Bagai air di daun talas. Begitulah pengelolaan media sosial di beberapa lembaga pemerintah. Ada dan aktif, tapi kurang berdampak. Jika kita mau jujur, tak sedikit lembaga pemerintah yang belum benar-benar memahami bagaimana platform media sosial ini seharusnya bekerja.
Beberapa waktu lalu, saya diminta mengevaluasi akun media sosial milik sebuah instansi. Postingan mereka rapi, update setiap hari, tapi engagement-nya sangat rendah. Saya buka satu per satu postingannya, dan banyak sekali konten dimulai dengan kalimat "Sehubungan dengan..." atau "Dalam rangka pelaksanaan...".
Saya hanya bisa bertanya pelan, "Ini medsos atau surat edaran?"
Masalah seperti ini bukan hal baru. Di balik seragam instansi dan akun-akun resmi, banyak lembaga yang menganggap media sosial sebagai lembar pengumuman digital. Mereka aktif, tapi tidak hidup. Kontennya hadir setiap hari, tapi seolah tidak berbicara kepada siapa pun. Yang dibangun bukan koneksi, tapi arsip. Yang dituju bukan rakyat, tapi diri sendiri. Layaknya monolog.
Kesalahan pertama yang sering saya temui adalah penggunaan bahasa yang terlalu formal dan administratif. Gaya bahasa surat dinas memang penting dalam komunikasi internal atau surat-menyurat antar lembaga, tapi tidak bisa dipaksakan masuk ke Instagram atau TikTok. Audiens media sosial tidak sedang mencari keputusan menteri atau jadwal sosialisasi, mereka ingin tahu apa dampaknya untuk hidup mereka, dengan bahasa yang mereka mengerti.
Berikutnya, banyak akun instansi tidak memahami siapa sebenarnya audiens mereka. Konten dibuat seolah-olah untuk semua orang, padahal nyaris tidak menyasar siapa pun secara khusus. Di Twitter (atau sekarang X), publik menuntut respons cepat dan percakapan terbuka. Di Instagram, kekuatan visual dan storytelling menentukan. TikTok lebih ekstrem lagi: konten edukatif pun harus dikemas naratif, jenaka, dan dekat dengan emosi. Ketika lembaga hanya menyiarkan informasi satu arah, tanpa adaptasi platform dan persona audiens, maka pesan mereka tidak akan pernah sampai.
Kesalahan berikutnya yang tidak kalah umum adalah terlalu sering merayakan diri sendiri. Hampir setiap unggahan memuat foto pejabat memberi sambutan, menghadiri rapat, atau memotong pita peresmian. Saya menyebutnya sebagai "narsisme kelembagaan." Ini bukan soal boleh atau tidak. Tentu penting untuk mendokumentasikan aktivitas lembaga.
Tapi ketika 90% isinya hanya internalisasi citra struktural, masyarakat akan merasa terpinggirkan. Mereka tidak merasa diajak bicara, hanya diminta menonton.
Lalu ada pula lembaga yang tidak siap menghadapi kritik dari publik. Komentar pedas dihapus. Kolom komentar dimatikan. Bahkan ada yang memilih tidak update sama sekali selama beberapa hari karena "situasi sedang panas".
Ini menunjukkan bahwa tidak ada SOP krisis komunikasi digital. Padahal kehadiran pemerintah di media sosial bukan hanya soal menyampaikan informasi, tapi juga membuka ruang partisipasi. Dan kritik adalah bagian penting dari kepercayaan.
Satu hal lagi yang sering luput: kegagalan dalam membidik niche market. Ada kok akun pemerintah justru lebih mirip majalah dinding di kantor. Audiens yang mereka sasar seolah hanya rekan sesama ASN, bukan publik luas.
Padahal tanggung jawab utama komunikasi publik adalah menyampaikan kebijakan dan layanan secara inklusif, bukan eksklusif. Jika konten hanya dimengerti oleh kalangan internal, maka tujuan membangun literasi kebijakan dan kepercayaan publik akan gagal total.
Berikutnya, kurang bisa membedakan atau memposisikan konten: Feed vs Stories. Sering kali saya melihat konten seperti "Ucapan Ulang Tahun Menteri" atau "Selamat Mengemban Amanah Baru untuk Dirjen X" dipasang di feed Instagram resmi instansi. Padahal, konten semacam ini lebih cocok ditaruh di Stories, bukan di grid utama. Bahkan, saya pernah lihat ucapan untuk istri atau keluarga pejabat pun masuk ke feed konten.
Media sosial lembaga harus bisa membedakan mana konten yang sifatnya evergreen, mana yang hanya ceremonial dan temporal. Feed adalah etalase utama adalah ibarat wajah lembaga. Sementara Stories atau Reels bisa dimanfaatkan untuk konten yang ringan, cepat, dan bersifat moment-based.
Ketika semua jenis konten disamaratakan, akun resmi terlihat tidak punya strategi kurasi. Ucapan selamat yang seharusnya cukup 24 jam di Stories, malah terpajang permanen di feed. Ini bukan hanya membingungkan, tapi membuat akun terasa seperti buletin internal, bukan kanal komunikasi publik yang dinamis.
Mungkin ini dipandang kurang penting. Tetapi nyata. Ya, tak kalah pelik adalah ketika akun pribadi pejabat justru lebih aktif dan lebih "hidup" ketimbang akun resmi lembaga. Banyak pejabat publik saat ini sudah punya modal follower sejak sebelum menjabat. Gaya komunikasinya juga lebih luwes, dekat, dan manusiawi.
Sementara akun resmi instansi, meskipun difasilitasi tim dan anggaran, justru kalah dalam membangun narasi dan koneksi. Padahal, keduanya bisa saling mendukung. Seharusnya ada sinergi: konten dari akun lembaga bisa diperkuat dengan repost oleh akun pribadi pejabat, dan sebaliknya.
Sayangnya, yang terjadi sering kali adalah seperti kompetisi diam-diam: akun resmi jalan sendiri, akun pribadi pejabat jalan sendiri. Bahkan terkadang ada perebutan narasi: siapa duluan posting, siapa yang dapat spotlight. Ini berbahaya karena menciptakan dualisme komunikasi dan membingungkan publik.
Strategi Efektif Membangun Komunikasi Digital yang Bermakna
Pertama, lembaga pemerintah perlu membangun tim komunikasi digital yang memahami karakter tiap platform dan audiens. Bukan sekadar admin posting, tapi tim yang bisa membaca tren, memahami emosi publik, dan mengelola dinamika komunikasi krisis. Ini bukan pekerjaan teknis semata, tapi strategi.
Kedua, penggunaan bahasa harus disesuaikan dengan konteks. Media sosial menuntut kecepatan, kejelasan, dan kedekatan. Pemerintah harus belajar menyampaikan pesan dalam bahasa yang ringan, tapi tidak menghilangkan substansi. Bukan berarti menjadi dangkal, tapi menjadi dekat.
Ketiga, harus ada porsi yang seimbang antara citra institusi dan manfaat untuk publik. Ceritakan kisah sukses program pemerintah dari sudut pandang warga. Tampilkan testimoni. Soroti dampak. Biarkan publik menjadi bagian dari narasi, bukan hanya penonton.
Keempat, lembaga harus menyiapkan SOP komunikasi krisis digital. Jangan reaktif, tapi responsif. Kritik tidak perlu ditakuti. Justru harus dijadikan momen untuk menunjukkan keterbukaan dan komitmen untuk memperbaiki.
Kelima, jangan ragu untuk menggandeng kreator konten atau agensi komunikasi yang memahami ekosistem digital. Banyak isu kebijakan yang bisa disampaikan dengan gaya yang lebih menyentuh, lebih segar, tanpa kehilangan kedalaman. Pemerintah perlu membuka diri untuk kolaborasi.
Keenam, barangkali hal sederhana ini perlu dicoba. Mulai dari riset niche market, konten pilar yang cocok, konten planning adaptif, dan tentu Bahasa penyampaian yang sesuai dengan audience. Jangan sungkan menggunakan Bahasa skena, kalcer atau gaja anak Gen-Z Jaksel agar mendekatkan dengan audien.
Apa dampak yang bisa diharapkan jika strategi ini dijalankan?
Pertama, kepercayaan publik akan meningkat. Ketika pemerintah bisa menyampaikan sesuatu dengan cara yang bisa dimengerti rakyatnya, maka kredibilitas akan tumbuh secara organik. Tak perlu beli follower, tak perlu kerahkan buzzer, dan pakai jasa komen ataupun like.
Kedua, partisipasi publik dalam program-program pemerintah akan lebih aktif. Ketika audiens merasa menjadi bagian dari proses, mereka tidak hanya menonton tetapi mereka terlibat.
Ketiga, instansi akan memiliki kanal komunikasi yang lebih lincah, siap menghadapi krisis, dan tidak gagap dalam situasi darurat.
Dan yang paling penting: masyarakat tidak lagi merasa jauh dari kebijakan pemerintah. Karena pada akhirnya, media sosial bukan tentang postingan yang banyak, tapi tentang kehadiran yang bermakna. Sebagai mantan jurnalis yang kini banyak membantu lembaga negara dan BUMN dalam membangun strategi komunikasi publik, saya percaya satu hal, "Kalau masyarakat tidak paham apa yang pemerintah kerjakan, maka mungkin bukan mereka yang tak mampu menyimak, melainkan kita yang belum pandai menyampaikan."
Media sosial adalah jembatan. Dan jembatan itu harus dibangun dengan bahasa rakyat, semangat keterbukaan, dan keberanian untuk mendengar.
Pracoyo Wiryoutomo. Praktisi komunikasi publik, mantan Wakil Pemimpin Redaksi Trans7 yang kini CEO Spora Comm.
Lihat juga Video: Juliana Hilang di Gunung Rinjani, Netizen Brasil Serbu Akun Prabowo
(imk/imk)