Pendidikan di Era Antroposen
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pendidikan di Era Antroposen

Jumat, 18 Jul 2025 15:30 WIB
Nurmuhaemin
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi sekolah
Ilustrasi / Foto: Getty Images/iStockphoto/iBrave
Jakarta -

Kota Kendari diguyur hujan tanpa henti, terhitung sudah hampir tiga minggu. Dingin membekukan waktu. Banjir seperti biasa terjadi di sebagian wilayah. Seperti warga dunia lain, Kami tidak lagi bisa merapal dan meramal musim. Inilah yang disebut para ilmuwan sebagai era Antroposen, sebuah masa ketika aktivitas manusia menjadi kekuatan geologi utama yang membentuk bumi. Lapisan es mencair, permukaan laut naik, hutan menghilang, spesies punah, dan cuaca ekstrem menjadi bagian dari keseharian. Tak ada satu pun manusia atau bangsa yang bisa mengklaim imun dari konsekuensi ini. Semua berada dalam satu perahu yang sama, mengarungi samudra ketidakpastian iklim dan krisis ekologis.

Sejarah panjang Homo sapiens penuh dengan upaya untuk menaklukkan alam. Kita membangun peradaban, mengeringkan rawa, membendung sungai, dan menciptakan mesin-mesin yang membelah bumi, menembus langit, hingga menjelajahi angkasa. Namun, ironisnya, di awal abad 21, kita mulai menyadari bahwa kemenangan kita atas alam telah menciptakan musuh baru yang jauh lebih menakutkan: diri kita sendiri.

Di tengah gelombang perubahan ini, pendidikan abad 21 menghadapi tantangan yang belum pernah dialami sistem pendidikan manapun dalam sejarah manusia. Selama ribuan tahun, sekolah-sekolah dirancang untuk mendidik anak-anak agar mampu bertahan dalam dunia yang relatif stabil. Anak petani diajari bercocok tanam seperti ayahnya; anak pedagang belajar menghitung seperti pamannya. Tradisi diturunkan, nilai diwariskan. Masa depan bisa diprediksi, dan karenanya, masa depan bisa dipersiapkan.

Namun kini, kita mendidik anak-anak untuk hidup dalam dunia yang tak kita pahami. Saat seorang anak lahir hari ini, kita tak bisa lagi menjanjikan bahwa laut akan tetap tenang, bahwa udara akan tetap bersih, atau bahwa pekerjaan yang kita anggap mulia hari ini masih akan ada tiga dekade mendatang. Perubahan iklim, perkembangan kecerdasan buatan, dan rekayasa genetika telah menghapus kepastian-kepastian lama. Bahkan batas antara manusia dan mesin pun mulai kabur.

Maka, sistem pendidikan abad 21 tak bisa lagi hanya menjadi sarana transmisi pengetahuan. Pengetahuan, sebagaimana kita pahami, kini tersedia dalam satu klik. Mesin pencari dan algoritma menyimpan lebih banyak fakta daripada otak manusia terpandai sekalipun. Dalam dunia seperti ini, kita tak butuh manusia yang sekadar pintar menghafal. Yang kita butuhkan adalah manusia yang fleksibel, mampu beradaptasi, dan cukup bijak untuk mengakui bahwa banyak hal tak diketahuinya.

Pendidikan abad 21, jika hendak relevan, harus berani mengajarkan anak-anak untuk mendekap ketidakpastian. Mereka perlu belajar bagaimana belajar, dan lebih penting lagi, bagaimana menghapus pelajaran yang sudah usang, agar dapat diganti dengan yang baru. The ability to unlearn and relearn will define the successful sapiens of the future.

Dan di era Antroposen ini, kurikulum pendidikan tak boleh lagi mengabaikan satu pelajaran utama: hubungan manusia dengan planetnya sendiri. Anak-anak perlu diajak memahami bahwa setiap plastik yang mereka buang, setiap makanan yang mereka pilih, dan setiap energi yang mereka gunakan, memberi jejak pada bumi ini. Pendidikan ekologi, keberlanjutan, dan etika lingkungan harus menjadi inti, bukan pelengkap. Di abad ini, setiap siswa bukan sekadar warga negara, tetapi juga warga bumi.

Namun, tantangan besar pendidikan bukan hanya soal apa yang diajarkan, tetapi bagaimana kita mengajarkannya. Di dunia yang dikendalikan algoritma, pendidikan harus membekali anak-anak dengan kemampuan untuk mengidentifikasi bias informasi, melawan misinformasi, dan memahami manipulasi algoritma. Di masa lalu, kekuatan manusia ada pada otot dan senjata; di abad ini, kekuatan ada pada data, dan mereka yang mengendalikannya.

Di balik semua itu, terselip dilema mendasar: bagaimana kita mendidik anak-anak agar mampu memanfaatkan teknologi, tanpa menjadi budak teknologi? Bagaimana kita mengajarkan sains dan inovasi, tanpa melahirkan generasi yang menganggap bumi hanya sebagai objek eksploitasi? Jawabannya mungkin sederhana dalam kata, namun menantang dalam praktik: kita harus mendidik anak-anak agar menjadi manusia seutuhnya, bukan sekadar pion dalam permainan industri atau algoritma.

Bisa saja di tahun 2050, orang mungkin harus memilih: apakah akan tinggal di kota terapung karena daratan telah tenggelam, apakah akan menerima implan kecerdasan buatan di otak mereka agar tetap kompetitif di pasar kerja, atau, apakah mereka akan mampu merancang sistem ekonomi baru yang tak lagi bergantung pada perusakan lingkungan.

Pendidikan abad 21 bukan hanya menyiapkan mereka untuk menjawab soal matematika atau menulis esai, tetapi mempersiapkan mereka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang akan menentukan kelangsungan spesies kita.

Sejarah mengajarkan bahwa Homo sapiens selamat bukan karena tubuh terkuat, tetapi karena kemampuan beradaptasi. Kini, dalam era Antroposen dan di bawah bayang-bayang perubahan iklim, pendidikan harus menjadi arena tempat kita melatih kemampuan adaptasi bukan hanya terhadap teknologi baru, tetapi terhadap bumi yang baru. Bukan hanya terhadap pekerjaan baru, tetapi terhadap cara hidup baru.

Nurmuhaemin. Doktor Manajemen Pendidikan dan Peneliti Kebijakan Pendidikan

(imk/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads