Kolom

Pemakzulan dan Elegi Demokrasi

Endang Tirtana - detikNews
Minggu, 27 Jul 2025 13:50 WIB
Foto: Endang Tirtana (dok.istimewa)
Jakarta -

Demokrasi Indonesia tengah memasuki babak baru. Proses politik panjang telah dilalui. Energi bangsa banyak dipertaruhkan untuk mewujudkan proses suksesi kepemimpinan nasional yang telah menghasilkan Presiden dan wakil Presiden baru, Prabowo Subianto dan Gibran Raka Buming Raka. Bergerak dengan cepat, dalam 100 hari pertamanya, Kabinet Merah Putih menunjukkan taringnya dengan kebijakan yang langsung berdampak bagi rakyat. Beberapa kebijakan seperti penghapusan utang macet UMKM sektor pangan dan perikanan, peningkatan anggaran kesejahteraan guru, penyelenggaraan pilkada serentak yang damai di 545 daerah, pengendalian inflasi, penghentian impor beras, program makan bergizi gratis, penanganan cepat bencana, efisiensi anggaran, dan berbagai program strategis lainnya, telah memberikan arah yang berorientasi pada transformasi menuju Indonesia Emas 2045.

Berbagai kebijakan strategis tersebut berbuah manis. Berbagai hasil survei nasional menunjukkan adanya kepuasan tinggi terhadap kinerja Prabowo-Gibran. Misalnya, hasil survei Indikator, menyatakan sebanyak 79,3 persen masyarakat puas dengan kinerja pemerintah. Bahkan untuk program makan bergizi gratis, mayoritas warga mendukung program ini dengan nilai sebesar 87.1%. Hasil survei opini publik oleh Litbang Kompas juga menunjukkan kecenderungan serupa. Sebanyak 80,9 persen responden menyatakan rasa puas terhadap kinerja pemerintah.

Wacana Pemakzulan

Kendati arah kebijakan telah on the track, situasi politik sedang menghangat seiring munculnya wacana pemakzulan Wakil Presiden, yang belakangan digaungkan oleh sejumlah pihak. Hal ini patut disikapi dengan hati-hati. Di tengah semakin kompleksnya tantangan lingkungan strategis global dan nasional, alangkah eloknya jika energi bangsa dapat difokuskan pada konsolidasi pembangunan dan pelaksanaan program-program strategis pemerintah.

Percikan yang disuarakan untuk menggugat Gibran sebagai Wakil Presiden terpilih berpotensi mengganggu agenda strategis pembangunan nasional. Alih-alih membawa bangsa Indonesia melaju lebih cepat dalam lima tahun ke depan, wacana pemakzulan ini masih sangat prematur dan justru berpotensi mengganggu stabilitas politik yang dapat menghambat akselerasi agenda pembangunan nasional.

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, pemakzulan bukanlah proses politik biasa yang bisa digerakkan atas dasar ketidakpuasan subjektif atau tekanan opini publik semata. Dr. Yance Arizona, pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, secara gamblang menyatakan bahwa permintaan pemberhentian Wakil Presiden Gibran belum memiliki dasar hukum yang memadai. Dalam negara hukum, setiap tindakan politik harus ditopang oleh landasan konstitusional, bukan oleh sentimen atau prasangka politik.

Sementara itu, dalam Pasal 7A UUD 1945 secara eksplisit dijelaskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berat, antara lain: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, kejahatan berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai pemimpin negara. Ini pun harus melalui proses hukum yang ketat, pembuktian di Mahkamah Konstitusi, dan keputusan politik berlapis di DPR dan MPR yang dapat menghabiskan energi bangsa.

Meskipun dimungkinkan secara konstitusional, pemakzulan bukanlah ruang untuk mengobral ketidakpuasan politik. Dalam kerangka demokrasi deliberatif, konstitusi telah menyediakan mekanisme resmi yang dapat ditempuh untuk memberhentikan presiden dan wakil presiden (Alim, 2025). Namun, proses tersebut tidaklah mudah karena membutuhkan mekanisme konstitusional yang sangat terbatas dan bersyarat, serta proses politik yang panjang.

Jika hari ini kita membiarkan narasi dan logika pemakzulan diwujudkan hanya karena sentimen politik dan ketidakpuasan terhadap hasil Pilpres kemarin, maka sangat mungkin tuntutan serupa dapat disuarakan kembali. Tentu, ini dapat meninggalkan jejak politik yang kurang elok karena kita telah membuka kotak pandora ketidakpastian politik di masa mendatang.

