Koperasi saat ini bukan lagi konsep pinggiran dalam percakapan global tentang ekonomi rakyat. Di banyak negara maju, koperasi telah menjadi tulang punggung sistem distribusi, akses pangan, hingga pembiayaan mikro.
Indonesia, dengan program Koperasi Desa Merah Putih, sebenarnya berada pada titik awal untuk melakukan lompatan serupa. Dalam konteks ini, kita bisa mulai belajar dari Inggris.
Sejak tahun 1844, The Co-operative Group tumbuh menjadi jaringan ritel dan layanan keuangan milik anggotanya. Setelah modernisasi besar-besaran pada 2001, "Co-op" memiliki ribuan gerai dan lebih dari 4 juta anggota. Mereka bukan hanya konsumen, tapi juga pemilik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Model ini berhasil karena kombinasi tiga hal: distribusi yang efisien, harga yang bersaing, dan nilai kolektif yang kuat. Anggota mendapat keuntungan, dan komunitas lokal mendapatkan kembali kepercayaan terhadap sistem ekonomi yang memihak rakyat.
Di Belanda, koperasi ritel dan pertanian telah hadir sejak 1890-an. Mereka fokus pada efisiensi distribusi dan penyediaan barang pokok yang berkualitas. Sementara di Jerman, Genossenschaften (koperasi) bahkan menyentuh sektor perbankan dan energi. Dengan 20 juta anggota, koperasi Jerman bukan entitas kecil, melainkan arsitektur ekonomi alternatif yang mapan.
Apa pelajarannya? Koperasi bisa besar, efisien, dan tetap berakar pada keanggotaan. Mereka mampu bersaing dengan pemain pasar bebas karena memotong rantai pasok, menjaga mutu, dan memutar keuntungan ke komunitas itu sendiri.
Koperasi dan Isu Kampanye AS
Fenomena menarik juga muncul di Amerika Serikat. Dalam pemilihan Walikota New York City 2025, salah satu kandidat menjadikan pendirian toko grosir milik pemerintah (government-owned grocery stores) sebagai isu kampanye utama. Ini muncul karena kesenjangan harga dan akses terhadap kebutuhan pokok yang dirasakan langsung oleh warga kota besar.
Artinya, wacana koperasi bukan milik negara berkembang semata, tetapi justru menjadi jawaban negara maju terhadap keterbatasan pasar bebas yang tak selalu adil bagi semua. Apalagi dalam konteks Indonesia, berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas secara nasional, pada 16-19 Juni 2025, sebanyak 78 persen, publik menyetujui keberadaan Koperasi Merah Putih.
Artinya, publik menaruh harapan besar dengan keberadaan koperasi tersebut. Mengapa atensi publik begitu tinggi? Ini karena salah satu tujuan mulia Koperasi Merah Putih adalah mendorong masyarakat lokal membentuk lembaga ekonomi mandiri yang dijalankan dengan semangat gotong royong, kekeluargaan, dan prinsip keadilan. Dengan kata lain, program ini mendapat dukungan karena secara prinsip koperasi dianggap ide bagus, nasionalis, dan berbasis gotong royong. Bahkan, sebanyak 36,3 persen responden setuju dan tertarik untuk menjadi anggota.
Koperasi dan Demokratisasi Ekonomi
Karena itu, Indonesia perlu belajar dengan negara-negara lain terkait pentingnya koperasi sebagai soko guru ekonomi. Dengan kata lain, Program 80.000 Koperasi Desa Merah Putih yang sedang digagas pemerintah Indonesia saat ini harus benar-benar dijalankan dengan sebaik-baiknya. Sebab, jika dirancang dengan meniru keberhasilan negara-negara tadi, koperasi ini dapat menjadi alat demokratisasi ekonomi di tingkat desa. Rakyat bukan hanya pembeli, tapi juga pemilik. Dana desa bukan hanya anggaran pasif, tapi jadi modal bergulir yang menciptakan pekerjaan, meningkatkan daya beli, dan memperkuat ketahanan ekonomi desa.
Belajar dari best practices global, berikut beberapa beberapa hal yang perlu dilakukan agar program Koperasi Desa Merah Putih benar-benar bisa berdampak. Pertama, modernisasi manajemen koperasi. Misalnya dengan menggunakan teknologi digital untuk pencatatan keuangan, inventaris barang, dan transaksi harian. Aplikasi koperasi terpadu yang terhubung langsung dengan bank BUMN dan kementerian teknis bisa menjadi terobosan.
Kedua, koperasi harus layak usaha. Artinya, koperasi wajib memiliki business plan yang jelas, berbasis kebutuhan warga, dan disupervisi oleh tenaga profesional. Misalnya, pendampingan usaha harus berkelanjutan, bukan hanya pelatihan awal yang putus di tengah jalan.
Ketiga, pentingnya transparansi dan akuntabilitas. Artinya, setiap koperasi harus diaudit secara rutin dan laporannya terbuka ke anggota. Sistem pengawasan berbasis warga (community audit) bisa ditiru dari model koperasi Jerman dan Inggris.
Keempat, jadikan koperasi sebagai wadah pemberdayaan, bukan sekadar etalase barang murah. Koperasi harus mampu mengelola off-take hasil pertanian lokal, bukan hanya menjual produk dari kota ke desa. Misalnya, bangun ekosistem: dari produksi, distribusi, hingga konsumsi di tingkat desa.
Kelima, perlu political will dan perlindungan hukum yang tegas. Agar koperasi tidak kalah oleh praktik monopoli atau tengkulak bermodal besar, perlu keberpihakan kebijakan yang jelas. Misalnya, revisi UU Perkoperasian perlu didorong agar sesuai dengan konteks ekonomi digital dan distribusi modern.
Akhirnya, kita berharap Koperasi Desa Merah Putih benar-benar bisa menjembatani antara negara dan rakyat, antara ekonomi dan keadilan sosial. Koperasi menjadi pilar penting demokratisasi ekonomi rakyat.
Seperti dikatakan Bapak Koperasi Indonesia, Bung Hatta, bahwa koperasi merupakan gerakan penting untuk membangun ekonomi kerakyatan dan kesejahteraan bersama. Ia menekankan pentingnya koperasi sebagai wadah usaha bersama yang berlandaskan asas kekeluargaan, sebagai sarana pendidikan bagi anggota untuk memiliki rasa tanggung jawab bersama dan bahkan memperkuat nilai-nilai demokrasi.
Ali Rif'an
Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia dan Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lihat juga Video Canda Prabowo Tanya Zulhas Buat Kopdes: Kalau Tak Bisa, Duh Reshuffle
(zap/zap)