Luka Lahir-Batin Akibat Eksploitasi dan Kekerasan pada Anak
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Luka Lahir-Batin Akibat Eksploitasi dan Kekerasan pada Anak

Kamis, 24 Jul 2025 12:15 WIB
Saiful Maarif
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi Anak Berbicara dengan Orang Asing
Foto: Ilustrasi anak (Getty Images/iStockphoto/FatCamera)
Jakarta -

Pemberitaan tentang eksploitasi dan kekerasan yang dialami Farel Prayoga menyebar ke seluruh Indonesia, dari media lokal di Banyuwangi, tempatnya berasal, hingga media nasional yang berbasis di Jakarta. Popularitas Farel sebagai penyanyi cilik yang sempat tampil di Istana Negara pada 2022 menjadikan perkaranya menarik perhatian nasional.

Di tengah gemerlap popularitas, kisah pahit Farel Prayoga membuat nurani kita terguncang. Kisah tragisnya lantas diselamatkan oleh manajernya yang kemudian membawanya untuk tinggal di Jakarta setahun terakhir.

Bocah berumur 14 tahun asal Banyuwangi ini mengungkapkan berbagai pengalaman pahit yang dialaminya di berbagai platform pemberitaan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia dipaksa mengamen sejak usia 8 tahun, di antaranya, dipakai melunasi utang dan kebutuhan keluarga tanpa sepengetahuan Farel, tabungan Rp10 miliar miliknya dirampas dan dipakai keluarga, dan, nahasnya, ia disiksa oleh ibu tiri dan ayah kandungnya yang terjerat judol (judi online). Tidak dibolehkan ayah ibunya untuk tahu, Farel, yang baru menyadari ibunya adalah ibu tiri di usia 8 tahun, kini diberitakan mencari keberadaan ibu kandungnya.

Dari kisah yang disampaikannya, layar kesadaran publik kemudian terbentang. Kisah eksploitasi dan kekerasan yang dialami Farel pada dasarnya bukan hanya berupa luka batin dan drama personal dengan lika-likunya yang menyayat hati, akan tetapi juga merupakan refleksi realitas atas fenomena kekerasan dan eksploitasi anak yang masih membayangi kehidupan anak-anak di Indonesia.

ADVERTISEMENT

Kasus Farel adalah cermin gunung es yang bisa saja terjadi di sekitar kita tanpa kita sadari. Di Indonesia, kasus kekerasan dan eksploitasi anak merupakan kasus serius yang mencakup berbagai bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual, berbagai penelantaran, hingga eksploitasi urusan ekonomi atau motif lainnya. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) tahun 2023 menunjukkan bahwa 401.975 kasus yang terpantau hanya mencerminkan laporan yang masuk, sementara banyak kasus tidak terdeteksi.

Data Kekerasan dan Eksploitasi Anak

Dalam perspektif World Health Organization (WHO), kekerasan terhadap anak didefinisikan sebagai segala sesuatu yang meliputi tindakan penganiayaan fisik, emosional, seksual, penelantaran, atau eksploitasi komersial yang membahayakan kesehatan, perkembangan, atau martabat anak.

WHO menyebutkan bahwa pelaku tindakan kekerasan ini dapat dilakukan oleh orang tua, keluarga, atau pihak lain yang memiliki kuasa atas anak (World Report on Violence and Health, 2002). Dalam batas pemahaman ini, WHO melihat bahwa memaksa anak bekerja atau melakukan aktivitas yang mengganggu perkembangan fisik dan psikisnya juga termasuk dalam kategori eksploitasi. Contohnya, eksploitasi pekerja anak, prostitusi anak, atau pemaksaan untuk bekerja di luar batas kemampuan mereka.

Di Indonesia, data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) melalui Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 menunjukkan data penurunan prevalensi kekerasan anak, dari 61,7% (2018) menjadi 49,83% untuk anak laki-laki dan 62% menjadi 51,78% untuk anak perempuan.

Meski demikian, statistik ini tetap mencemaskan. Di balik statistik yang berkecenderungan menurun ini, survei ini menunjukkan bahwa terdapat 2 dari 3 anak usia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan fisik, seksual, atau emosional. Memperkuat hasil survei ini, Sistem Informasi Online Perempuan dan Perlindungan Anak (SIMFONI-PPA) melaporkan bahwa rumah tangga menjadi tempat utama terjadinya kekerasan, kemudian fasilitas umum, dan terakhir sekolah.

Tidak hanya di lingkungan keluarga, eksploitasi anak juga merambah dunia digital yang mirisnya dapat berupa konten seksual. Laporan Disrupting Harm (2022) mencatat seorang anak usia 12 tahun menerima konten seksual tak diinginkan melalui WhatsApp, Facebook, dan platform perpesanan lainnya, namun kasusnya tidak dilaporkan sehingga tidak dapat ditindaklanjuti. Di lingkungan pendidikan, termasuk pesantren, kasus pelecehan seksual oleh oknum guru, dosen, staf sekolah atau perguruan tinggi, hingga pengajar di lembaga pendidikan agama, terus mencuat. Temuan ini seperti yang dilaporkan PAUDPEDIA 2023 Kementerian

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA). Di luar itu, eksploitasi anak di sektor riskan dan berbahaya (misalnya sektor pertambangan atau industri alas kaki) masih kerap terjadi. Bekerja di tempat berbahaya, anak-anak bekerja dalam kondisi tidak manusiawi demi menyokong ekonomi keluarga.

Pemerintah telah bergerak dengan berbagai kebijakan regulatif, seperti menerbitkan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan berbagai regulasi terkait. Bekerja sama dengan UNICEF, Kemen PPPA menerbitkan modul program Pencegahan Eksploitasi Seksual dan Perlakuan Salah terhadap Anak di Dunia Maya (OCSEA).

Simultan, pemerintah juga tercatat menginisiasi terbitnya regulasi terkait di ranah pendidikan. Hal ini ditunjukkan dengan, di antaranya, menerbitkan Keputusan Menteri Agama Nomor 91 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Program Pengembangan Pesantren Ramah Anak.

Namun, langkah progresif seperti ini rasanya belum cukup. Sosialisasi tentang saluran pelaporan, seperti hotline SAPA 129 atau WhatsApp 08111-129-129, perlu digencar-masifkan. Selain langkah sosialisasi regulasi, peningkatan literasi masyarakat dalam berinteraksi yang aman di dunia maya juga sangat penting dilakukan.

Hal ini penting untuk melindungi anak dari eksploitasi digital. Yang juga sangat krusial adalah bahwa kita perlu membangun kesadaran kolektif bahwa anak bukan alat ekonomi keluarga, melainkan individu yang berhak atas masa kecil yang aman, nyaman, dan bahagia.

Dampak kekerasan

Dampak kekerasan dan eksploitasi anak tidak hanya terlihat pada luka fisik. Kasus Farel menempatkannya sebagai anak-anak yang harus menghadapi trauma psikologis. Hal ini secara efektif dapat menghambat kepercayaan diri, hubungan sosial, dan perkembangan emosional dalam kehidupan sehari-hari.

Data dari National Child Traumatic Stress Network (2018) menunjukkan bahwa korban kekerasan anak berisiko mengalami depresi, kesepian, hingga kesulitan menjalin hubungan sehat di masa depan. Eksploitasi seperti yang dialami Farel juga sering menyebabkan anak putus sekolah, kehilangan masa kecil, dan terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang kerap diidentifikasi sebagai kemiskinan ekstrem.

Kisah Farel menegaskan realitas pahit yang terjadi. Eksploitasi ekonomi yang dialaminya, sehingga ia dipaksa mengamen untuk kebutuhan keluarga, mencerminkan realitas banyak anak Indonesia. Kemiskinan sering menjadi faktor pemicu yang mendorong orang tua atau keluarga memaksa anak bekerja di luar batas kemampuan mereka. Tak ayal, di sembarang lampu merah jalanan dan tempat jajan, misalnya, mudah kita dapati fenomena anak-anak yang mengamen dan mengemis.

Farel yang mengalami kekerasan fisik dan psikis dari ibu tiri dan ayahnya sangat mungkin memiliki luka batin yang mendalam dan tidak mudah untuk menghapusnya. Hal ini diperparah oleh aksi kriminal lainnya, yakni tabungannya lenyap. Kisahnya menegaskan kasus eksploitasi dan kekerasan pada anak, hingga ia harus terusir dari rumah, di tengah gemerlap popularitas yang disandangnya.

Kasus ini mengingatkan kita pada kenyataan getir bahwa rumah, yang seharusnya menjadi tempat utama anak mendapat perlindungan, justru kerap kali menjadi kandang kekerasan dan eksploitasi pada anak.

Data SIMFONI-PPA menunjukkan bahwa kekerasan di lingkungan keluarga terbukti mendominasi dibanding jenis lainnya. Hal ini berupa inisiatif yang berasal dari orang tua atau kerabat dekat. Farel adalah bukti nyata bagaimana anak dapat menjadi korban eksploitasi ekonomi, kekerasan, dan penelantaran yang sangat mungkin membekaskan luka mendalam pada perkembangan psikologis dan mentalnya.

Banyak anak-anak selain Farel di luar sana sangat mungkin tidak memiliki panggung untuk bersuara meski memiliki kasus mirip, serupa, atau malah lebih memilukan. Farel disorot karena popularitasnya. Momen ini harusnya menjadi pengingat bersama bahwa kekerasan dan eksploitasi anak dapat menimpa siapapun. Di titik ini, sudah saatnya kita sebagai masyarakat, pemerintah, dan komunitas bersama bertindak untuk memutus rantai kekerasan dan eksploitasi anak.

Anak-anak seperti Farel dan lainnya memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan, kasih sayang, dan kesempatan untuk bermimpi dan berimajinasi positif tentang masa depan mereka. Jangan biarkan luka batin masa kecil mereka serupa bayangan yang menghantui mereka seumur hidup.

Saiful Maarif. Asesor SDM Aparatur Kemenag dan Pegiat Birokrat Menulis.

Lihat juga Video: Komisi XIII DPR Anggap Eksploitasi Eks Pemain OCI Langgar HAM Berat

(rdp/rdp)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads