Kolom

Bansos dan Rekayasa Sosial

Herry Mendrofa - detikNews
Kamis, 17 Jul 2025 12:45 WIB
Ilustrasi bansos / Foto: Grandyos Zafna/detikcom
Jakarta -

Dalam perdebatan kebijakan publik, bantuan sosial (bansos) sering kali diposisikan semata-mata sebagai instrumen pengentasan kemiskinan jangka pendek sebuah respons terhadap kerentanan ekonomi yang bersifat temporer. Namun, pendekatan sempit ini mengabaikan dimensi strategis bansos dalam arsitektur pembangunan sosial. Di balik kebijakan fiskal ini tersimpan potensi besar sebagai instrument of social engineering atau alat rekayasa sosial yang terencana.

Di negara-negara modern saja terutama yang mengadopsi prinsip-prinsip welfare state, menggunakan bansos bukan hanya untuk meredam gejolak sosial akibat ketimpangan ekonomi atau krisis, tetapi juga sebagai medium untuk menciptakan struktur sosial baru yang lebih inklusif, kohesif, produktif, dan resilien.

Dalam konteks ini, bansos tidak lagi dipahami sebagai bentuk karitas negara terhadap warga yang rentan, melainkan sebagai investasi sosial jangka panjang yang bertujuan untuk memperkuat modal sosial, memperluas akses terhadap layanan dasar, dan mendorong partisipasi aktif warga dalam pembangunan.

Melalui desain kebijakan yang tepat seperti syarat keikutsertaan dalam pendidikan, pelatihan kerja, atau pemberdayaan komunitas bansos dapat memfasilitasi transformasi perilaku dan meningkatkan kapabilitas masyarakat. Artinya bansos berubah fungsi menjadi alat rekonstruksi hubungan negara-warga yang berbasis pada hak, partisipasi, dan tanggung jawab bersama.

Dewasa ini peran bansos sebagai alat transformasi sosial menjadi semakin penting, bukan hanya untuk menjawab ketimpangan, tetapi juga untuk membentuk masa depan masyarakat yang adil dan berdaya.

Bansos Sebagai Alat Desain Sosial

Dalam literatur ilmu sosial, rekayasa sosial didefinisikan sebagai suatu proses intervensi yang disengaja dan terencana oleh negara atau institusi lain untuk mengubah norma-norma sosial, perilaku individu, atau bahkan struktur masyarakat secara keseluruhan, umumnya melalui instrumen kebijakan publik. Gagasan ini mengasumsikan bahwa tatanan sosial bukanlah sesuatu yang bersifat statis atau given, melainkan dapat dikonstruksi ulang melalui serangkaian tindakan yang sistematis. Dalam konteks ini, kebijakan publik tidak hanya berfungsi sebagai respons terhadap masalah sosial, tetapi juga sebagai alat proaktif untuk membentuk arah dan wajah masyarakat masa depan.

Adapun pemikiran James C. Scott (1998) dalam Seeing Like a State memberikan kritik tajam terhadap bentuk-bentuk rekayasa sosial berskala besar yang dilakukan negara dengan mengandalkan logika teknokratis semata dan mengabaikan kompleksitas realitas lokal. Berdasarkan paradigma ini kemudian diketahui bahwa intervensi semacam itu cenderung menghasilkan kegagalan atau bahkan bencana sosial karena menyingkirkan pengetahuan lokal (local knowledge), adat, dan dinamika komunitas yang tidak terlihat dalam model perencanaan negara. Namun demikian justru dari perspektif tersebut ternyata tidak sepenuhnya menolak gagasan rekayasa sosial. Justru hal ini menyiratkan bahwa jika dilakukan secara inkremental, partisipatif, dan didasarkan pada data empiris serta sensitivitas terhadap konteks sosial, rekayasa sosial dapat menjadi alat penting dalam mendorong transformasi yang bermakna dan berkelanjutan.

Di sisi lain program bantuan sosial (bansos) yang dirancang secara cermat dapat menjadi manifestasi nyata dari rekayasa sosial progresif. Melampaui fungsi distributifnya, bansos dapat digunakan untuk menciptakan insentif ekonomi yang selaras dengan tujuan pembangunan, mengubah pola perilaku yang sebelumnya kontraproduktif, serta membentuk norma sosial baru yang lebih inklusif dan produktif.

Salah satu contoh paling berhasil dari pendekatan ini adalah program Conditional Cash Transfer (CCT) di Meksiko awalnya bernama Progresa, kemudian berkembang menjadi Oportunidades, dan kini Prospera. Program ini menunjukkan bahwa pemberian bantuan tunai yang disertai dengan prasyarat seperti kehadiran sekolah dan pemeriksaan kesehatan rutin tidak hanya berdampak pada pengurangan kemiskinan, tetapi juga meningkatkan partisipasi pendidikan perempuan, memperbaiki kesehatan anak-anak, serta mendorong perubahan perilaku antar-generasi.

Studi tentang CCT menunjukkan bahwa intervensi sosial berbasis insentif bila dirancang dengan memperhatikan konteks budaya, sistem nilai lokal, serta disertai evaluasi berkelanjutan dapat menghasilkan social returns yang jauh lebih besar daripada sekadar alokasi fiskal.

Dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, pelajaran dari program semacam ini menegaskan pentingnya melihat bansos bukan sekadar sebagai alat redistribusi, melainkan sebagai bagian integral dari strategi pembangunan manusia dan transformasi sosial jangka panjang.

Intervensi Ekonomi Politik dan Perspektif Global

Dalam konteks Indonesia, program bansos seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), hingga bantuan langsung tunai (BLT) selama pandemi menunjukkan dampak nyata dalam menjaga daya beli masyarakat dan mencegah kemiskinan ekstrem. Namun, problem utamanya terletak pada instrumentalisasi politik. Ketika bansos dibungkus narasi populis dan dibagikan tanpa transparansi, fungsi rekayasa sosialnya justru melemah.

Chatib Basri (2024) menyatakan bahwa bansos idealnya menjadi bagian dari strategi jangka panjang untuk human capital development, bukan semata quick fixes fiscal. Artinya, bansos harus dibarengi dengan investasi pada pendidikan, kesehatan, dan keterampilan kerja agar menghasilkan intergenerational mobility.

Sementara itu di luar negeri, banyak contoh bansos yang sukses sebagai alat rekayasa sosial. Di Brasil, program Bolsa Família tidak hanya mengurangi kemiskinan, tapi juga memperluas akses pendidikan dan menurunkan tingkat kelahiran remaja. Evaluasi World Bank menunjukkan bahwa ketika syarat bansos dirancang dengan cermat, masyarakat tidak hanya menjadi penerima manfaat pasif, tetapi juga peserta aktif dalam pembangunan sosial.

Sen (1999) pun menekankan bahwa kebijakan sosial bukan soal distribusi uang semata, tetapi pembentukan capabilities kemampuan untuk menjalani hidup yang mereka nilai penting. Dalam kerangka ini, bansos menjadi instrumen pembebasan, bukan sekadar subsidi.

Rekayasa Sosial dan Pilar Etika

Agar bansos efektif sebagai alat rekayasa sosial, diperlukan tiga prasyarat mulai dari penargetan berbasis data melalui penggunaan big data dan digital ID seperti NIK untuk memastikan bantuan tepat sasaran. Kemudian mengadakan desain insentif dengan Bantuan seharusnya bersyarat pada perilaku produktif (pendidikan, vaksinasi, pelatihan kerja). Selain itu diperlukan evaluasi jangka Panjang seperti identifikasi dampak sosial yang mana bansos harus diukur secara multidimensional, bukan hanya pada konsumsi rumah tangga.

Sementara itu penerapan social registry dan dynamic updating system seperti yang dilakukan di Kenya dan Estonia dapat menjadi model. Integrasi data lintas kementerian memungkinkan negara melakukan adaptive social protection yang responsif terhadap perubahan kondisi warga.

Dalam tatanan negara demokrasi, bansos tidak bisa hanya menjadi alat kekuasaan. Ia harus menjadi wujud kontrak sosial antara negara dan rakyat. Negara menyediakan jaring pengaman, namun juga menuntut partisipasi warga untuk berkontribusi dalam pembangunan. Sehingga rekayasa sosial melalui bansos bukanlah manipulasi, melainkan desain institusional untuk memperluas peluang hidup bermartabat.

Di masa depan, pertanyaan utama bukan lagi perlu atau tidak bansos, melainkan bansos seperti apa yang mampu mentransformasi bangsa.

Herry Mendrofa, Pengamat Politik dan Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA)

Lihat juga Video: Mensos Tanggapi soal ODGJ Dapat Bansos Seumur Hidup




(imk/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork