Kata per kata dari judul di atas sebenarnya 'Berpikir bisa punya hidupku sendiri tuh.. Salah rasanya gitu'. Yang mengucapkan namanya Moko, seorang pemuda yang mengubur mimpi melanjutkan kuliah S-2 untuk mengurus 7 'keponakan' dalam film 1 Kakak 7 Ponakan.
Di telinga saya, Moko terdengar ragu-ragu memilih kata-kata itu keluar dari mulutnya padahal di sebelahnya hanya ada Maurin, mantan kekasih, yang mulai kembali lagi ke kehidupan Moko. Adegan dalam film garapan Yandy Laurens itu cukup mengena bagi saya. Kenapa?
Begini plot singkatnya.
Moko seorang bungsu dari 3 bersaudara yang tinggal seatap dengan 5 orang: Atmo, Agnes, Woko, Nina, dan Ano. Agnes kakak tertua Moko, sedangkan Atmo kakak iparnya. Woko dan Nina anak dari Atmo-Agnes yang sedang menyambut adiknya yang sedang dikandung Agnes yang kelak saat lahir diberi nama Ima. Lalu Ano ponakan dari Atmo. Begitulah mereka sekeluarga hidup di pusat Kota Jakarta.
Petaka terjadi ketika mendadak Atmo meninggal karena serangan jantung. Agnes terpukul, ketubannya pecah hingga lahirlah Ima. Tapi Ima langsung menjadi yatim piatu di hari pertamanya menghirup oksigen karena Agnes menyusul suaminya. Dunia runtuh bagi Moko, Woko, Nina, Ano, dan Ima.
Moko yang sejatinya sedang memupuk mimpi melanjutkan S-2 dan menjadi arsitek akhirnya banting setir agar para keponakannya itu melanjutkan hidup dan tak putus sekolah. Tak cukup sampai di situ, tiba-tiba hadir seorang bernama Ais, anak dari mantan guru Moko, yang dititipkan pada Moko. Lalu muncullah Osa, kakak Moko lainnya, dan suaminya yang bernama Eka. Osa tak bekerja. Eka terjerat investasi bodong. Lengkap sudah hidup Moko sebagai Sandwich Generation atau Generasi Sandwich.
Generasi sandwich itu sebenarnya sudah sejak 1981, pencetusnya Dorothy A Miller yang memberikan gambaran situasi seseorang yang harus menanggung beban dan tanggung jawab 3 generasi yaitu generasi sebelum dirinya atau orang tua, diri sendiri, dan generasi setelahnya atau anak-anaknya.
Tapi dalam tulisan ini saya tidak ingin sekadar membahas generasi sandwich atau generasi kejepit yang dialami Moko. Lalu apa?
Dialektika Hegel di Hidup Moko
Georg Wilhelm Friedrich Hegel, filsuf Jerman yang hidup tahun 1770 sampai 1831 pernah memunculkan metode berpikir yang sampai kini dikenal dengan nama Dialektika Hegel untuk memahami perkembangan ide, sejarah, politik, hingga hubungan interpersonal. Metode ini dijabarkan dalam 3 tahap yaitu tesis, antitesis, dan sintesis.
Ketiga tahap itu menjadi landasan berpikir Hegel untuk penyelesaian suatu konflik yang masih relevan hingga kini di mana tesis merupakan pernyataan awal, sedangkan antitesis menjadi negasinya, lalu sintesis sebagai kesatuan kontradiksi. Begini sederhananya:
Tesis: Semua orang berhak mendapatkan pendidikan gratis
Antitesis: Tidak semua orang memiliki hak atas pendidikan gratis karena memerlukan biaya yang harus ditanggung serta keberlanjutan sistem pendidikan
Sintesis: Semua orang berhak atas akses pendidikan yang terjangkau dengan sistem pendanaan yang komprehensif antara kontribusi pemerintah, masyarakat dan individu dengan memastikan kualitas pendidikan terjaga serta memperluas aksesibilitas
Menurut Hegel, kerangka berpikir dialektika itu penting untuk memahami perubahan serta penyelesaian konflik sehingga mencapai pemahaman yang lebih tinggi terhadap realitas yang dinamis.
Nah kembali lagi pada awal tulisan ini tentang pernyataan Moko:
'Berpikir bisa punya hidupku sendiri tuh.. Salah rasanya gitu'
Tesis yang disampaikan Moko itu memunculkan gejolak internal dirinya yang merasa berpikir independen bertentangan dengan norma, ekspektasi sosial, hingga hal-hal eksternal lainnya. Pada tahap ini, Moko mengalami alienasi atau keterasingan yang muncul dari perasaan 'salah' yang dirasakan bahkan saat mencoba berpikir secara independen.
Rasa bersalah itu menunjukkan Moko belum sepenuhnya mewujudkan kebebasan rasionalnya karena keterikatan norma eksternal. Namun inilah yang menurut Hegel penting dalam kerangka berpikir dengan menegasikan suatu tesis. Momen ketegangan dialektis Moko ini memicu perkembangan pada kesadaran yang lebih tinggi.
Tesis yang dirasakan Moko itu menebal ketika Maurin, mantan kekasih Moko, mengaku pernah merasakan hal serupa ketika dunia Moko tiba-tiba berubah. Saat itu Moko dan Maurin sedang berada di mobil yang perlahan memasuki automatic carwash.
Begini kata Maurin:
'Aku tuh sempet benci banget, Mo, sama diri aku sendiri. Benci tuh karena aku merasa yang tadinya prioritas kamu itu kita tapi kok sekarang keganti ya sama anak-anak. Aku benci banget setiap kali mikir gitu. Ngerasa jahat, ngerasa egois. Terus kamu... kita putus'
Namun tesis yang disampaikan Maurin itu memberikan pemahaman yang lebih tinggi pada Moko bahwa kesadaran subjektif terikat pada realitas tertentu yang membuat individu merasakan konflik antara kebebasan berpikir dengan keterbatasan yang diberikan oleh dunia eksternal. Dalam konteks ini, dunia eksternal yang dialami Moko terjadi ketika harus menanggung hidup orang-orang di sekitarnya.
Pada momen ini alienasi yang dirasakan Moko ketika merasa bersalah atas pikirannya itu mulai tersisihkan. Gambaran itu muncul pula pada adegan selanjutnya ketika kaca depan mobil yang ditumpangi Moko dan Maurin yang sebelumnya penuh sabun sebagai simbol alienasi berguguran tersiram air.
Debur Ombak Negasi di Pantai Anyer
Dikisahkan kemudian Moko-dengan bantuan Maurin-mulai menatap hidup yang baru dengan mendapatkan pekerjaan mengarsiteki resor milik seorang pengusaha di Anyer tapi Moko harus survei dulu ke lokasi. Moko dan Maurin pun mengajak semua orang rumah sekalian liburan.
Ada satu momen di malam harinya saat Moko, Maurin, Osa, dan Eka duduk bersama sedangkan anak-anak di dalam resor lama tapi belum sepenuhnya tidur dan mendengar apa yang disampaikan Eka pada Moko. Eka-yang memang hadir sebagai sosok yang menyebalkan dalam film itu-menguliti satu per satu para ponakan Moko.
Awalnya dia bilang Moko sudah banyak berkorban, mengempaskan mimpi S-2, menghidupi para ponakannya dengan kerja serabutan, mengurusi Ima sedari bayi. Namun dia melempar sindiran seperti Ano yang banyak makannya hingga Ais yang sejatinya bukan keluarga inti telah menjadi beban berlebih. Namun Moko menepis ucapan Eka tetapi tetap kepikiran bagaimana nasib ponakan-ponakannya jika dirinya mengambil pekerjaan itu serta menyerahkan urusan anak-anak padanya dan Osa?
'Mas Eka paham beban pikiran kamu ini banyak banget... Kamu fokus aja sama apa yang mau kamu lakuin nanti'
Menurut Karl Marx, apa yang disampaikan Eka termasuk alienasi atau keterasingan yang dialami Moko. Alienasi dari esensi manusia yang dirasakan Moko yang mengubur mimpi melanjutkan S-2 dan menjadi arsitek demi tanggung jawab mengurus para ponakannya mencerminkan keterasingan dari potensi diri sebagai individu kreatif.
Selain itu alienasi yang dialami Moko saat Eka menyebutkan Maurin sebagai kekasih Moko padahal saat itu mereka sudah tidak lagi memiliki hubungan. Hal ini menunjukkan keterasingan yang disebut Karl Marx alienasi dalam hubungan sosial di mana prioritas Moko bergeser. Dalam konteks ini alienasi Marx menegaskan tekanan ekonomi dan sosial yang dihadapi Moko sebagai generasi sandwich.
Akar alienasi itu lantas memunculkan konflik identitas peran Moko sebagai kakak dan individu otonom berdasarkan teori identitas sosial dari Henri Tajfel dan John Turner. Menurut Tajfel dan Turner, individu membentuk dan memengaruhi identitas melalui keanggotaan dalam kelompok sosial. Moko mengidentifikasi diri sebagai penanggung jawab keluarga sekaligus memainkan peran sebagai pengasuh. Hal ini menunjukkan identitas kolektif Moko yang menekan identitas individunya sebagai calon arsitek.
Kemudian pada akhirnya Moko memulai hidup barunya di Anyer, 126 km jauhnya lokasi itu dari Jakarta. Moko rutin mengirim uang bulanan untuk para ponakannya tapi Eka mulai memeras isi rekening Moko dengan alasan perbaikan rumah, membelikan hadiah untuk Osa, dan sebagainya tanpa Moko tahu bahwa uang itu dilarikan Eka untuk investasi bodong.
Hingga pada titik kebohongan Eka terbongkar. Bahkan Eka memaksa para ponakan untuk bekerja sampai Moko meledak dan pulang ke Jakarta. Mendapati para ponakannya tak lanjut sekolah tapi bekerja. Woko jadi tukang fotokopi, Nina pelayan kafe, dan Ano nguli. Ketegangan terjadi. Moko meminta para ponakannya itu tidak lagi bekerja tapi para ponakannya merasa selama ini telah menjadi beban bagi Moko.
Antitesis memuncak. Para ponakan merasa selama ini telah menjadi beban bagi Moko. Mereka sekaligus menunjukkan kontradiksi pada pikiran Moko bahwa mereka pun mandiri yang secara langsung menantang asumsi Moko bahwa dia adalah satu-satunya pemikul beban yang bahkan membuat Moko merasa bersalah jika harus memikirkan hidupnya sendiri.
Tesis dan antitesis berbenturan pada momen itu. Ditambah Maurin kemudian yang memperkuat antitesis tersebut saat berbicara ke Moko yang seolah menyadarkan Moko atas keterasingannya.
"Kita semua di sini saling memperjuangkan, boleh dong, Mo?"
Pada momen itu Moko memasuki tahap sintesis yang muncul melalui mediasi antara subjektivitas individu Moko dan individu-individu lain dalam momen penting dialektika pemikiran Moko. Maurin hadir sekaligus sebagai katalis yang menyadarkan Moko bahwa masing-masing individu yaitu para ponakan Moko adalah pribadi otonom yang tetap terhubung dalam komunitas yaitu keluarga dan memiliki kebebasan berpikir untuk mandiri agar Moko pun juga mempertanyakan dirinya sendiri tentang kebebasan individu.
Dalam konteks ini Hegel menilai individu bisa mencapai pemahaman yang lebih tinggi melalui proses dialektika menuju kebebasan berpikir untuk diri sendiri tetapi juga berkontribusi secara eksternal. Apa yang dialami Moko itu mewakili individu, komunitas dalam lingkup kecil hingga lebih luas untuk lebih merefleksikan diri hingga mencapai titik yang lebih seimbang.
Pada momen ini, apa yang dialami Moko, menurut Tajfel dan Turner, memunculkan konflik identitas antara individu dengan kelompok di mana sebelumnya Moko berpikir untuk kehidupannya sendiri sedangkan para ponakannya pun juga memiliki hak untuk mengambil peran mandiri. Hal ini menantang persepsi awal Moko sebagai satu-satunya penanggung jawab keluarga. Identitas hibrid bagi Moko lantas muncul di mana Moko tetap menjadi bagian dari keluarga sebagai identitas kolektif sekaligus mengejar mimpinya sebagai arsitek sebagai identitas individu.
Moko tak sendiri. Tahun 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 27,88 persen rumah tangga di Indonesia adalah rumah tangga lansia. Angka ini terus naik pada 2023 menjadi 33,16 persen yang artinya ada sekitar 3 dari 10 rumah tangga di Indonesia terdapat lansia atau yang tidak berusia produktif sebagai anggota rumah tangga. Data itu belum ditambah dengan persoalan ekonomi yang menghinggapi masing-masing rumah tangga seperti jeratan pinjaman online (pinjol) hingga akses pendidikan terbatas yang membuat generasi sandwich makin terhimpit.
Menurut saya, apa yang dialami Moko mewakili banyak individu saat ini. Norma sosial yang ada seringkali menjadi tekanan yang menjadikan individu tidak merdeka, terasingkan bahkan atas dirinya sendiri. Moko bisa jadi mencapai sintesisnya tapi tak semua dari kita yang menjadi Moko memiliki Maurin sebagai katalis yang dengan suara lembutnya itu bilang:
'Tanggungnya sama-sama ya?'
Dhani Irawan, wartawan detikcom, tulisan ini opini pribadi, bukan merupakan sikap redaksi
Simak juga Video: '1 Kakak 7 Ponakan' Capai Sejuta Penonton Lebih dalam 17 Hari
(rdp/rdp)