Kolom

Fatamorgana Publikasi: Ilmu Pengetahuan untuk Siapa?

Akhmad Mu - detikNews
Jumat, 25 Jul 2025 20:00 WIB
Ilustrasi riset / Foto: ilustrasi/thinkstock
Jakarta -

"Sekarang jualan makin sepi, tapi pengeluaran terus bertambah. Anakku mau lulus kuliah, bayarnya mahal. Dulu kakaknya cuma skripsi, sekarang harus bayar jurnal juga. KIP nggak nanggung itu."

Sambil mengemasi dagangannya, ibu-ibu penjual kopi dan gorengan di emperan salah satu museum di Malang tersebut sepertinya masih menyimpan ribuan kalimat keluh kesahnya. Namun sore itu, seperti sore-sore sebelumnya, dia harus segera pulang. Masih ada banyak hal yang harus dia bereskan di rumah.

Saya sendiri, masih bengong. Hanyut dalam kenyataan dan pertanyaan. Jurnal, kata yang cukup asing bagi saya bahkan sampai kuliah, sekarang sudah familiar di telinga ibu-ibu. Sayangnya, dia dikenal dalam bentuk yang tidak seharusnya. Bayar dan mahal.

Lahirnya Jurnal Ilmiah Sampai Komersialisasi

Kita mulai saat penemuan mesin cetak pada abad ke-16. Inilah revolusi komunikasi ilmiah pertama. Ide, pemikiran dan temuan ilmuwan dipublikasikan melalui buku. Dasar sains modern lahir dari karya-karya klasik periode ini, macam Astronomia Nova karya Johannes Kepler (1609), Discours de la Méthode milik René Decartes (1637), Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica karya Isaac Newton (1686) serta banyak karya lainnya.

Era kedua lahir saat para ilmuwan menyadari bahwa menerbitkan buku membutuhkan usaha dan waktu yang terlalu lama. Kesadaran yang memunculkan jurnal ilmiah pertama bernama Journal des Sҫavans (Jurnal Kaum Terpelajar), muncul di Prancis pada tahun 1665. Jurnal yang juga memperkenalkan temuan Ole Romer, seorang astronom Denmark tentang kecepatan cahaya. Ratusan tahun kemudian--sampai pada hari ini, jurnal ilmiah menjadi semakin penting, menggantikan buku sebagai sarana utama komunikasi ilmiah.

Tanpa jurnal, sains tidak akan berkembang seperti sekarang. Jangan lupa, para editor dan pencetak jurnal awal harus kita kenang sebagai pahlawan kemajuan ilmiah tanpa tanda jasa. Sampai era komersialisasi lahir.

Era ketiga adalah saat penerbitan ilmiah terendus dunia industri komersial. Kita bisa memulai dari Paul Rosbaud dan Robert Maxwell yang mendirikan Pergamon Press tahun 1948, sekarang telah diakuisisi Elsevier.

Saat itu, ketika sebuah karya ilmiah diterbitkan satu jurnal, perpustakaan universitas harus berlangganan jurnal itu untuk memastikan bahwa ilmuwan mereka dapat mengakses seluruh literatur ilmiah. Tidak peduli seberapa mahalnya. Model bisnis yang menurut The Economist menguntungkan penerbit besar, bahkan margin laba bisa mencapai 40% setiap tahunnya.

Era keempat dimulai setelah penemuan internet. Postmodern Culture tercatat sebagai penerbitan komersial pertama yang menggunakan internet, tidak ada lagi percetakan kertas dan distribusi produk dokumen. Jurnal online atau dikenal jurnal akses terbuka (open access/OA) berkembang biak sejak saat itu. Melalui internet dan akses terbuka, semua bisa membaca artikel ilmiah.

Keterbukaan--sebagai nafas utama revolusi digital, dalam hal ini menjadi pisau bermata dua. Pada satu sisi mempercepat ketersebaran perkembangan ilmu pengetahuan, gratis dan dapat diakses siapapun. Pada sisi lainnya, OA semacam menjadi titik arus balik. Jika dulu, meneliti dan menulis adalah sebuah profesi bergengsi dan memiliki konsekuensi profesional, era OA kebalikannya.

Peneliti dan penulis karya ilmiah dikenakan biaya penerbitan (article-processing charges/APC), yang menurut laporan Jeffrey Brainard dalam Science bisa mencapai $12.000 per artikel. Ini hampir seharga satu mobil listrik, dengan asumsi Rp. 15.000 per dollar.
Pertanyaannya, apakah biaya mahal mengurangi produksi publikasi ilmiah?

Reputasi, Gengsi atau Santapan Oligopoli?

Apa yang dikeluhkan ibu penjual kopi dalam ilustrasi pembuka tulisan benar adanya. Dalam beberapa tahun terakhir sistem pembelajaran di Pendidikan Tinggi telah bertransformasi. Jika dulu mahasiswa 'hanya' butuh menyelesaikan skripsi untuk memenuhi syarat Tugas Akhir (TA) sebelum dinyatakan sebagai sarjana, sekarang terdapat beberapa skema TA.

Salah satu yang marak adalah menerbitkan artikel ilmiah di jurnal bereputasi. Tentu dengan kebijakan yang beragam.

Banyak pihak membutuhkan jurnal ilmiah lebih dari sekedar siklus komunikasi ilmiah. Akademisi membutuhkannya juga untuk peningkatan karir. Mulai dari guru sampai dengan dosen yang mengejar pangkat tertinggi menjadi Guru Besar, Profesor.

Jangan heran jika lahir bisnis lainnya yang mengerubungi publikasi ilmiah. Mulai dari 'padepokan' dan 'bengkel' jurnal sampai yang terang-terangan menawarkan jasa atau joki.

Kampus--tempat banyak akademisi bernaung, membutuhkan publikasi ilmiah sebagai pemenuhan reputasi nasional maupun internasional, mulai akreditasi sampai pemeringkatan. Publikasi ilmiah dalam hal ini lebih dilihat sebagai kuantitas, alih-alih kualitas.

Berapa jurnal yang dimiliki? Apakah telah terindeks? Berapa dosen yang memiliki artikel? Berapa banyak sitasi/rujukan yang didapatkan tiap dosen? Kampus, dengan begitu akan menjadi ladang kalkulasi. Ingat, ini Indonesia bos. Anda butuh berapa? Bisa diatur.

Untuk artikel misalnya, jika akademisi senior buntu, maka bisa mendelegasikan ke junior. Jika masih buntu juga, masih ada mahasiswa untuk 'dibimbing'. Produksi sebanyak-banyaknya! Urusan sitasi, setiap tulisan yang akan dipublikasikan bisa diwajibkan untuk setor 'upeti' sitasi. Entah itu dari tulisan dosen kampus tersebut, atau dari tulisan di jurnal kampus tersebut. Rujuk sebanyak-banyaknya!

Sekarang, tinggal hitung saja. Di Indonesia saja, berapa jumlah akademisi, peneliti dan juga mahasiswanya. Ini pasar yang sangat menggiurkan. Terlebih jika pasar ini dikendalikan sekelompok perusahaan.

Para ilmuwan sadar, bahwa pasar ini dikendalikan oligopoli atau biasa disebut penerbit jurnal tradisional, Elsevier, Frontiers, Taylor & Francis, Springer-Nature, Wiley, Sage, MDPI dan PLOS.

Leigh-Ann Butler, Stefanie Haustein dan beberapa ilmuan lain menyampaikan bahwa dalam rentang tahun 2019-2023, lima penerbit jurnal ilmiah tradisional plus MDPI dan PLOS mengalami peningkatan produksi tiga kali lipat. Ini belum termasuk edisi khusus. Perkiraan pendapatannya juga meningkat dari $ 910,3 juta pada tahun 2019 menjadi $ 2,538 Milyar tahun 2023.

Apa yang terjadi di Indonesia? Kemenristek membangun portal khusus dengan nama Sinta (Science and Technology Index) sejak tahun 2017. Sinta digunakan sebagai wadah untuk mengindeks, menilai, dan mempublikasikan jurnal ilmiah nasional. Sinta memiliki 6 jenjang, sekaligus sebagai reputasi akreditasi.

Mulai Sinta 6 yang terendah sampai Sinta 1 yang setara indeks Internasional Scopus. Sejauh ini terdapat 13.522 jurnal yang terindeks Sinta dengan 1.783 rumah produksinya. Hampir semua jurnal yang terindeks Sinta mengenakan APC bagi penulisnya.

Para ilmuwan percaya, biaya publikasi ilmiah akan terus melambung. Konsekuensinya, menjadi ilmuwan juga berarti harus menjadi jutawan. Dominasi ilmu pengetahuan akan beriringan dengan dominasi ekonomi. Di (kampus) Indonesia, fonomena publikasi ilmiah ini layaknya fatamorgana bagi kampus menengah ke bawah.

Dengan nafas (anggaran) cekak, para akademisi kampus menengah ke bawah dilecut terus menerus untuk mengejar dan membangun reputasi dirinya dan kampusnya. Yang sampai kapanpun juga -jika sistemnya berjalan seperti saat ini, yang kecil tetaplah kecil dan yang besar akan semakin besar.

Reputasi--berupa publikasi ilmiah, telah berdampak nyata. Bukan hanya bagi akademisi dan peneliti, namun juga telah dirasakan langsung ibu-ibu penjual kopi. Tak menutup kemungkinan ibu atau bapak lainnya dalam semua profesi. Sekali lagi, sayangnya dalam bentuk anomali.

Akhmad Mukhlis. Dosen PIAUD UIN Malang dan Dewan Pakar PPIAUD Indonesia.

Tonton juga video "5 Tempat Terekstrem di Dunia yang Masih Dihuni Makhluk Hidup" di sini:




(rdp/rdp)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork