Kolom

Perguruan Tinggi Kedinasan untuk Investasi SDM di Birokrasi

Elam Sanurihim Ayatuna - detikNews
Sabtu, 19 Jul 2025 19:15 WIB
Foto: Ilustrasi tes CASN (Getty Images/iStockphoto/Chinnapong)
Jakarta -

Bagi sebagian orang, diterima menjadi mahasiswa Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK) tampak sangat menyenangkan. Mahasiswa akan menerima pendidikan gratis yang dibiayai negara. Lulusannya pun dijamin otomatis menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).

Hal ini kerap kali menimbulkan narasi populis bahwa PTK dianggap sebagai fasilitas "gratis" yang membebani negara. Dari pandangan sederhana tersebut, kini muncul usulan agar sistem ini diubah, mewajibkan mahasiswa membayar dan menghapus jaminan status CPNS.

Usulan tersebut, meski terdengar berpihak pada efisiensi anggaran, sesungguhnya lahir dari pemahaman yang kurang utuh. Membingkai PTK hanya dari optik biaya adalah kurang tepat. Sebaliknya, kita perlu melihatnya sebagai instrumen investasi sumber daya manusia (SDM) strategis jangka panjang bagi negara.

Pertama, mari kita luruskan konsepsi "gratis". Fasilitas pendidikan tanpa biaya kuliah langsung di PTK bukanlah pemberian tanpa syarat. Lazimnya, setiap lulusan PTK diwajibkan membayar kembali biaya kuliahnya dalam bentuk masa ikatan dinas sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Periode pengabdian ini bisa mencapai dua kali masa pendidikan atau lebih.

Misalnya, seorang lulusan sarjana atau diploma empat dari PTK harus membayar delapan tahun bekerja di pemerintahan. Jika tidak menjalankan atau berhenti di tengah periode ikatan dinas, maka ia wajib membayar ganti rugi biaya perkuliahan di PTK.

Hal ini tentu berbeda dengan CPNS dari jalur umum. Ketika seorang CPNS dari jalur umum merasa tidak cocok dengan lokasi penempatan, ia memiliki pilihan untuk mengundurkan diri dan mencari jalur karier lain.

Lulusan PTK tidak punya "kemewahan" memilih jalur karir lain. Mereka terikat oleh kontrak untuk bersedia ditempatkan di seluruh penjuru negeri sesuai kebutuhan organisasi. Opsi untuk menolak hanya satu, yakni membayar denda ganti rugi yang nilainya sangat signifikan. Ini adalah pengorbanan fleksibilitas karier dan personal yang sering kali luput dari kalkulasi publik.

Demikian pula dengan narasi pengangkatan "tanpa tes". Ini adalah penyederhanaan yang tidak tepat. Sebelum diterima menjadi mahasiswa PTK, para pelamar harus menjalani serangkaian ujian. Salah satu ujian yang wajib dilewati adalah Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) dengan sistem Computer Assisted Test (CAT).

SKD ini merupakan gerbang utama seleksi umum CPNS. Oleh karenanya, para mahasiwa PTK telah menaklukkan tes CPNS pada awal saat mendaftar masuk PTK. Standar tesnya setara. Artinya, penyaringan kompetensi dasar sebagai abdi negara sudah dilakukan jauh sebelum mereka resmi menyandang status mahasiswa.

Inkubator Birokrat Unggul

Justru di sinilah letak keunggulan utama sistem kedinasan. Ia bukan sekadar mekanisme rekrutmen, melainkan sebuah "kawah candradimuka" untuk menyaring dan membentuk calon birokrat.

Selama ini, rekrutmen ASN jalur umum hanya bertumpu pada seleksi administrasi yang hanya beberapa hari atau jam saja. Hal ini memiliki keterbatasan dalam mengukur integritas, daya tahan, dan karakter calon. Setelah diterima, apabila ada ASN yang tidak sesuai, negara tidak dapat memberhentikannya begitu saja. Proses pemberhentian ASN harus melewati proses panjang kepegawaian.

Sebaliknya, proses pendidikan di PTK yang berlangsung bertahun-tahun menjadi ajang seleksi alamiah yang bisa jadi lebih andal. Mahasiswa yang terbukti melakukan kecurangan akademik, seperti mencontek, dapat langsung dikeluarkan. Hal ini dapat memutus potensi masuknya bibit aparatur koruptif ke dalam sistem pemerintahan.

Tingkat kedisiplinan dan ketekunan mereka diuji secara berkelanjutan melalui tugas-tugas perkuliahan yang ketat. Ini adalah proses penyaringan karakter yang tidak mungkin dilakukan dalam seleksi CPNS konvensional.

Lebih dari itu, PTK mampu menghasilkan lulusan dengan spesialisasi teknis yang sangat dibutuhkan negara namun tidak banyak disediakan oleh perguruan tinggi umum. Jurusan seperti kepabeanan cukai, keimigrasian, intelijen, atau sandi negara adalah contoh nyata bagaimana PTK mengisi celah kebutuhan SDM spesifik tersebut.

Kurikulumnya pun dapat dikustomisasi sesuai kebutuhan masyarakat. Salah satunya yakni menanamkan nilai-nilai inti sejak dini, seperti modul anti-korupsi, manajemen birokrasi modern, atau profesionalisme ASN.

Menuju Optimalisasi, Bukan Nihilisasi

Tentu, sistem PTK tidak lepas dari kritik. Masalah yang paling sering disorot adalah potensi korsa berlebihan dengan mementingkan kolega dari almamater yang sama dalam jenjang karier. Selain itu, kritik juga terdapat pada inefisiensi pengelolaan anggaran di beberapa institusi.

Namun, menafikan keberadaan masalah ini pun adalah sebuah kekeliruan. Problem ini nyata dan harus diatasi. Tetapi, solusi atas masalah ini tidak terletak pada pembubaran atau penghapusan fasilitas pembebasan biaya yang justru kontraproduktif. Solusinya terletak pada reformasi tata kelola.

Korsa berlebihan dapat dimitigasi dengan penerapan sistem manajemen talenta dan promosi berbasis meritokrasi yang ketat dan transparan. Kinerja, kompetensi, dan kualifikasi menjadi satu-satunya acuan. Sementara itu, isu inefisiensi dapat diatasi melalui audit reguler oleh lembaga yang kredibel serta implementasi manajemen anggaran berbasis kinerja yang lebih akuntabel.

Pada akhirnya, membebaskan biaya kuliah bagi mahasiswa PTK adalah cara negara menjaring talenta terbaik dari seluruh lapisan sosial-ekonomi. Tanpa beban finansial, kompetisi menjadi lebih adil. Negara berkesempatan merekrut putra-putri terbaik bangsa untuk menjadi tulang punggung birokrasi, bukan hanya mereka yang mampu secara ekonomi.

Memang di lain sisi, kita punya masalah pada anggaran pendidikan yang terbatas. Namun tentu solusinya bukan dengan meniadakan alokasi pendidikan yang lain, seperti anggaran PTK. Alternatif lain untuk dapat dilakukan dengan menambah pendapatan atau mengefisiensikan belanja negara lainnya untuk meningkatkan alokasi anggaran pendidikan.

Hanya saja, menghapus anggaran PTK atas nama efisiensi sesaat adalah sebuah langkah mundur. Tugas kita bersama bukanlah menihilkan peran PTK, melainkan terus mengawasinya dan mendorong optimalisasi perannya. Menjadikan PTK sebagai inkubator birokrat yang kompeten, berintegritas, dan berjiwa melayani adalah investasi jangka panjang yang tak ternilai bagi masa depan tata kelola pemerintahan Indonesia.


Elam Sanurihim Ayatuna. Alumni Politeknik Keuangan Negara STAN.

Simak juga Video Kepala BGN: Makan Bergizi Gratis Investasi SDM Terbesar Menuju Generasi 2045




(imk/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork