Saya menilai kebijakan ini bukan ancaman, melainkan peluang strategis untuk mereformasi sistem layanan kesehatan nasional yang selama ini belum sepenuhnya optimal. Bahkan, secara eksplisit, arah pemerintahan saat ini memang mendorong masuknya investasi asing di sektor strategis, termasuk layanan kesehatan. Pemerintah juga secara terbuka menyambut kerja sama dengan negara-negara mitra seperti Uni Eropa, termasuk dalam bentuk kehadiran universitas dan rumah sakit asing di Indonesia.
Faktanya, sudah ada sejumlah rumah sakit asing yang hadir di Indonesia, baik melalui kemitraan, akuisisi, maupun operasional langsung. Beberapa contoh di antaranya Siloam Hospitals dengan jaringan Mayo Clinic dari Amerika Serikat, Columbia Asia yang kini menjadi bagian dari grup internasional IHH Healthcare, pernah ada juga RS Premier Bintaro, yang merupakan bagian dari jaringan Ramsay Sime Darby Health Care, perusahaan patungan Australia dan Malaysia.
Saat ini, meski belum banyak RS asing yang menggunakan nama dan sistem luar negeri secara utuh, bentuk afiliasi, kemitraan manajemen, pelatihan SDM, serta akreditasi internasional sudah berjalan di sejumlah institusi kesehatan di Indonesia.
Yang lebih penting, kebijakan ini juga bisa menjadi jawaban atas kebocoran devisa akibat wisata medis. Diperkirakan setiap tahun Indonesia kehilangan sekitar Rp160 triliun devisa dari masyarakat yang berobat ke luar negeri. Alasannya tidak hanya soal teknologi, tetapi juga persepsi kualitas layanan, profesionalisme, dan kenyamanan sistem yang belum sepenuhnya dirasakan di dalam negeri.
Dengan kehadiran RS asing di Indonesia, masyarakat kelas menengah-atas dapat mengakses layanan berkualitas internasional tanpa perlu pergi ke luar negeri. Di sisi lain, rumah sakit dalam negeri akan terpacu untuk meningkatkan standar pelayanan, memperbaiki manajemen, dan menyesuaikan diri dengan tuntutan konsumen yang semakin tinggi.
Dalam konteks jangka panjang kemajuan rumah sakit di Indonesia dapat dipacu dengan kehadiran rumah sakit asing melalui kerjasama sinergis yang berkelanjutan, sehingga berbagai kebutuhan layanan medis dan obat-obatan dapat terjaga dan terjangkau di seluruh pelosok negeri. Masyarakat Indonesia yang berada di kawasan terdepan, terisolasi dan terluar dapat terlayani melalui pemenuhan obat-obatan dan layanan kesehatan modern. Setidaknya Ada banyak kesempatan bagi masyarakat generasi mendatang untuk transformasi pengetahuan di bidang teknologi kesehatan secara berkelanjutan.
Namun, agar kebijakan ini memberikan manfaat optimal dan tidak menciptakan kesenjangan, pemerintah harus bertindak sebagai pengatur keseimbangan. Beberapa kebijakan penyeimbang yang perlu dipertimbangkan antara lain:
Insentif fiskal dan akses pembiayaan bagi RS lokal yang melakukan transformasi mutu dan mengejar akreditasi internasional.
Kemitraan strategis antara RS asing dan lokal untuk transfer teknologi, pelatihan tenaga medis, dan peningkatan kualitas layanan.
Pengawasan ketat terhadap segmentasi layanan, agar RS asing tidak menyaingi sektor layanan dasar yang ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Kewajiban kontribusi RS asing terhadap sistem nasional, seperti dukungan terhadap pendidikan kedokteran, riset, dan pelayanan BPJS.
Sektor kesehatan saat ini bukan hanya soal pelayanan publik, tetapi juga menyangkut ekonomi strategis, investasi jangka panjang, penciptaan lapangan kerja, dan daya saing bangsa. Dalam konteks inilah, kebijakan membuka pintu bagi RS asing harus ditempatkan, bukan sebagai bentuk liberalisasi yang lepas kontrol, melainkan sebagai bagian dari strategi nasional membangun sistem kesehatan yang tangguh, adil, dan bertaraf global.
Dengan pengaturan yang tepat, kehadiran RS asing bisa menjadi katalis bagi reformasi sistemik layanan kesehatan nasional, bukan kompetitor yang menyingkirkan pemain lokal, melainkan mitra yang mempercepat transformasi mutu dan profesionalisme layanan medis Indonesia.
Trubus Rahardiansah, Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti. (idn/idn)