Saat menjadi tim untuk memverifikasi publikasi ilmiah dosen tahun 2017-2020, saya menemukan banyak dosen mempublikasikan karya-karya di jurnal berbahasa asing yang tidak memiliki reputasi. Verifikasi dibutuhkan untuk memastikan bahwa publikasi tersebut dapat diberikan penghargaan atas kinerja sebagai dosen. Akibatnya, banyak dosen rugi, karena biaya penerbitan bisa mencapai ratusan dollar tidak diganti.
Akademisi menyebutnya sebagai jurnal predator, jenis publikasi jurnal palsu, jurnal semu atau jurnal penipuan yang mengklaim sebagai jurnal ilmiah sah. Jurnal predator biasanya memalsukan anggota dewan redaksi, alamat penerbit, tidak ada proses penting publikasi seperti tinjauan sejawat, minim etika ilmiah, plagiarisme, dan menyembunyikan informasi tentang biaya penerbitan artikel (Article Processing Charges/APC). Bayangkan jika seorang profesional (seperti dokter) mengambil keputusan pengobatan berdasarkan kajian hasil dari jurnal predator? Itulah mengapa jurnal predator dianggap sebagai ancaman global yang cukup menakutkan. Selain menghamburkan uang publikasi, menggerogoti kredibilitas ilmiah, jurnal predator juga mengaburkan penelitian penting.
Beberapa tahun kemudian –sampai hari ini, saya menemui email pribadi saya dipenuhi pesan-pesan yang mengajak saya untuk mempublikasikan karya saya. Tepatnya setelah saya mengirim tulisan di salah satu jurnal bereputasi. Ciri-ciri umumnya, pesan tersebut dimulai dengan sanjungan atas karya-karya saya. Mengenalkan diri dari penerbit terkemuka dan beberapa disusun dengan gaya bahasa yang tidak terlalu bagus serta berjanji akan segera mempublikasikan tulisan. Kepala saya penuh dengan pertanyaan dan asumsi, apakah mereka (jurnal predator) terus berkembang biak? Apakah masih banyak akademisi yang tertipu? Bagaimana mungkin?
Mekanisme Pasar dan Simbiosis Buruk
Bisa jadi mekanisme pasar sedang berjalan, pertemuan antara pasokan dan permintaan, ini klasik. Universitas, sekolah tinggi, bahkan sekolah mengharuskan dosen dan guru menerbitkan penelitian ilmiah. Publikasi ilmiah sekarang lebih terkait dengan target kinerja dan perolehan intensif dibandingkan dengan komunikasi ilmiah. Prinsipnya, semakin banyak semakin baik untuk meningkatkan reputasi dan jenjang karir.
Tapi bagaimana mungkin ini terjadi? Seseorang berpendidikan mentereng terjerat penipuan publikasi ilmiah? Bukankah ini adalah fenomena yang telah berjalan lama? Bahkan tahun 2018 pernah ada kejadian viral tentang gugatan senilai $50 juta yang dikabulkan komisi perdagangan AS (US Federal Trade Commission/FTC) atas praktik penipuan publikasi ilmiah penerbit OMICS yang berbasis di India. Lebih dari 69.000 artikel dipublikasikan dengan hanya sedikit melalui proses utama publikasi ilmiah.
Psikologi Penipuan
"Conmen and swindlers have always existed" ucap Frank Abagnale, Jr (yang diperankan Leonardo DiCaprio) dalam film Catch Me If You Can tahun 2010. Namun, kenyataannya penipu merupakan 'profesi' yang jauh lebih terbuka dan mudah dilakukan dengan bantuan teknologi saat ini dibandingkan dengan setting film tersebut.
Entah bagaimana cara kita tertipu, bisa melalui iklan barang 'lucu' di media sosial, tertipu ulasan atau komentar palsu di lapak marketplace, atau tertipu oleh skema phishing baik lewat WA, telpon atau email. Saat ini, penipuan bisa datang dari manapun, dimanapun dan kapanpun juga. Teknologi membuka seribu jalan baru saat satu jalan lama belum sempat tertutup.
Di Amerika, Gallup melaporkan bahwa 15% responden mereka mengaku bahwa mereka atau anggota keluarganya telah menjadi korban penipuan tahun 2023. Usia 35 hingga 44 tahun adalah usia paling banyak terkena penipuan dan usia 18 hingga 24 tahun paling banyak kehilangan uang. Bagaimana di Indonesia? UGM melalui CfDS telah melakukan survei terhadap 1.700 responden di 34 provinsi, hasilnya mengerikan. Sebanyak 66,6% responden pernah menjadi korban penipuan online. Data Polisi RI melalui aplikasi patrol siber juga serupa, dari aduan masyarakat, mayoritasnya (14.495) adalah penipuan online. Sangat mungkin angka yang muncul dalam penelitian jauh lebih kecil dibandingkan dengan realita, mengingat kebanyakan korban penipuan tidak melapor ke pihak berwenang.