Kita harus banyak belajar dari kasus pemakzulan di beberapa negara yang berimplikasi serius terhadap stabilitas dalam negeri. Kasus pemakzulan Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, misalnya. Berdasarkan laporan Reuters pada Januari 2025, menyatakan kondisi ekonomi Korea Selatan hampir tidak tumbuh pada kuartal keempat tahun 2024. Hal ini disebabkan oleh krisis politik yang melemahkan permintaan domestik dan semakin menggerogoti pertumbuhan ekonomi negeri Gingseng tersebut. Menurut, Llanos dan Marsteintredet (2021) ketidakpuasan publik dapat secara langsung maupun tidak langsung mengarah pada pemakzulan, tetapi proses pemakzulan justru dapat memperparah ketidakpuasan tersebut ketika tidak mampu memberikan jawaban yang diharapkan. Harus disadari bahwa pemakzulan bukanlah solusi yang mudah. Hal ini tercermin dari beberapa kasus upaya pemakzulan yang terjadi di negara-negara Amerika Latin seperti Brasil, Kolombia, Kuba, dan Guatemala.

Berkaca pada berbagai upaya pemakzulan yang terjadi di negara lain, bila polemik pemakzulan dipaksakan terus mengemuka tanpa dasar hukum yang kuat, risiko yang dapat muncul adalah lahirnya polarisasi politik baru yang akan menguras energi nasional. Situasi politik dan hukum dapat memanas. Bahkan dapat melebar dan memperkeruh pada arena sosial dan berdampak pada ekonomi nasional. Hal ini justru dapat menjadi antitesis dari semangat rekonsiliasi dan kolaborasi yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan ke depan.

Marilah kita belajar untuk menjaga keutuhan sistem demokrasi yang telah kita perjuangkan bersama. Kita harus fair dalam memberi ruang kepada pemimpin yang terpilih untuk membuktikan komitmen dan janji politiknya pada rakyat. Jika di tengah jalan mereka gagal, maka evaluasi bisa dilakukan secara kolektif melalui jalur konstitusional yang disediakan. Tapi jika mereka berhasil, maka keberhasilan itu adalah milik seluruh bangsa.

Fokus Bekerja

Saat ini, Indonesia berada di persimpangan sejarah. 20 Tahun menuju satu abad kemerdekaan Bangsa Indonesia. Waktu yang cukup singkat untuk kita berbenah dan mengakselerasi pembangunan nasional. Terlebih, kita sedang menghadapi tantangan geopolitik kawasan Indo-Pasifik, ancaman perubahan iklim dan krisis pangan, ketegangan global, dan tekanan terhadap ekonomi domestik. Di saat bersamaan, transisi pemerintahan ke periode baru memberikan peluang emas untuk melakukan akselerasi program-program besar seperti transformasi sosial ekonomi rakyat, reformasi hukum, ketahanan pangan, hilirisasi industri nasional, hingga penguatan pertahanan nasional. Semua ini membutuhkan kerja kolaboratif dan energi setiap elemen bangsa.

Prabowo-Gibran telah terpilih secara sah oleh rakyat dalam pemilu yang diakui penyelenggara dan diawasi oleh berbagai lembaga kredibel. Maka sepatutnya, kita semua memberikan ruang kepada mereka untuk bekerja secara paripurna. Kritik tetap penting untuk tetap disuarakan dan terus mengawal pembangunan secara transparan. Tetapi, mari hentikan manuver-manuver destruktif yang dapat membajak arah pembangunan, karena rakyat yang pada akhirnya menjadi tumbal.

Dalam sistem demokrasi, tidak semua kehendak bisa selalu terpenuhi. Ada yang menang, ada yang kalah. Proses suksesi telah kita lewati bersama sebagai bagian dari perjalanan demokratisasi bangsa. Demokrasi menjamin ruang untuk memperjuangkan gagasan dengan cara yang legal, damai, dan konstitusional. Namun, wacana pemakzulan Wakil Presiden saat ini, justru menodai prinsip-prinsip dasar itu.Mari kita jaga demokrasi ini dengan jiwa besar dan etika berpolitik yang beradab. Biarkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih bekerja. Jangan sampai syak wasangka yang bertiup justru menjadi elegi bagi kemunduran demokrasi bangsa Indonesia.

Dr. Endang Tirtana
Pemerhati Politik dan Sosial


Simak juga Video: MPR Terancam Diduduki Jika Surat Pemakzulan Gibran Tak Direspons




(knv/knv)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork