Kami pertama kali saling kenal 17 tahun yang lalu. Aida adalah mahasiswi yang mengambil mata kuliah metode penelitian di kelas saya. Ia bukan tipe yang banyak bertanya, namun nilai-nilainya selalu baik. Setiap kali datang berkonsultasi, terutama saat tema penelitian terasa berat, saya selalu merasakan energi positif terpancar darinya.
Aida bukan tipe mahasiswi ambisius yang haus validasi, tapi juga jauh dari sikap acuh tak acuh. Ia hadir sepenuhnya, di tengah teman-temannya, dengan senyum yang tulus dan sapaan yang membuat orang merasa dihargai.
Sejak awal, saya menangkap satu kesan kuat, Aida adalah perwujudan hidup dari filosofi Jawa, 'urip sak madyo' menjalani hidup secukupnya, tanpa berlebihan, tanpa kekurangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Langkahnya stabil, tidak pernah terburu-buru, tapi selalu sampai. Ia ada di tengah, tidak menonjol, tapi tak pernah absen.
Salah satu cerita yang paling membekas datang dari Kadek, senior Aida di Ilmu Politik UI sekaligus mentornya saat itu. Dalam banyak diskusi, Aida sering berkata, "Kak, aku nggak ngerti, apa aku nggak nyampe ya?" atau "Kak Kadek, boleh jelasin ulang? Aku suka meleng". Tapi semua yang mengenalnya tahu, itu bukan karena ia tidak mampu.
Aida tidak gengsian untuk mengaku tidak tahu. Justru di situlah letak kecerdasannya, itu adalah caranya menyerap informasi. Ia memang cerdas, tapi tak pernah merasa perlu menunjukkan dirinya sebagai yang paling pintar di ruangan. Ia memilih mendengarkan lebih dulu, dan karena itu pula, ia tak pernah menjadi pribadi yang mengancam. Ia justru membuat orang merasa aman untuk tumbuh bersamanya.
Setelah lulus dari Universitas Indonesia, ia melanjutkan studi magister ke Inggris. Di sana, ia menekuni bidang yang memang ia cintai. Tidak banyak yang tahu, tapi itulah Aida, lebih suka bekerja dalam diam daripada bicara soal rencana.
Beberapa tahun berlalu tanpa kabar hingga tiba-tiba Aida menghubungi saya. "Sekarang saya mengurus Sekolah Politik dan Komunikasinya Ibu Meutya Hafid," katanya.
Ia mengundang saya menjadi narasumber. Sejak saat itu saya pun terlibat sebagai salah satu guru di sekolah tersebut, tempat di mana Ibu Meutya yang selalu Aida panggil "Ibu", menjadi mentor sekaligus kakak baginya.
Sebagai kepala sekolah, Aida mengelola institusi itu dengan tekun dan telaten. Sekolah tersebut menawarkan pelatihan politik yang berpijak pada praktik namun tetap menjunjung nilai-nilai idealisme. Awalnya kelas-kelas digelar dari satu kafe ke kafe lain, sampai akhirnya sekolah itu memiliki tempat tetap yang lebih representatif.
Saya sendiri memanggil Meutya Hafid dengan sapaan "Mbak Muce", tetapi Aida sejak awal konsisten menyebutnya "Ibu". Di ponsel saya, nama Aida yang semula "Aida Pol 2008" saya ubah menjadi "Aida Kepsek Sekolah Polkom Muce".
Ternyata Aida adalah bagian dari tim anak-anak muda yang dibina langsung oleh Ibu Meutya, seorang jurnalis sekaligus politisi yang juga sahabat keluarga kami. Saat itu lingkaran kerja Mbak Muce, anggota Komisi I DPR RI dari Dapil Sumut I, banyak diisi oleh alumni Ilmu Politik UI.
Kalau saya tidak keliru, semuanya bermula dari Deta, kerabat Ibu Meutya, yang kemudian mengajak Rizki. Di setiap kegiatan bersama Rizki, Aida selalu ada. Seiring waktu, tanpa banyak bicara, Aida tumbuh menjadi kepala suku di antara anak-anak asuh dan adik-adik Ibu Meutya.
Karier Ibu Muce terus melesat menjadi anggota Komisi I DPR RI, lalu Wakil Ketua, hingga akhirnya Ketua Komisi I. Seiring itu, Aida pun semakin sibuk. Kami memang tak sering bertukar kabar, tapi kalau bertemu, kami bisa ngobrol panjang. Tukar pikiran, cerita situasi politik, atau seperti kata Aida "compare notes".