Penipuan berkelindan bukan hanya dengan satu faktor psikologis. Dia bisa mengintai melalui faktor kognitif, emosional, kepribadian dan bisa melalui semuanya dalam satu situasi yang dimodifikasi sedemikian rupa.
Pertama-tama, penipu selalu fokus pada dua hal utama, yaitu kredibilitas dan kepercayaan. Mereka membangun kredibilitas dengan menyamar sebagai otoritas atau entitas terpercaya. Bisa meniru dan menjadi saudara, orang tua, anak, atau pihak-pihak yang memiliki otoritas seperti sekolah, bank, rumah sakit, penerbit dan otorita lainnya. Penipu mempelajari lebih lanjut tentang korbannya dan membuat diri mereka tampak lebih dapat dipercaya dan berwibawa melalui pesan teks, email, telepon atau media lainnya.
Otak manusia terprogram untuk bereaksi cepat terhadap bahaya, reaksinya lawan atau lari! Pada satu sisi, reaksi tersebut dapat melindungi kita saat berada dalam resiko, tetapi sekaligus juga dapat menyebabkan kita mengabaikan proses berpikir logis, apalagi kritis. Inilah senjata kedua penipu, manipulasi emosi. Penipu tahu, bahwa ketakutan merupakan faktor utama orang menjadi lebih rentan. Skenario seperti ancaman tindakan hukum, kerugian finansial, atau kehilangan kesempatan, menempatkan penipu sebagai pengendali korban. Mereka meminta calon korban bertindak cepat. Mereka tahu tekanan emosional akan menurunkan kapasitas seseorang berpikir kritis dan membuat keputusan logis.
Selanjutnya, para penipu tahu bahwa manusia memiliki bias kognitif dan cenderung membuat jalan pintas (heuristic) dalam membuat keputusan. Kita seringkali berpikir secara bias dan tidak rasional dalam banyak hal, seperti lebih cenderung menyetujui sesuatu yang mendukung keyakinan kita (bias konfirmasi), kita juga lebih cenderung berharap lebih pada keberhasilan dan abai terhadap resiko (bias optimisme) serta kita cenderung akan memercayai dan patuh terhadap figur otoritas seperti gelar profesi, tokoh agama, pemerintah (bias otoritas).
Bias-bias tersebut akan menyempurna jika berkelindan dalam jalan pintas mental (heuristic). Tujuannya adalah akurasi dan efisiensi waktu. Misalnya, kita dengan begitu saja membeli seperangkat perawatan kulit, karena sebelumnya kita melihat banyak ulasan positif, bahkan beberapa tokoh terkenal telah memberikan testimoni.
Faktor lain yang patut diwaspadai adalah pengaruh sosial dan kecenderungan kita mengubah keputusan kita agar sesuai dengan harapan sosial (konformitas). Penipu mampu melakukan manipulasi dan membuat seolah-olah semua orang telah melakukan, maka (calon) korban juga harus melakukannya. Belum lagi, jika seorang penipu tampaknya telah melakukan sesuatu –seperti memberi bantuan (reciprocity). Perasaan berhutang budi akan bertindak layaknya oli pelumas.
Melihat bagaimana penipuan dilakukan, siapapun dapat tertipu. Termasuk akademisi atau peneliti dengan gelar mentereng. Jika penipu telah mempelajari otoritas calon korban, memanipulasi emosi serta kondisi situasionalnya, maka seorang dengan gelar berderet juga berpotensi terjebak. Bayangkan seorang akademisi yang tengah mempersiapkan jenjang karir tertingginya. Bisa jadi para kolega telah berhasil mempublikasikan risetnya di jurnal bereputasi. Banyak yang telah mencapai jenjang tertinggi, Profesor. Mereka butuh otoritas penerbit kredibel untuk publikasi risetnya. Sedangkan persaingan semakin ketat untuk bisa masuk jurnal bereputasi. Saat-saat yang sangat rentan bagi mereka untuk terkena manipulasi emosi, lebih cepat lebih baik. Syarat untuk membuka dan menerima berbagai tawaran, telah terbuka lebar. Daftar korban jurnal predator kemudian akan bertambah.
Akhmad Mukhlis. Dosen PIAUD FITK UIN Malang dan Dewan Pakar PPIAUD Indonesia
(imk/imk)