat. Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), resonansinya tak sejalan. Normanya saling bertentangan dan tidak konsisten (inconsistency norm). Satu sisi mengatur kewajiban umur perkawinan usia harus 19 tahun, namun sisi lain normanya merawat kelonggaran dispensasi yang melahirkan perkawinan di bawah umur dengan predikat siri (tidak tercatat/ dibawah tangan).
Paradoks ini harus disikapi secara serius. Jika tidak, maka cita target kelima sustainable development goals (SDGs) tahun 2030 terkait pengurangan perkawinan anak, berakhir dalam peraduan utopis.
Inkonsistensi Norma
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 22/PUU-XV/2017 lahir lewat rahim judicial review atas Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974. Diajukan oleh Pemohon Endang Warsinah, Maryanti dan Rasminah. Ketiganya membawa isu yang sama, yakni terpaksa menikah diusia anak atau bawah umur karena masalah ekonomi dan kemiskinan. Usia mereka saat dinikahkan masih sangat belia, 13 dan 14 tahun.
Sehingga ketika putusan dibacakan di gedung the guardian of constitution, Mahkamah Konstitusi, dimensi ruang untuk menata masa depan anak Indonesia terbuka lebar. Namun sayangnya pembuat UU malah melakukan perubahan UU Nomor 1 Tahun 1974 menjadi UU Nomor 16 Tahun 2009 secara parsial, tidak komprehensif.
Klausal frase dalam norma Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) tidak konsisten (inconsistency norm), karena saling bertolak belakang. Dalam ayat (1) ditegaskan bahwa perkawinan "hanya diizinkan" apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Frase hanya diizinkan ini sifatnya mutlak, keharusan atau absolut.
Sementara dalam ayat (2) disebutkan, dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita "dapat meminta" dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.
Frase dapat meminta ini, maknanya bersifat opsional atau pilihan, bukan keharusan, atau boleh jika tidak dilakukan. Seharusnya ketentuan dalam ayat (1) yang besifat mutlak, juga berlaku secara mutatis mutandis dalam ayat (2). Apabila pria dan wanita ingin melangsungkan perkawinan namun belum mencapai umur 19 tahun, maka orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita "wajib meminta" dispensasi kepada Pengadilan, bukan "dapat meminta".
Urgensi sifat wajib meminta dispensasi ke Pengadilan adalah sebagai bentuk filter negara untuk melindungi hak anak dan mengetahui kedalaman alasan mendesak atas permohonan dispensasi yang diajukan. Jika tidak, maka norma Pasal 7 ayat (2) ini menjadi celah lenturnya dispensasi perkawinan siri anak atau perkawinan di bawah tangan/tidak tercatat, karena sifatnya yang tidak wajib untuk meminta dispensasi ke Pengadilan.
Pasal 7 ayat (2) yang bersifat opsional dengan embel penekanan dapat meminta ini tak hanya sumir, namun juga ternyata bertentangan dengan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang mengandung obligatori bahwa setiap perkawinan "dicatat" menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu Pasal 7 ayat (2) tak harmoni dengan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 3 ayat (1), Pasal 6 ayat (1 dan 2), yang mensyaratkan setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan untuk memberitahukan kepada Pegawai Pencatat dan kewajiban penelitian berkas syarat, termasuk dispensasi Pengadilan atau Pejabat.
Begitu juga dengan Pasal 12 mengenai kelengkapan Akta Perkawinan yang harus memuat dispensasi dari Pengadilan. Sehingga norma-norma pasal ini secara mutlak mensyaratkan adanya dispensasi dari Pengadilan, yang justru menurut Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2009 sifatnya tidak wajib.
Penurunan yang Bertumbuh
Angka perkawinan usia anak atau perkawinan dini di Indonesia, kurvanya mengalami penurunan sangat lamban. Merujuk data BPS, tren perkawinan anak perempuan di Indonesia, baik yang melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun maupun 15 tahun, menunjukkan penurunan pada periode tahun 2008 sampai 2018, namun penurunannya masih dikategorikan lambat.
Pada tahun 2008, prevalensi perkawinan usia anak adalah sebesar 14,67 persen, hanya saja pada satu dekade kemudian (tahun 2018) hanya menurun sebesar 3,5 poin persen menjadi 11,21 persen. Masih sekitar 1 dari 9 perempuan berusia 20-24 tahun melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun (BPS, Pencegahan Perkawinan Anak, Percepatan yang Tidak Bisa ditunda, 2020). Bahkan pada tahun 2017, Indonesia menempati urutan ketujuh dari sepuluh negara dengan perkawinan usia anak tertinggi di dunia.
Hal ini linear dengan tingginya data permohonan dispensasi perkawinan yang tercatat dan diajukan ke Pengadilan, selama 5 tahun berturut-turut. Tahun 2019 jumlah permohonan dispensasi sebanyak 25.253, kemudian melonjak hampir 3 kali lipat menjadi 65.190 permohonan, tahun 2021 sebanyak 63.335, tahun 2022 sebanyak 52.380 dan tahun 2023 sebanyak 43.082 permohonan.
Barulah tahun 2024 angkanya melandai menjadi 22.606 permohonan (Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2025). Penurunan angka yang tercatat ini, ternyata tak sejalan dengan angka pernikahan usia anak tidak tercatat yang justru tetap bertumbuh.
Merujuk data Australia Indonesia Partnership for Justice, terdapat 400.000 kasus anak dan remaja menikah setiap tahunnya di Indonesia dan hanya 65.000 kasus dispensasi kawin yang diajukan ke Pengadilan. Hal ini menandakan bahwa masih terdapat lebih dari 330.000 perkawinan anak dan remaja setiap tahunnya yang tidak dapat dicatatkan oleh Kantor Urusan Agama atau Pencatatan Sipil karena tidak melalui pengadilan.
Kasus ini disebabkan karena banyaknya perkawinan di bawah tangan (siri) pada usia anak dan remaja. Angka ini berpotensi terus naik karena secara legitimasi keberadaan pasal 7 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2009 memberi ruang celah sangat lebar bagi perkawinan usia anak secara siri, karena norma pengajuan dispensasi ke Pengadilan tidak bersifat wajib.
Kensicayaan Revisi UU Perkawinan
Medan tantangan untuk menurunkan angka pernikahan usia anak Indonesia masih terjal. Kondisi masyarakat yang yang masih banyak berada dalam zona kemiskinan, berpotensi membuat paripurna permasalahan masa depan anak. Kemiskinan anak secara moneter menunjukkan tingkat kemiskinan anak lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kemiskinan penduduk secara keseluruhan. Pada tahun 2022, tingkat kemiskinan di Indonesia sebesar 9,54 persen atau terdapat 26,16 juta penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Sementara itu, pada periode yang sama, persentase anak-anak yang hidup dalam kemiskinan mencapai 11,80 persen. Artinya masih ada lebih dari 11 persen anak-anak di Indonesia yang tinggal di rumah tangga yang tidak mampu membiayai atau memenuhi kebutuhan hidup mereka untuk hidup layak, tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi tertinggi mereka (BPS, 2023).
Momentum Hari Anak Nasional 2025 harus menjadi titik balik bagi upaya pencegahan perkawinan usia anak. Saatnya membangun gerakan bersama untuk mengawal regulasi hukum perkawinan yang futuristik; mendukung revisi Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 6 Tahun 2009 yang menjadi celah bagi perkawinan siri anak di Indonesia, serta mendesain norma pencegahan berbasis anggaran hingga penguatan berbasis sanksi.
Suhanderi. Penyuluh Hukum Muda Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu.
(rdp/rdp)