Visi Negara Industri
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Visi Negara Industri

Jumat, 18 Jul 2025 19:05 WIB
Muhammad Kholid
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Sekretaris Jenderal PKS, Muhammad Kholid
Foto: Dok. PKS
Jakarta -

Dalam satu dekade terakhir, Indonesia mengalami tren yang cukup mengkhawatirkan: kontribusi sektor industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus menurun-dari sekitar 21,08 persen pada 2014 menjadi hanya 18,67 persen pada 2024. Ini bukan sekadar statistik. Ini adalah sinyal peringatan bahwa Indonesia tengah berada di jalur deindustrialisasi dini (premature deindustrialization), yaitu kondisi ketika negara-negara berkembang kehilangan sektor manufakturnya sebelum sempat menikmati manfaat penuh dari industrialisasi. Hal ini menghambat pertumbuhan karena manufaktur merupakan sektor kunci yang mendorong produktivitas, menyerap tenaga kerja besar, dan mendukung ekspor. Deindustrialisasi dini bisa merenggut peluang kemajuan sebelum negara ini benar-benar matang dan kuat secara fundamental ekonomi (Rodrik, 2016).

Namun, di balik peringatan itu tersimpan peluang besar. Ketika struktur ekonomi lama mulai menunjukkan batas-batasnya, saatnya kita menata ulang arah pembangunan nasional, bukan dengan pendekatan administratif tambal sulam, melainkan dengan agenda strategis: membangun kembali basis industrialisasi Indonesia secara menyeluruh, berdaulat, dan berkelanjutan.

Revitalisasi Industri

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Beberapa indikator ekonomi memperkuat urgensi perubahan tersebut. Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Juni 2025 tertahan di angka 46,9-tetap berada di zona kontraksi. Penjualan mobil du Juni 2025 anjlok 22,6 persen secara tahunan, sementara kredit properti pada Mei 2025 melambat menjadi 5,9 persen (year-on-year). Belanja negara ikut tertahan akibat melemahnya daya beli masyarakat, dan penerimaan negara dari Pajak Penghasilan (PPh) Badan sepanjang 2024 terkontraksi 18,1% menjadi Rp 335,8 triliun. Alhasil, proyeksi pertumbuhan PDB 2025 kembali di bawah 5 persen.

Ekonomi kita seperti kehilangan tiga sumber tenaganya sekaligus: sisi produksi melemah akibat sektor manufaktur yang menyusut, sisi konsumsi tersendat karena daya beli yang stagnan, dan sisi fiskal ikut terhimpit oleh penerimaan yang menurun. Di sisi global, tekanan eksternal semakin kuat: perang dagang Amerika Serikat-Tiongkok, deglobalisasi rantai pasok, dan ketidakpastian geopolitik yang mengerem pertumbuhan ekonomi dunia.

ADVERTISEMENT

Di titik ini, kita membutuhkan bukan sekadar resiliensi, tetapi juga lompatan visi dan kebijakan. Indonesia membutuhkan strategi industrialisasi sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan.

Hilirisasi Bukan Tujuan Akhir

Hilirisasi, terutama di sektor mineral dan pertambangan, telah menjadi kebijakan unggulan pemerintah sebelumnya. Tujuannya jelas: meningkatkan nilai tambah di dalam negeri, mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah, dan memperkuat penerimaan negara. Langkah ini adalah fondasi yang tepat, tetapi belum cukup.

Tanpa keterkaitan langsung dengan industri manufaktur menengah dan hilir, hilirisasi berisiko menjadi enclave economy: ekonomi yang terisolasi, terlalu bergantung pada investor asing, dan minim pengaruh terhadap sektor industri nasional secara luas. Risiko ini akan membesar jika transfer teknologi, penguasaan desain produk, dan pengembangan ekosistem lokal tidak berjalan.

Di sinilah pentingnya belajar dari negara lain. Vietnam, misalnya, memulai hilirisasi dari sektor pertanian dan elektronik, kemudian mengintegrasikannya ke dalam kawasan industri ekspor seperti Bac Ninh dan Hai Phong. Hasilnya: pertumbuhan manufaktur yang pesat dan penciptaan lapangan kerja dengan keterampilan menengah.

Korea Selatan membangun industri baja bukan hanya untuk hilirisasi, tetapi sebagai basis bagi pengembangan otomotif (Hyundai, Kia), elektronik (Samsung, LG), dan pertahanan. Semua itu lahir dari strategic planning jangka panjang dan kesinambungan lintas pemerintahan.

Tiongkok menerapkan pendekatan industrial clustering yang menghubungkan kawasan industri tematik dengan universitas teknik, lembaga riset, dan perusahaan lokal. Contoh suksesnya antara lain Zhongguancun (teknologi), Shenzhen (elektronik), dan Chongqing (otomotif). Tiongkok juga mendorong inovasi berbasis desentralisasi kompetitif antarwilayah.

Dari Deregulasi ke Orkestrasi

Negara-negara yang berhasil membangun industrialisasi tidak menyerahkan segalanya pada mekanisme pasar bebas. Negara hadir bukan sebagai pelaku dominan, tetapi sebagai strategic orchestrator. Ia bukan menggantikan sektor swasta, melainkan mengarahkan, memfasilitasi, dan menciptakan ekosistem yang mendorong daya saing industri nasional.

Jepang membentuk MITI (Ministry of International Trade and Industry) pasca-Perang Dunia II untuk merancang arah pembangunan industri unggulan. Korea Selatan menetapkan kebijakan targeted export dan memberikan insentif fiskal kepada sektor strategis. Tiongkok menerapkan five-year plans secara disiplin sebagai instrumen negara developmental.

Ekonom Dani Rodrik menyebut pendekatan ini sebagai embedded autonomy: negara yang mampu menjalin keterhubungan dengan pelaku industri (embeddedness), namun tetap otonom (autonomy) dari kepentingan jangka pendek segelintir kelompok (Rodrik, 2023). Negara seperti ini mampu menjadi arsitek jangka panjang pembangunan.

Sebaliknya, di Indonesia, peran negara masih dominan dalam bentuk deregulasi dan pemberian fasilitas fiskal seperti tax holiday, kemudahan perizinan, dan promosi investasi. Padahal, seperti diingatkan oleh Paul Krugman (1994), pertumbuhan jangka panjang tidak bisa disandarkan pada insentif fiskal semata, melainkan harus berbasis pada peningkatan produktivitas nasional.

Produktivitas hanya akan tumbuh apabila ada struktur industri yang sehat, SDM unggul, tata kelola kelembagaan yang baik, dan investasi riset yang kuat.

Industrialisasi

Tanpa penguatan riset dan litbang, Indonesia akan tetap berada di posisi bawah rantai nilai global. Belanja riset Indonesia pada 2024 masih <0,3% dari PDB-jauh di bawah Korea Selatan (4,9%), Tiongkok (2,4%), bahkan Vietnam (0,5%) (OECD, 2024). Kita juga kekurangan koneksi antara industri besar dan UMKM lokal, padahal UMKM menyerap 97% tenaga kerja dan menyumbang 60% PDB nasional.

Agenda industrialisasi tidak boleh menjadi proyek elite atau eksklusif. Ia harus menjangkau koperasi, komunitas desa, pendidikan vokasi, hingga ekosistem startup teknologi. Seperti halnya gerakan Saemaul Undong di Korea Selatan yang menjadikan pembangunan desa sebagai basis industrialisasi, Indonesia juga harus membangun proyek industrialisasi berbasis rakyat.

Kita juga membutuhkan Peta Jalan Industrialisasi 2045-dokumen strategis lintas sektor dan lintas pemerintahan yang mengarahkan prioritas nasional: mulai dari industri digital, kendaraan listrik, komponen mesin, ekonomi hijau, hingga bioteknologi dan industri kreatif berbasis budaya lokal.
Tanpa arah yang jelas, kita hanya akan terjebak dalam jebakan insentif dan jebakan tambal sulam kebijakan.

Indonesia tidak kekurangan potensi. Kita memiliki populasi muda mayoritas, pasar domestik besar, cadangan nikel dan bauksit strategis, serta posisi geografis di jalur logistik Asia-Pasifik. Semua raw material untuk menjadi kekuatan manufaktur global telah tersedia. Namun, tanpa leap of vision, kapasitas kelembagaan, dan konsistensi aksi, semua potensi itu akan tetap menjadi bahan mentah yang belum diolah sejarah.

Kini saatnya berpindah dari narasi "deregulasi dan insentif" ke narasi "desain dan orkestrasi". Industrialisasi bukan semata proyek teknokratik. Ia adalah panggung kedaulatan ekonomi-tempat di mana nasib bangsa ini dipertaruhkan.

Pertanyaannya: apakah kita akan terus menjadi penonton dalam rantai nilai global, atau menjadi pemain utama yang menciptakan produk bernilai tambah tinggi?

Hilirisasi adalah permulaan. Industrialisasi adalah langkah yang dituju. Dan negara, bersama rakyat, pelaku usaha, dan akademia, harus menjadi komposer dan arsitek kebijakannya.

Muhammad Kholid, Sekretaris Jenderal PKS

(akd/akd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads