Pendidikan yang Tertinggal dari Kehidupan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pendidikan yang Tertinggal dari Kehidupan

Jumat, 25 Jul 2025 11:35 WIB
Karunia Kalifah Wijaya
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Comfortable workplace with potted plants
Foto: Ilustrasi pembelajaran digital (Getty Images/iStockphoto/mediaphotos)
Jakarta -

Bayangkan seorang remaja bernama Arka. Ia bukan tipe siswa yang mencolok di sekolah, nilai-nilainya biasa saja, ia cenderung pendiam di kelas, dan tak pernah diundang dalam upacara penghargaan akhir tahun. Tapi saat pulang ke rumah, dunianya berubah total.

Di layar laptopnya, Arka menjadi moderator komunitas sejarah digital beranggotakan ribuan orang dari berbagai negara. Ia aktif menyunting entri Wikipedia, membedah dokumen arsip dari perpustakaan daring, dan terlibat dalam diskusi lintas budaya di Reddit dan Discord. Ia tahu cara membaca peta politik Eropa abad pertengahan, dan bisa menjelaskan perbedaan metodologis antara sejarawan Annales dan revisionis pasca-kolonial.

Ironisnya, guru sejarahnya di sekolah bahkan belum pernah mendengar Reddit, dan masih memberikan tugas membuat rangkuman bab demi bab dari buku teks usang yang ditulis dua dekade lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ADVERTISEMENT

Arka dianggap "kurang fokus" dan tidak serius belajar, padahal ia telah menjalani bentuk pembelajaran yang justru paling sesuai dengan dunia hari ini, kolaboratif, kontekstual, dan otonom. Kisah Arka bukan fiksi, melainkan refleksi yang brutal dari jurang antara sistem pendidikan formal dan realitas hidup generasi muda di era digital.

Pendidikan yang Tertinggal, Dunia yang Berlari

Sekolah masih berdiri kokoh sebagai simbol institusi pendidikan, namun fondasi yang menopangnya mulai keropos karena tak lagi sesuai dengan zaman. Banyak sekolah masih beroperasi seperti pabrik di era industri: memiliki bel, jadwal tetap, ruang-ruang tertutup, serta kurikulum yang kaku dan seragam.

Murid-murid duduk diam menerima informasi dari otoritas tunggal yang disebut guru, lalu diuji dengan cara yang sama dan diukur dengan alat yang sama, meski latar belakang dan potensinya sangat berbeda.

Sementara itu, dunia di luar sekolah telah berubah drastis. Revolusi digital telah menciptakan generasi yang tidak hanya tumbuh bersama teknologi, tetapi dibentuk olehnya. Mereka tidak sekadar menggunakan gawai, tetapi menjadikannya bagian dari cara berpikir dan berinteraksi.

Informasi tidak datang dari satu sumber, tapi muncul serentak dari puluhan kanal. Otoritas tidak lagi datang dari satu suara, tetapi dibentuk dari interaksi sosial yang dinamis di forum, komunitas, dan platform digital.

Dalam dunia seperti ini, pendekatan pendidikan yang mengandalkan satu arah komunikasi terasa usang.

Ia gagal mengenali bahwa anak-anak hari ini sudah hidup di dunia multiperspektif, di mana belajar terjadi tidak hanya di ruang kelas, tetapi juga di YouTube, Twitch, TikTok, atau bahkan dalam permainan daring seperti Minecraft dan Fortnite yang kerap dianggap "main-main," padahal menyimpan kompleksitas desain, strategi, kerja tim, dan kreativitas tinggi.

Digital Bukan Perpanjangan Dunia Nyata, Ia Dunia Itu Sendiri

Kesalahan terbesar yang dilakukan sistem pendidikan saat ini adalah terus-menerus memposisikan dunia digital sebagai pelengkap, bukan sebagai habitat utama. Banyak guru, birokrat pendidikan, bahkan orang tua masih berpikir bahwa teknologi adalah alat bantu pembelajaran.

Dalam logika ini, digitalisasi berarti mengganti buku dengan PDF, mengganti papan tulis dengan layar proyektor, atau mengganti ruang kelas dengan Zoom. Padahal, transformasi digital bukan soal medium, tetapi soal cara berpikir, cara memahami waktu, ruang, dan relasi antar manusia.

Kita hidup di era ketika anak bisa belajar bahasa asing dari Discord, memahami politik global dari TikTok, dan menghasilkan pendapatan dari kanal YouTube pribadi. Pendidikan tidak lagi linear, tetapi bersifat episodik dan kontekstual. Ia tidak lagi individualistis, tetapi kolaboratif dan partisipatif.

Namun, sistem sekolah masih berkutat pada logika homogenisasi: semua anak belajar hal yang sama, dengan metode yang sama, pada waktu yang sama, dalam ruang yang sama. Ini bukan hanya tidak efektif, ia adalah bentuk kekerasan epistemik yang memaksakan satu cara berpikir dan menyingkirkan potensi lain yang tak masuk dalam bingkai akademik formal.

Dari Kontrol Menuju Koneksi

Pendidikan yang relevan tidak cukup hanya dengan "menggunakan teknologi." Yang dibutuhkan adalah pergeseran paradigma dari logika kontrol menuju logika koneksi. Dari pendekatan mekanistik menuju pendekatan organik. Dari satu arah transfer informasi menuju multipolaritas penciptaan makna.

Mengapa sekolah masih menentukan jam belajar berdasarkan rotasi matahari, padahal banyak remaja memiliki ritme biologis yang aktif di malam hari? Mengapa kecerdasan anak hanya diukur melalui ujian tulis dan angka rapor, padahal kecerdasan bisa hadir dalam bentuk kemampuan menyusun strategi dalam gim daring, membangun komunitas diskusi, atau membuat karya seni digital?

Dan mengapa sekolah masih memandang bermain gim sebagai bentuk pelarian, bukan sebagai potensi pedagogis yang mengandung problem solving, komunikasi strategis, dan kreativitas spasial?

Pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya mendorong kita untuk tidak lagi menilai pendidikan dari efisiensi administratif atau keterukuran output, tetapi dari kedalamannya dalam memahami manusia dan kemampuannya untuk merespons realitas.

Mendidik dalam Dunia yang Tak Lagi Nyata

Namun dunia digital bukan utopia. Ia membawa tantangan serius, disinformasi, adiksi, fragmentasi perhatian, serta tekanan sosial yang tak kasatmata namun sangat nyata dampaknya. Banyak remaja yang kewalahan menghadapi kecepatan informasi dan algoritma yang mengatur apa yang harus mereka lihat, sukai, bahkan pikirkan. Mereka hidup dalam dunia yang hiper-real, tetapi miskin ruang untuk merenung dan mengenal diri.

Justru karena itu, pendidikan menjadi semakin penting, bukan untuk menarik anak-anak keluar dari dunia digital, tetapi untuk membekali mereka agar bisa hidup secara utuh di dalamnya. Pendidikan harus menjadi ruang latihan berpikir jernih di tengah kebisingan, ruang latihan berempati di tengah polarisasi, dan ruang pembentukan karakter di tengah budaya instan. Pendidikan harus menjadi jangkar dalam arus deras digital, bukan sekadar perahu yang ikut hanyut.

Sekolah, Antara Ketakutan dan Harapan

Yang menjadi persoalan utama hari ini bukanlah apakah anak-anak siap menghadapi masa depan. Mereka dengan segala keunikan dan kemampuan adaptifnya justru sedang berlari ke depan. Pertanyaan sesungguhnya adalah apakah sekolah siap mengejar mereka? Apakah kita para pendidik, orang tua, pembuat kebijakan berani membongkar sistem lama yang mapan demi membangun ruang belajar yang lebih relevan dan manusiawi?

Jika pendidikan terus mempertahankan model yang menutup diri dari perubahan, maka bukan hanya institusi sekolah yang akan kehilangan makna. Kita semua akan kehilangan generasi yang paling berpotensi membentuk masa depan yang lebih baik.

Karena pada akhirnya, sekolah bukan hanya tentang ruang, waktu, dan kurikulum. Ia adalah tentang keberanian untuk membentuk manusia yang siap hidup secara utuh, di dunia nyata, dunia maya, dan dunia yang mungkin akan datang.

Karunia Kalifah Wijaya. Guru Bimbingan dan Konseling SMP Muhammadiyah 1 Berbah.

Tonton juga Video detikJateng-Jogja Awards: Daftar Pemenang Program Pendidikan Unggul

(rdp/rdp)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads