Sejak dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto segera menghidupkan kembali semangat lama yang pernah membawa Indonesia disegani di panggung internasional. Dalam waktu singkat, arah diplomasi luar negeri Indonesia berubah wajah, dari pendekatan yang cenderung pasif dan reaktif, menjadi aktif, ofensif, dan strategis.
Diplomasi di era Prabowo tidak lagi bersifat normatif. Ia hadir dengan visi yang jelas, menempatkan Indonesia sebagai kekuatan tengah yang independen, berdaulat, dan mampu menjalin hubungan dengan semua pihak tanpa kehilangan arah dan prinsip. "Indonesia harus menjadi jembatan yang dapat diterima semua pihak," ujarnya dalam salah satu forum internasional. Ini bukan sekadar pernyataan, tetapi prinsip dasar yang membimbing arah kebijakan luar negeri Indonesia saat ini.
Kunjungan ke negara-negara Timur Tengah seperti Uni Emirat Arab, Qatar, Yordania, Mesir, dan Arab Saudi memperlihatkan upaya membangun jembatan strategis dengan kawasan yang selama ini memegang kunci geopolitik dan energi dunia. Prabowo tidak hanya datang sebagai tamu negara, tetapi sebagai pemimpin yang menawarkan kemitraan jangka panjang dan saling menguntungkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Langkah besar lainnya terlihat saat Indonesia secara resmi bergabung sebagai anggota penuh BRICS dalam KTT di Brasil. Ini bukan sekadar pergeseran geopolitik, tetapi representasi dari pilihan strategis Indonesia untuk ikut membentuk tatanan dunia baru yang lebih berimbang. Dalam forum tersebut, Presiden Prabowo menyampaikan, "Negara-negara berkembang tidak boleh terus bergantung pada keputusan segelintir kekuatan besar. Kita harus punya suara dan keberanian untuk menentukan jalan sendiri."
![]() |
Di Rusia, Prabowo melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Vladimir Putin, sekaligus berbicara dalam Forum Ekonomi Internasional di St. Petersburg. Dalam forum yang penuh dinamika geopolitik tersebut, Indonesia mengambil posisi independen, terbuka pada dialog, namun tegas menjaga kepentingan nasional. Dalam pidatonya, ia menegaskan, "Indonesia berdiri sebagai sahabat semua bangsa, tapi tak akan tunduk pada tekanan siapa pun." Sikap ini mempertegas peran Indonesia sebagai aktor netral yang tetap memegang kendali atas kepentingan strategisnya sendiri.
Tak hanya itu, diplomasi ekonomi juga mendapatkan tempat utama. Di Brussels, Prabowo mendorong percepatan perjanjian dagang Indonesia-Uni Eropa (CEPA), sebagai upaya memperluas akses pasar dan meningkatkan daya saing Indonesia dalam perdagangan global yang makin kompetitif. Pendekatan ini sejalan dengan visinya bahwa, "kekuatan politik tanpa fondasi ekonomi yang kokoh adalah rapuh."
Semua langkah ini menunjukkan konsistensi pendekatan luar negeri Indonesia, bebas dan aktif, tetapi dengan aksentuasi yang lebih asertif. Indonesia kini tampil sebagai negara yang mampu menjalin hubungan dengan berbagai blok kekuatan dunia, tanpa harus tunduk atau terjebak dalam polarisasi geopolitik.
Semangat ini sejatinya bukan hal baru. Pada 1955, Presiden Sukarno menggelar Konferensi Asia-Afrika di Bandung-tonggak sejarah ketika Indonesia memperkenalkan dirinya sebagai juru damai dan suara dunia ketiga. Bung Karno pernah berkata, "Biarkan dunia bergolak, Indonesia harus tetap tenang dan berdiri di tengah." Kini, di tangan Prabowo, semangat itu mendapatkan bentuk kontemporernya. Di dunia yang multipolar dan rentan fragmentasi, Indonesia kembali memainkan peran sebagai penengah, penghubung, dan penggerak tatanan dunia yang lebih setara.
Diplomasi Indonesia a la Prabowo yang kerap disebut oleh Seskab Teddy Indra Wijaya yakni "seribu kawan terlalu sedikit, satu lawan terlalu banyak", kini bukan hanya bergerak, tapi mulai memimpin arus. Bukan hanya mendengarkan, tapi mulai didengar. Bukan hanya hadir, tapi mulai ikut menentukan arah.
Sepertinya Prabowo ingin menegaskan jati diri Garuda yang mampu terbang tinggi, sebagai bangsa kita bukan ecek-ecek, dan sedikit mengasosiasikan dengan gaya komunikasi beliau yang tegas dan terbuka, Sorry ye...! Kita ini gagah, berwibawa, disegani dan dihormati di panggung global. So, mari angkat topi sebelum lanjut ngopi untuk Presiden kita.
Michael F. Umbas, eks Wakil Sekretaris TKN Prabowo-Gibran
(gbr/gbr)