Sering kali ketika sulit bertemu Ibu Muce karena jadwal padat, cukup bertemu Aida pun sudah seperti mewakili. Karena apa pun masukan kita, Aida akan pastikan semuanya tersampaikan dan ditindaklanjuti.
Aida tak sekadar menjadi bayangan (shadow) dari Ibu Meutya, tapi juga menjadi Pseudo-Meutya. Ia menjadi "Ibu Beres", orang yang memastikan semuanya berjalan. Dalam istilah drama politik ala Hollywood, Aida adalah Chief of Staff Ibu Meutya.
Bahkan, tak jarang Ibu Meutya menyebut Aida sebagai Google berjalan atau ChatGPT-nya beliau.
Saat saya menetap di Amerika Serikat selama lima tahun, Aida tetap menjadi tangan kanan Ibu Muce, mengelola Komisi I yang membidangi pertahanan, informasi, dan intelijen.
Saat itu, rezim persatuan antara Presiden Jokowi dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mulai terbentuk. Aida kerap mengirim kabar tentang dinamika politik Senayan kepada saya yang berada di seberang benua.
Ia juga sering meminta saran, buku apa yang harus dibaca, kontak siapa yang bisa membantunya dalam pekerjaan. Kami sering bertukar buku, bahkan berdiskusi soal isu-isu politik dan sosial. Aida juga kerap memberi masukan kepada saya, baik dalam hal pekerjaan maupun pribadi. Gaya bicaranya lembut, dan tak terasa menggurui. Kalau Aida memberi saran, kita justru merasa diberi jalan keluar dengan penuh kasih.
Saat saya dan Ibu Meutya bersama Dirgayuza Setiawan mendirikan Akademi Kader Bangsa di bawah Yayasan Pendidikan Kader Bangsa Indonesia (YPKBI), Aida adalah sosok penting yang sigap, giat, dan penuh semangat memastikan misi besar itu terwujud, menyediakan pendidikan berkualitas untuk siswa berbakat dan bertalenta. "Seru Bang ngurus pendidikan. Jadi oase di tengah dunia politik yang kadang terlalu banyak intrik", kata Aida.
Banyak momen bersejarah yang melibatkan Ibu Meutya, di mana Aida bukan hanya menjadi saksi, tapi juga bagian penting di balik layar.
Ketika Presiden ke-8, Bapak Prabowo Subianto, menunjuk Ibu Meutya Hafid sebagai Menteri Komunikasi dan Digital dalam Kabinet Merah Putih, Aida pun turut serta mendampinginya sebagai Staf Khusus Menteri. Sebuah posisi yang memang sangat pantas untuk Aida. Karena pada dirinya melekat syarat-syarat utama, 'loyalitas, integritas, kompetensi, dan totalitas'.
Aida kembali menjadi "Ibu Beres". Interaksi kami makin sering karena kegiatan yayasan pun makin intens. Ia sering datang selepas jam kerja, kadang malah lebih lelah dari menterinya sendiri. Saya sungguh tidak tahu bahwa Aida mengidap penyakit serius. Saya benar-benar tidak peka membaca tanda-tandanya.
Dua bulan lalu, Aqsa, junior Aida di UI yang aktif juga di yayasan, berbisik, "Bang, Kak Aida sakit. Sakitnya serius, jadi jangan kasih beban berat ya Bang." Dari situ saya baru tahu Aida mengidap penyakit autoimun.
Sebulan sebelum ia masuk rumah sakit, Aida masih datang ke kantor. Tak tampak seperti orang yang sedang sakit berat. Kami membahas isu serius. Setelah diskusi selesai, saya tanya, "Aida, kamu sakit apa?" Ia jawab ringan, "Iya Bang, sama kayak Mas Helmi."
Maksudnya almarhum Prof. Ahmad Suhelmi, dosen kami yang juga berpulang di usia muda karena penyakit serupa. Aida menanggapinya ringan, lalu mengalihkan topik ke pekerjaan. Dalam ceritanya, tidak ada kesedihan, tidak ada keluhan. Hanya keteguhan.
*
Berita wafatnya Aida datang lewat banyak pesan, dari kolega kabinet, teman kuliah, staf kantor, hingga rekan-rekan korporat. Lutut saya lemas saat membaca kabar itu. Percakapan kami terakhir di kantor yayasan pun langsung terbayang.
Begitu tiba dari luar kota siang itu, saya langsung menuju pemakaman Aida di Tanah Kusir, tak jauh dari makam Bung Hatta. Suasana haru menyelimuti. Banyak yang datang, dari berbagai kalangan, untuk memberikan penghormatan terakhir kepada si Baik Hati, Aida.
Baru saya tahu, nama kecilnya adalah Elin. Ia sudah mengidap autoimun sejak menyelesaikan studi di UK. Bermula dari kecelakaan yang menyebabkan kakinya patah, dan kemudian dilakukan beberapa tes, ia didiagnosa autoimun yang menyerang ginjal, organ vital dalam tubuh manusia. Beberapa tahun kemudian, Elin terus menjalani berbagai pengobatan, diantaranya cuci darah, Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), hingga berproses untuk transplantasi ginjal. Tentu tidak mudah bagi Elin, namun semangat dan dedikasi membuatnya tetap bekerja dan beraktivitas seperti biasa.
Proses transplantasi ginjal coba dilakukan oleh Elin selama 2 tahun terakhir. Donor ginjal telah didapat, namun urung terjadi, karena proses transplantasi yang cukup panjang masih membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut antara Elin dengan donornya.
Beriringan dengan proses transplantasi ginjal, selama 6 bulan terakhir Elin memutuskan melakukan CAPD sebagai terapi pengganti ginjal, dibantu adik-adik, Ega, Fida, Sarah, Radeva. Terapi CAPD bukanlah prosedur yang mudah karena harus melakukan penggantian cairan setiap 6 jam dalam satu hari. Proses penggantian cairan mensyaratkan ruangan yang bersih, dan semua dilakukan di ruang Kantor Kemkomdigi sambil Elin terus bekerja.
Pertengahan Juni 2025 menjadi awal penyakit Elin memburuk, saat akan berangkat ke Kemkomdigi, Elin muntah dan langsung sempat dirawat ke RSPAD, lalu pindah ke RS Pondok Indah. Hingga akhirnya, dalam cuci darah terakhirnya, Allah SWT memanggilnya pulang ke sisi-Nya.
Kesedihan menyelimuti kami semua. Setiap orang punya kisah pribadi tentang Elin, dan semuanya sepakat, ia adalah orang baik. Murah senyum. Ringan tangan. Tak pernah merepotkan. Kalau bisa bantu, ya dibantu. Selalu hadir untuk teman-temannya.
*
Siang itu panas, namun seperti ada awan menaungi tenda pemakaman. Elin pulang ke pangkuan Sang Pemilik. Inspektur upacara perwakilan negara adalah Wakil Menteri Komunikasi Digital, Nezar Patria. Kakaknya, Ibu Meutya, sedang menjalankan tugas negara di luar negeri. Dari unggahan Instagramnya, terasa duka yang dalam. Hari-hari ke depan akan terasa berbeda, menjalani amanat negara tanpa Elin di sisinya.
Adik satu-satunya, Fauzan, mengumandangkan azan di pusara. Di tengah lantunan "asyhadu alla ilaha illallah", ia sempat terhenti. Lalu melanjutkan dengan iqamah, seolah membisikkan perpisahan kepada satu-satunya kakaknya itu.
Sahabat, keluarga, dan sejawat melepas Aida dengan doa dan air mata. Dalam eulogy yang menyentuh, Fauzan berkata "Kak Elin ingin sekali punya kakak, dan Allah memberinya banyak kakak, abang-abang yang menyayanginya, dan seorang kakak terbaik, Ibu Meutya". Benar sekali, Fauzan. Kak Elinmu adalah orang yang baik. Kami semua bersaksi atas itu.
Aida memilih hidup sak madyo. Dan ia pun berpulang dalam sak madyo, di usia 34 tahun. Tidak remaja, namun belum tua. Di tengah siang Tanah Kusir yang terang, namun tak terik. Dalam damai.
Selamat jalan, Elin. Aida Rezalina binti Azhar bin Khatib, kebaikanmu akan selalu hidup bersama kami.
Miftah Sabri. Kakak ideologis Aida dan pendiri Akademi Kader Bangsa.
(rdp/rdp)